Senin, 12 Maret 2012

Ekonomi Widjojo-Soeharto

Ekonomi Widjojo-Soeharto
Fuad Bawazier, MANTAN MENTERI KEUANGAN
SUMBER : REPUBLIKA, 12 Maret 2012



Arsitek ekonomi orde baru Widjojo Nitisastro wafat, Jumat 9 Maret 2012. Tokoh ini praktis mendampingi Suharto selama tiga dekade pemerintahan Suharto. Latar belakang Widjojo dengan Soeharto jelas amat berbeda. Widjojo seorang ekonom liberal dengan pendidikan S3 dari Amerika Setikat (AS) sedangkan Soeharto seorang pejuang kemerdekaan `45 dengan latar belakang kehidupan ekonomi pertanian dan pedesaan.

Karena itu, selama masa Orde Baru sebenarnya berlangsung dualisme ekonomi, yaitu Soehartonomics dengan ekonomi kerakyatan atau pedesaannya dan Widjojonomics dengan ekonomi liberalnya. Soeharto concern dengan pedesaan dan pertanian lewat program-programnya yang antara lain mengandalkan subsidi pemerintah.

Suhartonomics mengajukan program inpres SD, inpres jalan desa, puskesmas, inpres pasar tradisionial, subsidi benih dan pupuk, aktif membangun irigasi, mengirim penyuluh pertanian ke desa-desa, subsidi kredit termasuk kredit candak kulak, kredit usaha tani (KUT), juga kredit jaring nelayan. Ide lainnya adalah bunga rumah sangat sederhana (RSS), program keluarga berencana (KB), subsidi BBM, dan sebagainya.

Sementara itu, Widjojo meletakkan dasar-dasar ekonomi liberal, seperti perbankan, pasar modal, utang luar negeri, penanaman modal asing, dan lain-lain yang umumnya bersinggungan dengan pelaku ekonomi elite dan asing (kapitalisme) dan lalu lintas modal. Kedua aliran ekonomi yang berbeda ini berjalan bersama secara damai di bawah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas politik.

Bedanya Soeharto adalah komandan individual yang tidak menyiapkan kader-kader untuk meneruskan ekonomi kerakyatan atau pedesaannya sehingga lengsernya Soeharto dibarengi dengan melemahnya program-program ekonomi unggulannya. Bahkan, program kerakyatannya semakin terdesak dan terkubur termasuk program-program subsidinya yang dibenci para ekonom neolib.

Sementara itu, Widjojo sejak awal menyiapkan kadernya sehingga lengsernya Widjojo segera digantikan oleh kader-kadernya, seperti Budiono dan Sri Mulyani. Karena itu, ekonomi Indonesia sekarang tidak lagi ekonomi dualisme, tetapi ekonomi liberal bahkan lebih ekstrem lagi, yakni neolib.

Hasil `Perang'

Kedua tokoh asal Jawa yang sama-sama lembut dan santun ini mempunyai persamaan dan perbedan. Persamaannya, keduanya pekerja keras yang meninggalkan karya bagi bangsa Indonesia meski dengan pujian, kritikan, dan makian. Baik Soeharto maupun Widjojo tidak meninggalkan karya tulis atau karya ilmiah. Keduanya juga membatasi penampilannya di depan publik dan jarang berdebat atau berdiskusi secara terbuka, dengan pengecualian Soeharto yang sering tatap muka dengan petani dan nelayan.

Sejak masuk di pusaran kekuasaan, Widjojo amat dekat dan setia pada arahan Bank Dunia dan IMF sedangkan Soeharto lebih mendengarkan teman-teman militer angkatan `45 dan teman-teman (kroni) pengusaha dekatnya. Soeharto sering menampakkan kebenciannya pada Bank Dunia, IMF, dan IGGI (kumpulan kreditur luar negeri khusus untuk Indonesia) yang dibubarkannya meski dengan cepat dihidupkan kembali oleh Widjojo dengan baju baru yang bernama CGI.

Soeharto belakangan juga menyadari bahwa konsep trickle down effect ala Widjojo ternyata tidak menghasilkan pemerataan sebab jurang si kaya dan si miskin semakin melebar. Meski demikian, Soeharto yang bukan ekonom tidak berdaya menolaknya. Widjojo semakin mulus dengan konsep pembesaran kue nasionalnya yang didukung perusahaan berkapital besar (konglomerat) dan modal asing yang bersama-sama mendapat berbagai fasilitas sejak kredit perbankan sampai perlindungan tarif.

Widjojo juga aktif menarik utang dari luar negeri, baik multilateral (Bank Dunia dan Asian 
Development Bank/ADB) maupun utang bilateral. Utang ini untuk menambal anggaran negara yang defisit dan memperkuat posisi para teknokrat di mata Soeharto, tetapi utang luar negeri ini telah mengurangi kedaulatan RI. Menyadari bahwa kultur Indonesia yang tidak menyukai “lebih besar pasak dari tiang alias defisit“, Widjojo mengatakan bahwa APBN yang sebenarnya defisit itu sebagai “anggaran berimbang“, suatu penyesatan yang berlangsung selama tiga dekade orde baru.

Sementara itu, membiarkan policy ekonomi liberal Widjojo yang hakikatnya dikendalikan lembaga-lembaga kreditur luar negeri, Soeharto terus saja asyik terlena dengan membesarkan BUMN dan teman-teman pengusaha dekatnya dengan dalih hanya perusahaan-perusahaan besar yang mampu menembus pasar ekspor. Kesimpulannya, perang ideologi ini--sementara ini--dimenangkan Widjojo, lebih-lebih sesudah UUD 1945 diamendemen yang kemudian melahirkan undang-undang yang amat neolib dan prokapitalis.

Sementara itu, dengan lengsernya Soeharto, program ekonomi kerakyatan ala Soeharto sayup-sayup, semakin menjauh dari pasal 33 UUD 1945, dan BUMN terancam diprivatisasi. Selamat jalan Pak Widjojo, menyusul Pak Soeharto. Silakan bila para almarhum ini akan meneruskan debat dan mengevaluasi ekonomi dualismenya di alam baka. Semoga dua-duanya khusnul khatimah. Selamat jalan Pak Widjojo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar