Rabu, 21 Maret 2012

Kenaikan BBM dan Masa Depan Pendidikan


Kenaikan BBM dan Masa Depan Pendidikan
Sukemi, STAF KHUSUS MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SUMBER : SINDO, 21 Maret 2012



Dalam waktu tidak terlalu lama lagi,pemerintah berencana mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan pemerintah berkait dengan rencana ini tentu sulit dinalar bagi awam.
Kebijakan ini bukan hanya akan mengundang keberatan dari masyarakat, tapi juga merosotnya popularitas di mata publik. Belum lagi jika berbicara daya beli dan tingkat inflasi yang mestinya juga akan mengalami penurunan daya beli atau meningkatnya inflasi. Pertanyaannya, kenapa yang sudah begitu jelas terhadap risiko dan efek ikutannya itu pemerintah tetap akan menjalankannya?

Jawabannya tentu ada yang lebih fundamental dan penting dari sekadar mempertaruhkan karier politik dan merosotnya popularitas. Apa itu? Kepentingan terhadap masa depan bangsa ini ke depan, kepentingan terhadap kinerja bangsa, yang memang jika tidak dilakukan dengan cara mengurangi subsidi, kepercayaan bangsa ini di mata internasional akan terkikis dan berada di ujung kebangkrutan.

Tulisan berikut tentu tidak ingin menyampaikan semua aspek dan efek ikutan berkait dengan kenaikan BBM, tapi lebih membatasi diri pada persoalan di dunia pendidikan, yang memang masih sedikit orang yang menyadari bahwa sesungguhnya manakala kenaikan BBM diberlakukan, hal itu berakibat pula pada masa depan dunia pendidikan.

Siapkan Bantuan

Dapat dipahami jika masih sedikit masyarakat yang berpikir atas dampak kenaikan BBM terhadap dunia pendidikan karena sejatinya pendidikan dianggap hanya memiliki efek ikutan jika terjadi kenaikan BBM. Padahal, sejatinya, jika tak dipikirkan,dampaknya justru jauh lebih fatal.Ketika bangsa ini mengabaikan sektor pendidikan, buntutnya akan menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).

Jika terus diurut ke depan, hal itu akan menurunkan Global Competitivenes Index (GCI). Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010–2011 menyajikan data, lama sekolah berkorelasi positif terhadap IPM atau HDI. Di sisi lain,masih ada—untuk tidak mengatakan banyak—di masyarakat kita berkembang pemahaman, lebih baik putus sekolah atau tidak sekolah agar bisa membantu orang tua menambah pendapatan atau penghasilan ketimbang tetap bersekolah meski biaya telah disiapkan untuk sekolah.

Atas fakta-fakta itulah,tidak berlebihan jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berkait dengan rencana kenaikan BBM mendatang telah menyiapkan seperangkat aturan, baik dalam bentuk kebijakan pengendalian pembiayaan maupun bantuan pembiayaan (baca: subsidi siswa miskin).

Dalam hal mengendalikan pembiayaan misalnya, sejak akhir 2011, melalui Peraturan Menteri Nomor 60 Tahun 2011 telah dikeluarkan larangan pungutan bagi sekolah di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP negeri) untuk biaya-biaya investasi dan operasional sekolah. Di jenjang pendidikan tinggi, Dirjen Dikti juga telah mengeluarkan edaran tentang imbauan bagi pengelola perguruan tinggi negeri untuk tidak menaikkan SPP pada tahun akademik 2012–2013.

Bersamaan dengan itu pula, Dirjen Dikti sedang menyiapkan aturan pemberian bantuan Bidik Misi bagi mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS). Pengendalian ini penting agar masyarakat dari keluarga tidak mampu, yang diperkirakan akan bertambah jumlahnya akibat kebijakan kenaikan BBM itu, bisa tetap nyaman bersekolah dan kuliah.

Memperluas Cakupan

Harus diakui, akibat dari kenaikan harga BBM, selain berdampak pada naiknya sejumlah harga kebutuhan pokok, juga akan berdampak pada pergeseran jumlah keluarga hampir miskin (near poor)menjadi miskin (poor), dan peningkatan biaya personal siswa. Atas dasar itulah Kemdikbud mengambil kebijakan untuk memperluas cakupan penerima SSM dan meningkatkan satuan biaya SSM.

Di jenjang pendidikan dasar (baca: SD dan SMP) melalui APBN-P diusulkan untuk menambah jumlah sasaran dari 3,5 juta siswa menjadi 9,8 juta siswa. Adapun nominal jumlah satuannya pun ditingkatkan dari Rp360.000 per siswa per tahun untuk siswa SD menjadi Rp450.000.Untuk siswa SMP dari 1,3 juta siswa menjadi 2,7 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp550.000 menjadi Rp750.000 per siswa per tahun.

Sementara untuk jenjang pendidikan menengah,SMA dan SMK,dari jumlah 1,2 juta siswa menjadi 1,5 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp780.000 per anak per tahun menjadi Rp1 juta per anak per tahun. Dari penambahan tersebut, Kemendikbud telah meningkatkan jumlah penerima bantuan untuk peserta didik dari keluarga tidak mampu dalam bentuk SSM, baik siswa maupun mahasiswa dari sebelumnya 6 juta orang menjadi 14 juta,dari nilai sebelumnya Rp3,8 triliun menjadi Rp7,6 triliun.

Kebijakan ini diambil dengan harapan pengaruh kenaikan harga BBM tetap akan terkendali berkait dengan keberlangsungan peserta didik untuk menerima layanan pendidikan. Ini penting mengingat dalam kondisi normal saja jumlah yang drop out dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya masih cukup besar mencapai angka 300.000-an untuk SD dan 200.000-an untuk SMP tiap tahunnya.

Alasannya,sebagian besar karena faktor ekonomi. Itu sebabnya kebijakan yang diambil pun berkait dengan pemenuhan ekonomi dengan pemberian Subsidi Siswa Miskin (SSM), bukan politis, sebagaimana yang disangkakan sebagian kecil elite politik kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar