Ideologi
Ekonomi, ke Manakah?
Andi Muhammad Sadat, MAHASISWA PROGRAM PHD
PADA NORWICH BUSINESS
SCHOOL (NBS)-UNIVERSITY OF EAST ANGLIA, UK
SUMBER : REPUBLIKA, 7
Maret 2012
Bicara
ekonomi Pancasila rasanya menjadi `anomi' saat ini, Anda seperti tampil dengan kaus
ob long di tengah hiruk-pikuk pesta dengan pakaian gemerlap. Terminologi ini
menjadi kurang populer sebab tidak lagi senapas dengan arus utama pemikiran
ekonomi nasional saat ini yang secara telanjang menganut paham liberal.
Membicarakan
ekonomi Pancasila tentu saja tidak lepas dari ideologi yang diusungnya. Roeslan
Abduoelgani (1962) mengemukakan, sebuah ideologi dipandang sebagai sistem
pemikiran yang diciptakan oleh suatu kekuatan (baca: bangsa) untuk kepentingan
kekuatan itu sendiri. Dari perspektif ini, ideologi ekonomi tidak ditekankan
pada kebenaran-kebenaran intelektual, tetapi pada manfaat-manfaat praktikal.
Pertanyaannya, mampukah ekonomi Pancasila dengan perangkat ideologisnya saat
ini mengantarkan bangsa ini pada sebuah era pencerahan ekonomi di tengah
perubahan global?
Banyak
pihak menyangsikannya, apalagi setelah letter
of intent (LoI) dengan IMF ditandatangani 14 tahun silam. Pada momen
tersebut, Indonesia dengan tegas menabuh genderang liberalisasi pada banyak
sektor sehingga menimbulkan kekisruhan ekonomi-politik yang luar biasa. Lalu,
ke manakah kekuatan ideologis ekonomi kita dalam melindungi segenap kepentingan
bangsa ini?
Ideologi Tanpa Ideologi
Terlepas
sistem apa yang kita anut, sebenarnya apa yang terjadi pada sistem perekonomian
kita saat ini telah disoroti banyak kalangan, selain liberalisasi yang
kebablasan, secara fundamental, arahnya telah jauh melenceng dari napas
Pancasila dan UUD 1945. Aktivitas perekonomian hanya diarahkan untuk memenuhi
kepentingan sesaat kelompok tertentu.
Pembangunan
ekonomi berbasis ideologi Pancasila pun menjadi isapan jempol di tengah arus
pragmatisme-oportunisme yang dipraktikkan oleh negara dan segenap perangkatnya.
Cara berpikir seperti ini bahkan merasuk sangat jauh pada tatanan
ekonomi-politik kita.
Lihat
saja, meskipun ideologi sebuah partai dibahas siang-malam dalam kongres, tidak pernah aktual. Partai
dengan ideologi yang sama tidak bisa hidup berdampingan, sebaliknya mereka
justru berkoalisi dengan ideologi berbeda. Ya, kita sudah terbiasa berideologi
tanpa ideologi, yang penting kepentingan!
Kondisi
di atas sebenarnya bukan hal baru bagi tatanan bernegara sebuah bangsa. Di
dunia ketiga di mana masya rakatnya kurang ‘terdidik’ dan hidup di bawah garis
kemiskinan, daripada ber debat persoalan ideologi, mereka hanya butuh makan
untuk menyambung napas esok. Wajar jika penguasanya tidak tertarik pada basis
pembangunannya, mereka hanya ingin kekuasaannya bertahan.
Di
negara-negara yang kita kenal sebagai dedengkot komunisme pun kini tidak tahan
dengan rayuan pragmatisme yang menyerbu layaknya air bah. Gelombang informasi
tidak hanya membawa keterbukaan, tetapi juga ‘nafsu baru’ untuk memiliki segala
sesuatu secara instan. Wajar jika di Rusia dan Cina, ideologi ekonomi lebih
merupakan pajangan daripada substansi. Ideologi ekonomi komunis yang dianut
justru da lam praktiknya menjadi sangat liberal.
Situasi
ini adalah gambaran telanjang betapa sebuah ideologi ekonomi yang dulunya
memiliki garis demarkasi yang tegas, kini begitu cair, begitu terbuka dan tidak
serta-merta tergambar dalam perilaku sehari-hari. Betapa pun, Coca Cola adalah
simbolisme Barat. Ia hadir sebagai merek yang lahir di bumi Amerika, negara
pelopor utama liberalisme. Namun, Coca Cola saat ini bukan sekadar simbol
kapitalis-liberalis ekonomi, melainkan menjelma menjadi simbol pragmatisme-budaya
yang tidak mungkin dibendung.
Ideologi
secara fundamental memang mensyaratkan kesetiaan tanpa kompromi, namun
keterbukaan saat ini jelas sangat berbeda. Contoh lain, beberapa waktu lalu,
kita dikejutkan oleh kasus pengunduran diri seorang anggota DPR berbasis agama
karena tertangkap kamera jurnalis ‘membuka’ video mesum.
Terlepas
ini adalah bentuk keisengan anggota DPR dalam mengusir penat karena sidang yang memang membosankan.
Video mesum adalah bentuk lain bagaimana sebuah ideologi (informasi) dapat
menyusup ke mana pun dalam setiap sisi kehidupan kita (dan tentu saja sebuah
bangsa), tanpa perlu memikirkan basis ideologi apa yang mereka anut. Semua
terjadi begitu cepat seolah-olah berdiri sendiri.
Ideologi Ekonomi Substantif
Perubahan
memang terus bergulir dan apa pun ideologinya, gelombang ketidakpuasan pasti
terjadi jika ketimpangan sosial-ekonomi terus berlanjut.
Dengan demikian, perdebatannya bukan pada tatanan ideologis lagi, melainkan pada tataran praksis, artinya apakah perilaku pembangunan mampu menyejahterakan rakyat atau tidak, apalagi pergeseran dua kutub ideologis Timur dan Barat telah lama `padam' di mana kapitalisme tampil sebagai jawara. Dengan demikian, cara berpikir kita harusnya diarahkan kepada substansi, bukan sekadar ideologi pajangan yang memang tidak berarti apa-apa buat bangsa ini.
Dengan demikian, perdebatannya bukan pada tatanan ideologis lagi, melainkan pada tataran praksis, artinya apakah perilaku pembangunan mampu menyejahterakan rakyat atau tidak, apalagi pergeseran dua kutub ideologis Timur dan Barat telah lama `padam' di mana kapitalisme tampil sebagai jawara. Dengan demikian, cara berpikir kita harusnya diarahkan kepada substansi, bukan sekadar ideologi pajangan yang memang tidak berarti apa-apa buat bangsa ini.
Beberapa
dekade silam, Frans Seda pernah mengkritik ideologi pembangunan nasional kita
dengan ungkapan `bukanisme'. Kritik ini diarahkan kepada para pengusung konsep
ideologi/sistem ekonomi Pancasila saat itu yang kerap menggambarkan aktivitas
ekonomi nasional yang `serba ambigu', yaitu Indonesia bukan kapitalisme, bukan
sosialisme, tidak ada monopoli dan oligopoli, serta tidak ada persaingan bebas
yang saling mematikan. Tapi, benarkah? Pandangan ini setidaknya memberi
gambaran kepada kita bahwa sistem pembangunan yang kita anut belum memiliki
konsep tunggal sehingga sangat rawan untuk disalaharahkan seperti saat ini.
Ideologi pada akhirnya tak akan pernah
menampilkan wujud `nyatanya' jika tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi
individu, masyarakat, dan tentu saja negara dalam mengarungi tantangan zaman.
Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan mengapa sebuah idelogi lambat laun
kehilangan pengikut dan hanya sebatas simbolisme formal dalam setiap seremoni
kenegaraan, seperti yang kita alami sebagai bangsa saat ini. Ia kehilangan
substansinya dan mencair ke mana-mana bergantung pada kepentingan penguasanya. Nah,
kalau begini, hendak dikemanakan arah pembangunan bangsa ini? ●
Salam kenal Mas Budisan.... terima kasih telah memposting tulisan ini ke blognya. oh ya dimana ya sy bisa lihat web versi asli tulisan ini? kbetulan sy penulisnya... salam
BalasHapus