Putin
dan Pemilu Rusia
Mikahil Kasyanov, PERDANA MENTERI RUSIA (2000-2004),
PEMIMPIN PARTAI OPOSISI UNI DEMOKRASI RAKYAT
SUMBER : KORAN TEMPO, 7
Maret 2012
Tidak banyak orang, apalagi Vladimir Putin
yang berencana kembali menduduki kursi kepresidenan pada 4 Maret 2012, yang
bisa membayangkan Desember tahun lalu bahwa rakyat Rusia akan, pertama kalinya,
bangun dan menggelar unjuk rasa dalam jumlah puluhan ribu, menentang
pemerintah. Berbeda dengan kebangkitan Musim Bunga Arab, kekuatan di balik
protes yang berlangsung di Rusia saat ini bukan rakyat miskin dan mereka yang
tersingkirkan, tapi kelas menengah yang sedang tumbuh berkembang. Itulah
bedanya, karena secara historis, keberhasilan transisi menuju demokrasi selalu
membutuhkan kelas menengah yang politis termobilisasi.
Kelas menengah yang terdidik dan berhasil di
Rusia telah turun ke jalan-jalan menuntut respek dari hierarki Kremlin yang
terbenam dalam lumpur penipuan dan korupsi. Pemicu dari semua ini adalah
pemalsuan yang kasar hasil pemilihan parlemen pada Desember tahun lalu, yang mengukuhkan
perasaan warga bahwa rezim yang berkuasa saat ini memandang rendah keberadaan
mereka. Warga Rusia marah terhadap Putin yang memperlakukan jabatan
kepresidenannya sebagai sesuatu yang bisa "dipinjamkan" kepada
sekutunya--seperti pemegang jabatan presiden saat ini, Dmitri Medvedev--dan
menariknya kembali bila dikehendakinya.
Kendati protes meluas di Moskow, Saint
Petersburg, dan kota-kota lainnya, penguasa menolak tuntutan pengunjuk rasa
agar hasil pemilihan dibatalkan. Semakin jelas bahwa, dengan cara apa pun,
Putin bakal bercokol selama enam tahun lagi sebagai penguasa di Rusia. Apa arti
dipegangnya lagi jabatan presiden ini oleh Putin bagi Rusia?
Putin, yang terpagar aman dari
pesaing-pesaing politik yang riil, tidak bisa lagi kembali ke Kremlin sebagai
"presiden pembawa harapan", seperti ia menamakan dirinya sendiri pada
2000 pada awal jabatannya yang pertama. Lagi pula ia tidak lagi mirip Putin
"pemimpin nasional", yang pada masa jabatannya yang kedua berhasil
menggairahkan kembali negara dan memimpin negara yang sedang mengalami booming
ekonomi.
Jadi semacam apa Putin III nanti? Bagaimana
ia bakal menggunakan kekuasaan yang besar yang diberikan kepada Presiden Rusia
dalam suatu sistem politik tanpa checks and balances yang riil. Monolog
dan artikel-artikel pra-pemilihan Putin memberikan jawaban yang menggelisahkan:
jabatan kepresidenan yang dipegang Putin ini akan bertumpu pada
ketidakpahamannya akan struktur hubungan internasional, pasar, dan demokrasi
saat ini, serta bakal didorong oleh mesianismenya yang tidak terkendali. Seruan
yang menyatakan bahwa liberalisme bisa hidup berdampingan dengan dogma yang
statis meremehkan respek terhadap kompleksitas dan pilihan-pilihan sulit yang
harus diambil.
Sebenarnya Putin tidak punya apa-apa yang dapat
ditawarkannya kepada rakyat Rusia kecuali retorika vulgar yang diulang-ulang.
Ia tidak lagi memahami persoalan yang dihadapi negara dan karena itu tidak
punya gambaran apa yang perlu dilakukan. Begitu juga ia tidak merisaukan
kerusakan yang terjadi akibat buruknya pemerintahan di bawah kepemimpinannya
bagi masa depan Rusia. Jabatan kepresidenan ketiga Putin bakal merupakan
pemerintahan berdasarkan naluri dan selera, bukan berdasarkan nalar serta
penahanan diri.
Sudah tentu Putin akan memulai masa jabatan
yang baru itu dengan pernyataan yang sungguh-sungguh tentang pembaruan,
pembangunan, demokratisasi, dan bahaya korupsi. Ia mungkin bahkan akan
memberikan isyarat-isyarat simbolis, seperti menjauhkan diri dari tokoh-tokoh
politik dan media yang tidak patut didekati, atau menunjukkan sikap yang lunak
terhadap mereka yang telah dipenjarakannya karena menentang kebijakannya. Tapi
semua ini dilakukan dengan tujuan mempertahankan kekuasaan politik, bukan
mereformasinya.
Sesungguhnya Kremlin telah banyak berbicara
yang muluk-muluk mengenai kebebasan dan modernisasi pada tahun-tahun terakhir
ini. Tapi, tanpa kemauan politik untuk melaksanakan perubahan-perubahan itu,
janji-janji tersebut pasti menjadi janji-janji saja. Masalahnya adalah bahwa
prinsip persaingan bebas dan jujur yang menjadi ciri negara-negara maju
dianggap subversif terhadap negara yang telah dibangun Putin--suatu negara yang
berdasarkan merger antara pemerintah dan bisnis.
Akibatnya, walaupun kemauan untuk melakukan
perubahan ini bagaikan mukjizat tiba-tiba muncul di Kremlin, tak adanya
legitimasi pada pemerintah ini tidak bakal menghasilkan kebijakan yang dapat
dilaksanakan dengan efektif. Bukannya merumuskan dan melaksanakan reformasi
yang menyeluruh dan transparan, pemerintah bahkan bakal tidak punya pilihan
selain terus memanjakan--dan, terutama, menghindarkan diri dari upaya
mengancam--kepentingan golongan tertentu.
Orang jangan tertipu oleh konsesi-konsesi
yang diberikan Kremlin. Kaum liberal Rusia tidak bakal memperoleh apa-apa
dengan menggadaikan hati nurani dan merestui masa jabatan ketiga Putin sebagai
presiden. Seperti sebelumnya, mereka tidak mendapat imbalan kekuasaan yang
rill, dan kemungkinan terjadinya perubahan yang murni dalam struktur kekuasaan
yang ada sekarang kecil sekali. Sesungguhnya langkah-langkah yang diambil
penguasa untuk menenangkan opini publik akan terus diiringi dengan tekanan yang
bertambah kuat atas oposisi dan organisasi-organisasi masyarakat madani.
Dan bulan-bulan setelah nanti Putin kembali
sebagai presiden bakal banyak bergantung pada masyarakat madani Rusia dan para
pemimpin unjuk rasa. Rakyat Rusia harus terus bertahan dan merumuskan
serangkaian tuntutan politik yang tegas. Mereka harus menuntut perubahan yang
rill dan bukan perubahan kosmetik-- pada sistem politik di Rusia. Tujuan
utamanya sekarang adalah memperjuangkan pemilihan yang bebas dan jujur menuju
terbentuknya suatu pemerintahan yang punya legitimasi dan bertanggung jawab.
Daftar persoalan mendesak yang dihadapi Rusia
sudah cukup panjang dan pemecahan persoalan-persoalan itu tidak lagi bisa
ditunda. Selama Putin tetap memegang kekuasaan, daftar itu akan makin bertambah
panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar