Pengaruh
Hindia Belanda
Robbert Dijkgraaf, ILMUWAN BELANDA,
PRESIDEN THE ROYAL NETHERLANDS ACADEMY OF ARTS AND SCIENCES
SUMBER : KORAN TEMPO, 7
Maret 2012
Di ruang kerja saya, tergantung dua buah foto
Ketua Akademi terdahulu, dengan ciri khas orang terpelajar dari awal abad
sebelumnya: terhormat, beruban, berjenggot, dan berkacamata. Foto pertama
adalah seorang eksakta tulen, fisikawan Hendrik Lorentz, yang terlihat ramah
tapi tegas. Ia bukan hanya seorang arsitek teori modern tentang radiasi dan
benda, tapi juga bertanggung jawab atas pembangunan Afsluitdijk (bendungan yang
menghubungkan Provinsi Noord-Holland dan Friesland).
Orang kedua adalah seorang ahli humaniora
tulen. Dia membungkuk di atas sebuah buku tebal, hidungnya hampir masuk ke
halaman-halaman--sebuah gambaran karikatur ilmuwan linglung, kutu buku yang
hampir tidak sadar akan sisa dunia di luarnya. Tapi gambaran itu sama sekali
tidak benar. Ahli bahasa Sanskerta, Hendrik Kern (1833-1917), setidaknya sama
jeniusnya dan relevan seperti Lorentz. Dia menguasai hampir semua bahasa yang
bisa dibayangkan, baik bahasa yang masih dipakai maupun yang sudah punah.
Seorang ahli tingkat dunia dalam bidang bahasa-bahasa wilayah timur, mulai bahasa
Farsi melalui Jawa kuno sampai Polinesia. Kern lahir di Hindia Belanda dan
berjasa besar terhadap tanah kelahirannya. Di Indonesia, Kern dihormati karena
dia menunjukkan bahwa kepulauan yang terbagi-bagi itu, dari segi bahasa
merupakan suatu kesatuan alami.
Cukup aneh bahwa Indonesia kurang mendapat
perhatian dari kita, juga dalam hal ilmu pengetahuan. Apakah ini karena kita
tidak ingin mengingat sejarah kolonialisme--semacam peredaman ala teori Freud?
Biarkan saya memberikan lagi dua contoh tentang pengaruh Hindia Belanda. Eugene
Dubois (1858-1940) adalah seorang dokter muda yang berbakat dan keras kepala.
Terinspirasi oleh Darwin, ia yakin bisa menemukan mata rantai yang hilang
antara kera dan manusia di Asia Tenggara.
Pada 1887, ia bergabung dengan tentara Hindia
Belanda (KNIL) sebagai dokter dan kemudian berangkat bersama istri dan putrinya
yang baru lahir menuju wilayah timur. Dubois tidak hanya pantang menyerah, ia
juga beruntung atas penggalian-penggalian yang dilakukannya. Dengan cepat ia menemukan
sebuah tengkorak, gigi geraham, dan sebuah tulang paha dari "manusia
Jawa", contoh pertama dari apa yang saat ini disebut Homo erectus.
Seiring dengan waktu, ia juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang
sepenuhnya baru, yaitu paleoantropologi.
Christiaan Eijkman (1858-1930), sama seperti
Dubois, bekerja sebagai dokter di tentara Hindia Belanda. Pada 1888, dia
diangkat sebagai direktur pertama di Centraal Geneeskundig Laboratorium
(Laboratorium Kedokteran Pusat) di Batavia. Bersama asistennya, Gerrit Grijns,
dia melakukan serangkaian uji coba untuk mencari penyebab penyakit tropis
beri-beri. Semua orang mengira beri-beri disebabkan oleh bakteri, tapi dari
hasil uji coba yang dilakukan terhadap ayam, muncullah ide lain. Ketika ayam
itu memakan beras tanpa kulit ari, terlihat gejala penyakit beri-beri. Namun,
ketika diberi beras yang masih memiliki kulit ari, gejala itu hilang.
Demikianlah mereka menemukan bahwa beri-beri disebabkan oleh kekurangan
vitamin. Dari penemuan vitamin B1 inilah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel,
sedangkan Grijns disisihkan. Hal itu merupakan sebuah ketidakadilan karena
justru Grijns yang berperan krusial dalam penetapan adanya kekurangan zat
nutrisi sebagai penyebab.
Lembaga Eijkman di Jakarta saat ini merupakan
salah satu lembaga ilmiah yang paling terkemuka di Indonesia. Lembaga itu
bangga atas sejarah panjang beserta prestasi yang telah diukir oleh direktur
pertamanya. Gedung yang bergaya kolonial telah direnovasi secara indah dan
memuat peralatan penelitian terbaru. Terlebih dalam sebuah negara dan kota yang
mengalami ledakan jumlah penduduk luar biasa, suasana tenang dalam koridor
panjang terasa amat melegakan. Anda merasa kembali ke masa yang telah hilang.
Pada kunjungan yang belum lama saya lakukan,
memang begitulah keadaannya. Kami disuguhi sebuah tontonan film yang menarik
berlatar Batavia pada 1920-an. Kamera berputar mengelilingi kota dan bergerak
dengan halus terayun menggambarkan pemandangan saat itu. Semuanya memancarkan
ketenangan nan asri, terutama ketika kamera mendekati daerah kosong tempat
sekolah kedokteran dan Lembaga Eijkman berada. Alangkah besar perbedaannya saat
kita berjalan keluar setelah menonton film itu dan merasakan hiruk-pikuk
Jakarta masa kini dengan aliran sepeda motor yang melaju tanpa hentinya
disertai bunyi klakson yang bising. Mengesankan begitu cepatnya negara ini
telah berubah dalam waktu singkat dan tak terbayangkan perubahannya di kemudian
hari.
Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.
Bagian dunia ini berjumlah lebih dari setengah miliar penduduk dan memiliki
beberapa "macan teknologi" yang berkembang pesat. Saat ini Indonesia
memang belum menjadi pelopor, tapi tidak bisa dimungkiri kelak Indonesia akan
berkembang secara spektakuler. Apakah masih ada perannya bagi negeri Belanda?
Apakah kita masih memiliki ide tentang apa yang bisa kita lakukan terhadap
negara yang sudah berabad-abad lamanya memberi kita begitu banyak, termasuk
dalam hal ilmu pengetahuan?
Ada seseorang yang tidak ragu akan pentingnya
Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Indonesia saat berumur 6 tahun sampai 10
tahun. Ia ingin memperkuat hubungannya. Ia telah mengirim utusan ilmiah khusus,
dan juga akan berinvestasi secara besar-besaran. Dalam kunjungannya pada 2010,
Presiden Barack Obama memuji keragaman dan toleransi di Indonesia. Terlihat
jelas bahwa hubungan erat antara sebuah negara muslim yang besar dan moderat
sangat cocok dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. (Sebuah pemikiran
menarik bahwa Belanda selama berabad-abad telah menjadi negara dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di dunia.)
Obama sangat menyadari peluang-peluang yang
ada di Indonesia. Dari segi jumlah penduduk, Amerika dan Indonesia adalah
negara urutan ketiga dan keempat terbesar di dunia. Pada 2012, sumber kekayaan
alam terbesar di kepulauan raksasa ini bukan lagi rempah-rempah atau tenaga
kerja murah, melainkan generasi muda berbakat yang tak ada habisnya. Pengaruh
Hindia Belanda akan jauh lebih besar daripada sekadar nasi goreng di menu
restoran kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar