Pintu
Mencegah Koruptor Cepat Bebas
Samsul Wahidin, GURU
BESAR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNMER MALANG
SUMBER : JAWA POS, 12 Maret 2012
GUGATAN
terhadap SK Menkum HAM tentang moratorium remisi para koruptor dikabulkan.
Substansinya, para koruptor yang sudah dihukum ringan akhirnya bisa bebas.
Tapi, tunggu dulu. Meski secara yuridis merupakan kebijakan pemerintah (dalam
hal ini Menkum HAM), tidak berarti itu sudah final. Menkum HAM menyatakan
banding sampai kasasi sebagai bukti mempertahankan keseriusan memerangi
koruptor sesuai dengan kewenangannya.
Pihak yang pro terhadap SK Menkum HAM itu menilai bahwa pengetatan untuk pembebasan bersyarat koruptor tersebut sesuai dengan semangat memberantas korupsi. Itu bisa menambah efek jera bagi koruptor dan calon koruptor. Aspek prosedural, dilakukan dengan diskresi (discretionary, freies ermessen). Yakni, pemerintah berwenang mengambil kebijakan sebagai refleksi kepekaan memberantas korupsi melalui pencabutan ketentuan tentang pembebasan bersyarat bagi koruptor.
Yang kontra berpegang pada asas legalitas bahwa dari sisi prosedural dan substansial moratorium itu tidak berdasar. Pengecualian atas aturan tersebut bertentangan dengan PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Inti PP itu, seorang terpidana yang sudah menjalani dua per tiga masa hukuman berhak atas pembebasan bersyarat. Karena itu, tata caranya diatur Kemenkum HAM, khususnya Ditjen Pemasyarakatan. Dengan demikian, Ditjen Pemasyarakatan pun mengatur bahwa pembebasan bersyarat untuk koruptor sementara ditiadakan.
Kendati sulit dicari ukuran secara kuantitatif, rasa keadilan bisa menjadi legitimasinya. Bahwa benar, koruptor merampok uang rakyat dan nyaris membangkrutkan negara. Bahwa benar, korupsi merupakan extraordinary crime yang sangat meresahkan masyarakat, sedangkan institusi hukum yang permanen (kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu mengatasi. Bahwa benar, karena itulah, dibentuk KPK dan pengadil para koruptor di tiap provinsi. Bahwa benar, koruptor yang menggurita itu akhirnya hanya dijatuhi hukuman ringan. Karena itu, perlu ada upaya konkret untuk menahan laju pembebasan mereka dengan cara ''sekadar'' menunda pembebasannya. Salahkah itu?
Apa boleh buat, PTUN melalui putusannya memilih berangkat dari jalur normatif dengan legitimasi normatifnya pula. PTUN tidak memandang urgen untuk mengakomodasi ''kejengkelan nasional'' terhadap koruptor.
Setelah putusan PTUN jatuh, muncul pertentangan pendapat yang semakin tajam. Wakil Menkum HAM (Denny Indrayana) dan pihak yang merasa menang atas putusan PTUN (Yusril Ihza Mahendra, mantam Menkum HAM) berperang pernyataan yang cenderung pada debat kusir. Itu merupakan contoh tidak apik di masyarakat.
Sebenarnya, ada dua pintu masuk yang bisa digunakan para koruptor untuk membebaskan diri. Pertama, melalui pintu grasi. Itu merupakan kewenangan presiden selaku kepala negara (bukan kepala eksekutif) untuk memberikan ampunan, bisa berupa pengurangan hukuman. Logikanya, koruptor yang melalui pintu ini mengakui bahwa dirinya melakukan korupsi dan karena itu dia minta ampun.
Pintu tersebut sulit karena komitmen (formal) pemerintah, khususnya Presiden SBY, adalah memerangi koruptor. Lagi pula, para penjahat korupsi yang sebagian besar adalah pejabat memilih untuk merasa dirinya tidak bersalah dengan menggunakan semua upaya hukum yang ada minus grasi. Kecuali, saat SBY memberi Syaukani H.R. grasi separo dari 3,5 tahun masa hukumannya. Alasannya, koruptor itu sakit berat dan sudah melunasi denda serta uang pengganti Rp 49,5 miliar.
Pintu kedua, melalui pembebasan bersyarat sebagaimana yang telah disebutkan. Pintu itu menjadi dasar bagi pemerintah sebagai pelaksana putusan pengadilan. Refleksinya adalah PP No 32 Tahun 1999 yang masih berlaku sampai sekarang karena memang belum dicabut. Pintu itu dipandang lebih terhormat. Artinya, para koruptor tetap tidak merasa bersalah sampai proses hukum akhir. Toh, pidana yang dijatuhkan rata-rata ringan, kurang dari lima tahun. Bebasnya mereka bisa disebut kebebasan konstitusional. Karena itu, ketika dasar hukum pembebasan tersebut dihapus, pintu itu pun tertutup.
Yang perlu dilakukan adalah mengganti atau mengubah PP No 32/1999 itu dengan menambahkan klausul pengecualian. Bahwa, untuk koruptor, tidak ada pembebasan bersyarat. Sesuai dengan substansinya, media ideal untuk itu adalah mengubah UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, itu akan sangat lama karena harus bekerja sama dengan DPR yang notabene lebih lantang membela hak koruptor.
Solusi mengubah PP tersebut logis. Selain memang menjadi kewenangan pemerintah, tidak akan muncul silang tafsir dan menjadi legitimasi kuat untuk mengetatkan hukuman bagi koruptor.
Yang seharusnya juga merasa tersindir adalah para hakim pengadilan korupsi. Mereka hendaknya bisa menangkap kemarahan masyarakat. Mereka harus berani menjatuhkan hukuman bagi koruptor dengan hukuman maksimal. Termasuk, menyita harta benda hasil korupsi mereka pada awal sidang. Dengan demikian, mereka tak bisa leluasa ''membeli'' jasa hukum yang mahal. ●
Pihak yang pro terhadap SK Menkum HAM itu menilai bahwa pengetatan untuk pembebasan bersyarat koruptor tersebut sesuai dengan semangat memberantas korupsi. Itu bisa menambah efek jera bagi koruptor dan calon koruptor. Aspek prosedural, dilakukan dengan diskresi (discretionary, freies ermessen). Yakni, pemerintah berwenang mengambil kebijakan sebagai refleksi kepekaan memberantas korupsi melalui pencabutan ketentuan tentang pembebasan bersyarat bagi koruptor.
Yang kontra berpegang pada asas legalitas bahwa dari sisi prosedural dan substansial moratorium itu tidak berdasar. Pengecualian atas aturan tersebut bertentangan dengan PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Inti PP itu, seorang terpidana yang sudah menjalani dua per tiga masa hukuman berhak atas pembebasan bersyarat. Karena itu, tata caranya diatur Kemenkum HAM, khususnya Ditjen Pemasyarakatan. Dengan demikian, Ditjen Pemasyarakatan pun mengatur bahwa pembebasan bersyarat untuk koruptor sementara ditiadakan.
Kendati sulit dicari ukuran secara kuantitatif, rasa keadilan bisa menjadi legitimasinya. Bahwa benar, koruptor merampok uang rakyat dan nyaris membangkrutkan negara. Bahwa benar, korupsi merupakan extraordinary crime yang sangat meresahkan masyarakat, sedangkan institusi hukum yang permanen (kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu mengatasi. Bahwa benar, karena itulah, dibentuk KPK dan pengadil para koruptor di tiap provinsi. Bahwa benar, koruptor yang menggurita itu akhirnya hanya dijatuhi hukuman ringan. Karena itu, perlu ada upaya konkret untuk menahan laju pembebasan mereka dengan cara ''sekadar'' menunda pembebasannya. Salahkah itu?
Apa boleh buat, PTUN melalui putusannya memilih berangkat dari jalur normatif dengan legitimasi normatifnya pula. PTUN tidak memandang urgen untuk mengakomodasi ''kejengkelan nasional'' terhadap koruptor.
Setelah putusan PTUN jatuh, muncul pertentangan pendapat yang semakin tajam. Wakil Menkum HAM (Denny Indrayana) dan pihak yang merasa menang atas putusan PTUN (Yusril Ihza Mahendra, mantam Menkum HAM) berperang pernyataan yang cenderung pada debat kusir. Itu merupakan contoh tidak apik di masyarakat.
Sebenarnya, ada dua pintu masuk yang bisa digunakan para koruptor untuk membebaskan diri. Pertama, melalui pintu grasi. Itu merupakan kewenangan presiden selaku kepala negara (bukan kepala eksekutif) untuk memberikan ampunan, bisa berupa pengurangan hukuman. Logikanya, koruptor yang melalui pintu ini mengakui bahwa dirinya melakukan korupsi dan karena itu dia minta ampun.
Pintu tersebut sulit karena komitmen (formal) pemerintah, khususnya Presiden SBY, adalah memerangi koruptor. Lagi pula, para penjahat korupsi yang sebagian besar adalah pejabat memilih untuk merasa dirinya tidak bersalah dengan menggunakan semua upaya hukum yang ada minus grasi. Kecuali, saat SBY memberi Syaukani H.R. grasi separo dari 3,5 tahun masa hukumannya. Alasannya, koruptor itu sakit berat dan sudah melunasi denda serta uang pengganti Rp 49,5 miliar.
Pintu kedua, melalui pembebasan bersyarat sebagaimana yang telah disebutkan. Pintu itu menjadi dasar bagi pemerintah sebagai pelaksana putusan pengadilan. Refleksinya adalah PP No 32 Tahun 1999 yang masih berlaku sampai sekarang karena memang belum dicabut. Pintu itu dipandang lebih terhormat. Artinya, para koruptor tetap tidak merasa bersalah sampai proses hukum akhir. Toh, pidana yang dijatuhkan rata-rata ringan, kurang dari lima tahun. Bebasnya mereka bisa disebut kebebasan konstitusional. Karena itu, ketika dasar hukum pembebasan tersebut dihapus, pintu itu pun tertutup.
Yang perlu dilakukan adalah mengganti atau mengubah PP No 32/1999 itu dengan menambahkan klausul pengecualian. Bahwa, untuk koruptor, tidak ada pembebasan bersyarat. Sesuai dengan substansinya, media ideal untuk itu adalah mengubah UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Namun, itu akan sangat lama karena harus bekerja sama dengan DPR yang notabene lebih lantang membela hak koruptor.
Solusi mengubah PP tersebut logis. Selain memang menjadi kewenangan pemerintah, tidak akan muncul silang tafsir dan menjadi legitimasi kuat untuk mengetatkan hukuman bagi koruptor.
Yang seharusnya juga merasa tersindir adalah para hakim pengadilan korupsi. Mereka hendaknya bisa menangkap kemarahan masyarakat. Mereka harus berani menjatuhkan hukuman bagi koruptor dengan hukuman maksimal. Termasuk, menyita harta benda hasil korupsi mereka pada awal sidang. Dengan demikian, mereka tak bisa leluasa ''membeli'' jasa hukum yang mahal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar