Rabu, 07 Maret 2012

Putin dan Pemilu Rusia

Putin dan Pemilu Rusia
Mikahil Kasyanov, PERDANA MENTERI RUSIA (2000-2004),
PEMIMPIN PARTAI OPOSISI UNI DEMOKRASI RAKYAT
SUMBER : KORAN TEMPO, 7 Maret 2012



Tidak banyak orang, apalagi Vladimir Putin yang berencana kembali menduduki kursi kepresidenan pada 4 Maret 2012, yang bisa membayangkan Desember tahun lalu bahwa rakyat Rusia akan, pertama kalinya, bangun dan menggelar unjuk rasa dalam jumlah puluhan ribu, menentang pemerintah. Berbeda dengan kebangkitan Musim Bunga Arab, kekuatan di balik protes yang berlangsung di Rusia saat ini bukan rakyat miskin dan mereka yang tersingkirkan, tapi kelas menengah yang sedang tumbuh berkembang. Itulah bedanya, karena secara historis, keberhasilan transisi menuju demokrasi selalu membutuhkan kelas menengah yang politis termobilisasi.

Kelas menengah yang terdidik dan berhasil di Rusia telah turun ke jalan-jalan menuntut respek dari hierarki Kremlin yang terbenam dalam lumpur penipuan dan korupsi. Pemicu dari semua ini adalah pemalsuan yang kasar hasil pemilihan parlemen pada Desember tahun lalu, yang mengukuhkan perasaan warga bahwa rezim yang berkuasa saat ini memandang rendah keberadaan mereka. Warga Rusia marah terhadap Putin yang memperlakukan jabatan kepresidenannya sebagai sesuatu yang bisa "dipinjamkan" kepada sekutunya--seperti pemegang jabatan presiden saat ini, Dmitri Medvedev--dan menariknya kembali bila dikehendakinya.

Kendati protes meluas di Moskow, Saint Petersburg, dan kota-kota lainnya, penguasa menolak tuntutan pengunjuk rasa agar hasil pemilihan dibatalkan. Semakin jelas bahwa, dengan cara apa pun, Putin bakal bercokol selama enam tahun lagi sebagai penguasa di Rusia. Apa arti dipegangnya lagi jabatan presiden ini oleh Putin bagi Rusia?
Putin, yang terpagar aman dari pesaing-pesaing politik yang riil, tidak bisa lagi kembali ke Kremlin sebagai "presiden pembawa harapan", seperti ia menamakan dirinya sendiri pada 2000 pada awal jabatannya yang pertama. Lagi pula ia tidak lagi mirip Putin "pemimpin nasional", yang pada masa jabatannya yang kedua berhasil menggairahkan kembali negara dan memimpin negara yang sedang mengalami booming ekonomi.

Jadi semacam apa Putin III nanti? Bagaimana ia bakal menggunakan kekuasaan yang besar yang diberikan kepada Presiden Rusia dalam suatu sistem politik tanpa checks and balances yang riil. Monolog dan artikel-artikel pra-pemilihan Putin memberikan jawaban yang menggelisahkan: jabatan kepresidenan yang dipegang Putin ini akan bertumpu pada ketidakpahamannya akan struktur hubungan internasional, pasar, dan demokrasi saat ini, serta bakal didorong oleh mesianismenya yang tidak terkendali. Seruan yang menyatakan bahwa liberalisme bisa hidup berdampingan dengan dogma yang statis meremehkan respek terhadap kompleksitas dan pilihan-pilihan sulit yang harus diambil.

Sebenarnya Putin tidak punya apa-apa yang dapat ditawarkannya kepada rakyat Rusia kecuali retorika vulgar yang diulang-ulang. Ia tidak lagi memahami persoalan yang dihadapi negara dan karena itu tidak punya gambaran apa yang perlu dilakukan. Begitu juga ia tidak merisaukan kerusakan yang terjadi akibat buruknya pemerintahan di bawah kepemimpinannya bagi masa depan Rusia. Jabatan kepresidenan ketiga Putin bakal merupakan pemerintahan berdasarkan naluri dan selera, bukan berdasarkan nalar serta penahanan diri.

Sudah tentu Putin akan memulai masa jabatan yang baru itu dengan pernyataan yang sungguh-sungguh tentang pembaruan, pembangunan, demokratisasi, dan bahaya korupsi. Ia mungkin bahkan akan memberikan isyarat-isyarat simbolis, seperti menjauhkan diri dari tokoh-tokoh politik dan media yang tidak patut didekati, atau menunjukkan sikap yang lunak terhadap mereka yang telah dipenjarakannya karena menentang kebijakannya. Tapi semua ini dilakukan dengan tujuan mempertahankan kekuasaan politik, bukan mereformasinya.

Sesungguhnya Kremlin telah banyak berbicara yang muluk-muluk mengenai kebebasan dan modernisasi pada tahun-tahun terakhir ini. Tapi, tanpa kemauan politik untuk melaksanakan perubahan-perubahan itu, janji-janji tersebut pasti menjadi janji-janji saja. Masalahnya adalah bahwa prinsip persaingan bebas dan jujur yang menjadi ciri negara-negara maju dianggap subversif terhadap negara yang telah dibangun Putin--suatu negara yang berdasarkan merger antara pemerintah dan bisnis.

Akibatnya, walaupun kemauan untuk melakukan perubahan ini bagaikan mukjizat tiba-tiba muncul di Kremlin, tak adanya legitimasi pada pemerintah ini tidak bakal menghasilkan kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan efektif. Bukannya merumuskan dan melaksanakan reformasi yang menyeluruh dan transparan, pemerintah bahkan bakal tidak punya pilihan selain terus memanjakan--dan, terutama, menghindarkan diri dari upaya mengancam--kepentingan golongan tertentu.

Orang jangan tertipu oleh konsesi-konsesi yang diberikan Kremlin. Kaum liberal Rusia tidak bakal memperoleh apa-apa dengan menggadaikan hati nurani dan merestui masa jabatan ketiga Putin sebagai presiden. Seperti sebelumnya, mereka tidak mendapat imbalan kekuasaan yang rill, dan kemungkinan terjadinya perubahan yang murni dalam struktur kekuasaan yang ada sekarang kecil sekali. Sesungguhnya langkah-langkah yang diambil penguasa untuk menenangkan opini publik akan terus diiringi dengan tekanan yang bertambah kuat atas oposisi dan organisasi-organisasi masyarakat madani.

Dan bulan-bulan setelah nanti Putin kembali sebagai presiden bakal banyak bergantung pada masyarakat madani Rusia dan para pemimpin unjuk rasa. Rakyat Rusia harus terus bertahan dan merumuskan serangkaian tuntutan politik yang tegas. Mereka harus menuntut perubahan yang rill dan bukan perubahan kosmetik-- pada sistem politik di Rusia. Tujuan utamanya sekarang adalah memperjuangkan pemilihan yang bebas dan jujur menuju terbentuknya suatu pemerintahan yang punya legitimasi dan bertanggung jawab.

Daftar persoalan mendesak yang dihadapi Rusia sudah cukup panjang dan pemecahan persoalan-persoalan itu tidak lagi bisa ditunda. Selama Putin tetap memegang kekuasaan, daftar itu akan makin bertambah panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar