Rabu, 07 Maret 2012

Ideologi Ekonomi, ke Manakah?


Ideologi Ekonomi, ke Manakah?
Andi Muhammad Sadat, MAHASISWA PROGRAM PHD
PADA NORWICH BUSINESS SCHOOL (NBS)-UNIVERSITY OF EAST ANGLIA, UK
SUMBER : REPUBLIKA, 7 Maret 2012



Bicara ekonomi Pancasila rasanya menjadi `anomi' saat ini, Anda seperti tampil dengan kaus ob long di tengah hiruk-pikuk pesta dengan pakaian gemerlap. Terminologi ini menjadi kurang populer sebab tidak lagi senapas dengan arus utama pemikiran ekonomi nasional saat ini yang secara telanjang menganut paham liberal.

Membicarakan ekonomi Pancasila tentu saja tidak lepas dari ideologi yang diusungnya. Roeslan Abduoelgani (1962) mengemukakan, sebuah ideologi dipandang sebagai sistem pemikiran yang diciptakan oleh suatu kekuatan (baca: bangsa) untuk kepentingan kekuatan itu sendiri. Dari perspektif ini, ideologi ekonomi tidak ditekankan pada kebenaran-kebenaran intelektual, tetapi pada manfaat-manfaat praktikal. Pertanyaannya, mampukah ekonomi Pancasila dengan perangkat ideologisnya saat ini mengantarkan bangsa ini pada sebuah era pencerahan ekonomi di tengah perubahan global?

Banyak pihak menyangsikannya, apalagi setelah letter of intent (LoI) dengan IMF ditandatangani 14 tahun silam. Pada momen tersebut, Indonesia dengan tegas menabuh genderang liberalisasi pada banyak sektor sehingga menimbulkan kekisruhan ekonomi-politik yang luar biasa. Lalu, ke manakah kekuatan ideologis ekonomi kita dalam melindungi segenap kepentingan bangsa ini?

Ideologi Tanpa Ideologi

Terlepas sistem apa yang kita anut, sebenarnya apa yang terjadi pada sistem perekonomian kita saat ini telah disoroti banyak kalangan, selain liberalisasi yang kebablasan, secara fundamental, arahnya telah jauh melenceng dari napas Pancasila dan UUD 1945. Aktivitas perekonomian hanya diarahkan untuk memenuhi kepentingan sesaat kelompok tertentu.

Pembangunan ekonomi berbasis ideologi Pancasila pun menjadi isapan jempol di tengah arus pragmatisme-oportunisme yang dipraktikkan oleh negara dan segenap perangkatnya. Cara berpikir seperti ini bahkan merasuk sangat jauh pada tatanan ekonomi-politik kita.

Lihat saja, meskipun ideologi sebuah partai dibahas siang-malam dalam      kongres, tidak pernah aktual. Partai dengan ideologi yang sama tidak bisa hidup berdampingan, sebaliknya mereka justru berkoalisi dengan ideologi berbeda. Ya, kita sudah terbiasa berideologi tanpa ideologi, yang penting kepentingan!

Kondisi di atas sebenarnya bukan hal baru bagi tatanan bernegara sebuah bangsa. Di dunia ketiga di mana masya rakatnya kurang ‘terdidik’ dan hidup di bawah garis kemiskinan, daripada ber debat persoalan ideologi, mereka hanya butuh makan untuk menyambung napas esok. Wajar jika penguasanya tidak tertarik pada basis pembangunannya, mereka hanya ingin kekuasaannya bertahan.

Di negara-negara yang kita kenal sebagai dedengkot komunisme pun kini tidak tahan dengan rayuan pragmatisme yang menyerbu layaknya air bah. Gelombang informasi tidak hanya membawa keterbukaan, tetapi juga ‘nafsu baru’ untuk memiliki segala sesuatu secara instan. Wajar jika di Rusia dan Cina, ideologi ekonomi lebih merupakan pajangan daripada substansi. Ideologi ekonomi komunis yang dianut justru da lam praktiknya menjadi sangat liberal.

Situasi ini adalah gambaran telanjang betapa sebuah ideologi ekonomi yang dulunya memiliki garis demarkasi yang tegas, kini begitu cair, begitu terbuka dan tidak serta-merta tergambar dalam perilaku sehari-hari. Betapa pun, Coca Cola adalah simbolisme Barat. Ia hadir sebagai merek yang lahir di bumi Amerika, negara pelopor utama liberalisme. Namun, Coca Cola saat ini bukan sekadar simbol kapitalis-liberalis ekonomi, melainkan menjelma menjadi simbol pragmatisme-budaya yang tidak mungkin dibendung.

Ideologi secara fundamental memang mensyaratkan kesetiaan tanpa kompromi, namun keterbukaan saat ini jelas sangat berbeda. Contoh lain, beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh kasus pengunduran diri seorang anggota DPR berbasis agama karena tertangkap kamera jurnalis ‘membuka’ video mesum.

Terlepas ini adalah bentuk keisengan anggota DPR dalam mengusir penat      karena sidang yang memang membosankan. Video mesum adalah bentuk lain bagaimana sebuah ideologi (informasi) dapat menyusup ke mana pun dalam setiap sisi kehidupan kita (dan tentu saja sebuah bangsa), tanpa perlu memikirkan basis ideologi apa yang mereka anut. Semua terjadi begitu cepat seolah-olah berdiri sendiri.

Ideologi Ekonomi Substantif

Perubahan memang terus bergulir dan apa pun ideologinya, gelombang ketidakpuasan pasti terjadi jika ketimpangan sosial-ekonomi terus berlanjut.
Dengan demikian, perdebatannya bukan pada tatanan ideologis lagi, melainkan pada tataran praksis, artinya apakah perilaku pembangunan mampu menyejahterakan rakyat atau tidak, apalagi pergeseran dua kutub ideologis Timur dan Barat telah lama `padam' di mana kapitalisme tampil sebagai jawara. Dengan demikian, cara berpikir kita harusnya diarahkan kepada substansi, bukan sekadar ideologi pajangan yang memang tidak berarti apa-apa buat bangsa ini.

Beberapa dekade silam, Frans Seda pernah mengkritik ideologi pembangunan nasional kita dengan ungkapan `bukanisme'. Kritik ini diarahkan kepada para pengusung konsep ideologi/sistem ekonomi Pancasila saat itu yang kerap menggambarkan aktivitas ekonomi nasional yang `serba ambigu', yaitu Indonesia bukan kapitalisme, bukan sosialisme, tidak ada monopoli dan oligopoli, serta tidak ada persaingan bebas yang saling mematikan. Tapi, benarkah? Pandangan ini setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa sistem pembangunan yang kita anut belum memiliki konsep tunggal sehingga sangat rawan untuk disalaharahkan seperti saat ini.

Ideologi pada akhirnya tak akan pernah menampilkan wujud `nyatanya' jika tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi individu, masyarakat, dan tentu saja negara dalam mengarungi tantangan zaman. Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan mengapa sebuah idelogi lambat laun kehilangan pengikut dan hanya sebatas simbolisme formal dalam setiap seremoni kenegaraan, seperti yang kita alami sebagai bangsa saat ini. Ia kehilangan substansinya dan mencair ke mana-mana bergantung pada kepentingan penguasanya. Nah, kalau begini, hendak dikemanakan arah pembangunan bangsa ini? ●

1 komentar:

  1. Salam kenal Mas Budisan.... terima kasih telah memposting tulisan ini ke blognya. oh ya dimana ya sy bisa lihat web versi asli tulisan ini? kbetulan sy penulisnya... salam

    BalasHapus