Rabu, 21 Maret 2012

Reduksi


Reduksi
Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
SUMBER : SINDO, 21 Maret 2012



Reduksi menurut arti harfiahnya merupakan pengurangan, penyempitan, sebuah proses mengambil kembali (re-ducere: menuntun kembali), tetapi negatif arahnya, yaitu mempermiskin makna sehingga berkurang, bahkan menjadi hambar miniarti, miskin makna. Kata sifat dari “reduksi” ini adalah “reduksionis”.

Artinya, ketika seseorang melakukan tindak mempermiskin dan membuat kurang yang dahulunya berharga, maka ia disebut “seorang reduksionis”. Mengapa kata kunci ini ditampilkan sebagai judul tulisan? Ada dua sebab. Sebab pertama, munculnya pertanyaan: tidak kurang-kurangnya kita semua dididik bermoral sebagai manusia,tetapi mengapa kejahatan dan korupsi juga semakin merajalela? Apakah sudah terjadi reduksi dalam penghayatan nilai-nilai pokok kita dalam berbangsa dan bernegara?

Pada sebab pertama ini, “reduksi langsung dikaitkan dengan nilai kehidupan”.Nilai adalah apa yang dipandang berharga oleh orang atau komunitasnya yang dipakai untuk mendasari hidup serta diacu untuk mengambil putusan serta dipakai untuk mendasari hidup bersamanya. Maka konteks reduksi pada nilai bisa langsung Anda simpulkan sendiri sebagai terjadinya “pemiskinan makna dari nilai-nilai pokok hidup”; telah bergejalanya pengeringan makna yang awalnya berupa disorientasi nilai atau rancu acuan nilai.

Salah satu gejalanya adalah mengapa orang sulit kerja bakti dan gotongroyong lagi di hari libur? Sebab, yang spirit atau imaterial sudah direduksi nilainya dalam hitung-hitungan material, yaitu “uang”.Kesukarelaan tanpa diganti imbalannya dengan uang semakin tidak ditemukan lagi dalam keseharian hidup kita. Sebab kedua munculnya “reduksi”adalah masa transisi perubahan besar-besaran di tingkat kesadaran, suasana penghayatan hidup dan konstruksi ekonomis dan politis bangsa ini.

Apa maksudnya? Ranah atau wilayah politik dari cita-cita kenegarawanan berbangsa bernegara telah diperjuangkan para pendiri bangsa menjadi negara RI merdeka berdaulat. Etika politik perjuangan kesejahteraan publik atau rakyat menjadi napasnya untuk menuju keadilan dan kemakmuran serta merawat kemajemukan dengan hormat HAM serta merajutnya dalam keikaan.Ternyata niat luhur itu telah direduksi dalam perjalanan politiknya menjadi “rebutan kuasa untuk kepentingan ego pribadi dan kelompok tanpa etika”.

Gunung Es

Gejala-gejala yang terpapar di atas merupakan petunjuk- petunjuk di permukaan gunung es yang bila diselami ke dasarnya semestinya membawa kita pada “reduksi”yang lebih fatal dan akut. Mari dengan metode induktif, melalui deskripsi indikasi-indikasi reduksi di ranah budaya dan acuan mentalitas serta nilai-nilai, kita akan mencoba mengarah ke jalan keluarnya.

Indikasi reduksionis kesatu.Nilai sebagai harga dan makna acuan perilaku dan putusan hidup telah direduksi pemahamannya dan penghayatan menjadi “sekadar kognitif”. Artinya, hakikat nilai baru menampak dan mewujud dalam tindak dan perilaku serta keteladanan.Ini semua butuh proses pembatinan atau internalisasi dari saat kecil sampai dewasa.

Indikasi kedua, telah direduksinya penghayatan mengenai apa yang “baik” atau etika menjadi ajaran moralitas doktrin-doktrin tulis buku dan direduksi lagi dalam dua kutub moralitas. Moralitas reduksionis yang satu adalah moralitas idealis bahwa realitas hidup ini “hitam dan putih”, “neraka dan surga”, “jahat dan baik”, “dosa dan tidak dosa”.

Akibatnya hidup yang semestinya dihayati bahagia dan dirayakan dengan syukur baik dalam duka maupun suka kepada Sang Pencipta lalu dihayati legalistis dalam ketakutan masuk neraka dan hukumanhukumannya. Bukankah sebenarnya moralitas yang lebih realis adalah bahwa kehidupan ini “abu-abu”, sekecil apa pun tindakan dan perbuatan baik sudah merupakan “pewarnaan putih pada abu-abunya kehidupan riil ini”? Perbuatan jahat akan menambah kelam dan gelap hitamnya wilayah hidup yang sudah abu-abu ini.

Reduksionis yang ketiga adalah telah disempitkannya kekayaan multidimensi kehidupan publik hanya dalam ruang publik citraan. Di sini kita diingatkan oleh Jean Baudriillard si ahli dunia maya dan budaya virtual serta digital bahwa telah terjadi reduksi dahsyat dalam ruang karena melalui revolusi teknologi informasi dan digitalisasi.

“Ruang dimampatkan,bahkan dilipat seperti melipat kertas”, akibatnya tidak ada lagi ruang nyata natural untuk berhening, bersyukur secara alami dalam keriaan dengan ruang-ruang alami nyata di gunung, di pantai yang indah-indah,dan tidak lagi menghirup udara segar di taman-taman bunga nyata.

Diingatkan pula olehnya, terjadinya reduksi waktu yang dimampatkan dengan contoh nyata kita yang dalam mengendarai mobil di jalan, sekaligus nyetir, sekaligus mendengarkan musik, pada saat yang sama melihat televisi mobil, dan pada saat yang sama baca SMS dari ponsel. Tahu-tahu sadar mereduksi waktu dalam seketika atau at once lalu “brrraaak” nabrak mobil lain atau kecelakaan. Dampak reduksi waktu ini adalah tiadanya lagi waktu hening mengolah pengalaman.

Semua informasi dan yang masuk ke telinga dan mata berhamburan dengan kecepatan kilat hingga tak ada waktu sunyi untuk mengheningi makna hidup atau arti hidup ini. Dalam hidup ini bukanlah banyaknya pengalaman, tetapi olahan pengalaman sehingga menjadi “bermakna” untuk dirinya dan sesamanya.

Acuan Nilai

Mencermati gejala-gejala reduksi merupakan langkah kesadaran manusia untuk menyadari bahwa hidup bersama ini tidak hanya cukup dengan nasi saja,tetapi membutuhkan acuan nilai yang menjadi dasar pijak kita berbangsa dan bernegara. Mencermati dengan budi cerdas gejala reduksi dan merenungi akibat-akibatnya dengan hati jernih pasti akan membawa kita pada persoalan mendasar saat ini, yaitu krisis untuk bisa saling memercayai.

Andai kita semua belajar lagi untuk tidak jatuh dalam reduksionisme dan berani tulus saling berbicara dengan pertanggungjawaban pelaksanaan kata-kata kita secara nyata pula. Sebab, taruhan dalam berbangsa dan bernegara ini besar,yaitu cinta kepada Republik Indonesia yang berarti amanah penyejahteraan rakyat banyak dan tanggung jawab mencerdaskan kehidupannya.

Hal tersebut tidak boleh “direduksi” dalam politisasi pemberian karitatif ikan dan bukannya kail.Harus ada kejujuran dan tanggung jawab mengapa kenaikan BBM setiap kali “mengorbankan kebanyakan orang kecil”, hitung-hitungan ekonomi makro atau mikrokah yang dipakai?

Jangan sampai soal besar bangsa,yaitu kesejahteraannya dan keadilan untuk orangorang kecil direduksi dengan politisasi alih isu di dunia publik dengan Satgas Antipornografi atau dalam kondisi seprihatin ini dilakukan lemparan wacana satu satuan waktu Nusantara, yang hidup beralam matahari, hidup bersehari-hari dengan garis penghayatan khatulistiwa.

Dan janganlah persoalan hidup berbangsa majemuk dengan isu satuan waktu untuk semua hanya direduksi dalam hitungan ekonomis bisnis dan triliunan yang “akan” dihemat, sementara masih ada soal infrastruktur jalan-jalan seluruh Nusantara ini yang terus berlubang beberapa tempat, bahkan ditanami pisang untuk protes karena lama sekali tidak diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar