Jumat, 23 Maret 2012

Fundamentalisme, Gus Dur, dan Nyepi 1934

Fundamentalisme, Gus Dur, dan Nyepi 1934
Made Ayu Nita Trisna Dewi, ALUMNUS NATIONAL CHENGCHI UNIVERSITY TAIPEI
SUMBER : SINDO, 23 Maret 2012



Hanya beberapa hari menjelang Nyepi terjadi berbagai ledakan bom seperti di Semarang, Tuban, dan di luar Gedung KBRI di Paris. Di Bali, provinsi dengan mayoritas umat Hindu,juga baru terjadi penggerebekan dan penembakan lima orang yang diduga teroris oleh Tim Densus 88 di Jalan Gunung Soputan dan Jalan Danau Poso, Denpasar (SINDO,19/3).

Meski apa yang dilakukan Tim Densus 88 pada lima tersangka itu masih bisa dipertanyakan dan dikritisi,publik Bali hingga kini masih traumatis tiap kali ada isu bom dan terorisme. Kita tentu belum lupa aksi para pelaku bom bunuh diri dalam Tragedi Bom Bali I pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005, yang menewaskan ratusan orang dari berbagai negara. Maraknya bom atau terorisme ini memang tidak bisa dilepaskan dari fundamentalisme agama, suatu paham yang ditolak keras karena paham ini menjunjung sikap kaku dan keras.

Di negeri aita fundamentalisme agama kian menguat,padahal dahulu negeri kita dikenal sebagai negeri penuh toleransi. Apa yang dilakukan para teroris itu jelas menodai agama dan peradaban kita.Dalam perspektif peradaban,agama adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban atau kebudayaan.

Agama merupakan buah refleksi olah pikir dan olah batin manusia dalam relasinya dengan Yang Maha Tinggi agar tata hidup bersama (masyarakat) tetap berada dalam bingkai keberadaban, bukan kebiadaban. Tak heran bila di Bali antara agama (Hindu) dan kebudayaan Bali sungguh tidak bisa dipisahkan sehingga agama Hindu di Bali pun disebut Hindu Bali.

Gus Dur

Apa yang dilakukan para teroris itu jelas merupakan penyimpangan keagamaan dan menjadi tragedi memilukan dalam sejarah peradaban kita. Negeri kita bahkan ikut tercoreng. Sebagaimana diketahui, negeri ini dahulu dikenal sebagai negeri yang ramah atas berbagai macam perbedaan (suku, agama, ras, antargolongan atau SARA) yang merupakan negeri majemuk.

Toleransi dan penghargaan kita pada keberagaman bahkan diapresiasi di mana-mana. Namun, kini negeri kita dikenal sebagai negeri yang tidak ramah pada perbedaan. Kita menjadi kurang menghargai perbedaan. Seolah perbedaan menjadi musuh karena kemunculan fundamentalisme agama. Untuk itu, kita yang masih ingin Indonesia menjadi rumah yang ramah bagi semua orang harus membuat langkah kolektif yang lebih strategis dalam menghadapi ancaman fundamentalisme atau radikalisme.

Salah satu langkah strategis yang harus kita ambil mungkin adalah melakukan moderasi. Hanya dengan moderasi yang tidak kenal lelah, jati diri Indonesia yang majemuk dan beragam ini akan bisa kita jaga dan selamatkan dari ancaman terorisme, fundamentalisme, dan anarkisme.Dalam konteks moderasi,mari kita menggelorakan spirit Bapak Pluralisme Indonesia Gus Dur bahwa perbedaan dan keberagaman itu sudah merupakan takdir yang harus kita jaga dan hormati.

 Nah,moderasi untuk menghadapi fundamentalisme atau radikalisme,menurut Gus Dur, bisa dilakukan dengan pendekatan kultural atau jalur budaya. Maka itu, apa yang disebut dengan moderasi lewat jalan budaya, ”sivilisasi”, humanisasi, atau deradikalisasi secara beradab harus ditempuh.Ingat aksi teror atau kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan menjebak kita dalam lingkaran setan kekerasan.

Pesan Damai Nyepi

Lalu apa kaitan semua itu dengan Hari Raya Nyepi? Seperti kita tahu,Nyepi pada dasarnya merupakan pergantian tahun Saka (Isakawarsa).Nyepi tahun ini resmi memasuki Tahun Saka 1934. Namun, lebih dari sekadar perayaan pergantian tahun,Nyepi juga merupakan hari raya yang disucikan bagi umat Hindu di Tanah Air, khususnya bagi hampir tiga juta penganutnya di Bali.

Guna menyambut Nyepi,dilangsungkan beberapa ritual seperti Melasti, Tawur Kesanga, dan upacara Yoga Samadhi dengan empat pantangan wajib yakni amati geni atau berpantang menyalakan api,amati karya atau menghentikan aktivitas kerja, amati lelanguan atau berpantang menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan hedonisme, serta amati lelungan atau pantang bepergian. Lalu sehari setelah tahun baru Saka, dilangsungkan acara Ngembak Geni.Segenap keluarga keluar dari rumah masing- masing dan bermaafmaafan dengan tetangga dan kerabat dalam suasana jiwa dan raga yang telah bersih.

Nah,dalam rangkaian ritual Nyepi di atas, kita bisa melihat betapa umat Hindu berusaha melakukan introspeksi dan penyucian diri serta pertobatan agar terhindar dari kuasa kejahatan seperti serangan teroris dari kaum fundamentalis. Dengan jiwa raga yang suci, umat Hindu mencoba menjaga harmoni dengan Sang Pencipta dan alam semesta (semasa makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tanaman.

Dengan demikian,Nyepi berusaha menjaga keseimbangan serta mengakhiri segala hal buruk, termasuk terorisme. Keseimbangan yang dilakukan umat Hindu boleh jadi sama dengan sikap moderat yang dipesankan oleh Gus Dur. Umat Hindu mengajak juga semua penganut agama lain untuk berkoalisi melawan fundamentalisme dan radikalisme.

Musuh terbesar umat Hindu bukanlah agama lain, tapi siapa pun yang melegalkan terorisme dan kekerasan dan ingin membuat Tanah Air tidak damai. Semoga Nyepi tahun ini sungguh membawa damai di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar