Senin, 12 Maret 2012

Skillpreneur


Skillpreneur
Rahardi Ramelan, PENGAMAT TEKNOLOGI DAN MASYARAKAT
SUMBER : REPUBLIKA, 12 Maret 2012



Pada dasawarsa 1970-1990, pasar dunia dikejutkan dengan kemajuan industri di beberapa negara yang kemudian dinamakan se bagai negara-negara industri baru. Sejak akhir Perang Dunia II, sudah tampak adanya perbedaan perkembangan indusri di negara-negara yang dikatakan terbelakang.

Negara-negara yang kemudian disebut The rest, negara yang mempunyai industri tetapi tidak termasuk negara maju. Mereka adalah negara yang mempunyai manufacturing experience dari industri tradisionalnya. Satu kemampuan yang merupakan bagian dari budaya dan sudah berlangsung secara turun-temurun. Merupakan kearifan tradisonal yang bisa menjadi modal masyarakat atau social capital. Di antaranya adalah Cina, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Taiwan, dan Thailand di Asia; Argentina, Brasil, Chile, dan Meksiko di Amerika Latin; serta Turki di Timur Tengah.

Negara-negara tersebut mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam kemampuan manufacturing, antara lain, dalam memproduksi tekstil (tenun, batik, pewarnaan), sutra, alat-alat kebutuhan rumah tangga dan pertanian, senjata, proses pengawetan bahan makanan, dan lainnya. Kemudian negara-negara tersebut memasuki ke dalam industri dengan teknologi menengah dan kemudian industri dengan teknologi tinggi.

Perkembangan pesat yang terjadi di negara-negara tersebut, yang tadinya dikatagorikan sebagai negara terbelakang karena tidak memiliki proprietary innovations dan teknologi, merupakan fenomena yang menjadi perhatian banyak pakar, scholars dan politikus. Tidak dimilikinya proprietary innovations and technology menyebabkan negara-negara ini lambat memasuki industrialisasi (late industrialization). Keberhasilan mereka mengembangkan industrinya didasari atas kemampuan belajar walaupun tergantung dari teknologi dari negara-negara industri maju yang tersedia di pasar atau commercialized technology.

Kemudian pada awal abad ke-21 ini, cendekiawan dan akademisi serta pelaku bisnis dan pemerintah banyak membahas masalah ekonomi kreatif dan industri kreatif. Sebetulnya, dimulai pada 1990-an, sewaktu terjadi intensifikasi teknologi informasi bersamaan dengan kreativitas yang kemudian banyak dikenal sebagai ekonomi kreatif dengan dukungan industri kreatif.

Daniel H Pink (2005) kemudian memperkenalkan pemikiran bahwa abad ini ditandai sebagai Conceptual Age, yang didominasi oleh peran otak sebelah kanan. Tetapi, harus diingat bahwa lahirnya pemikiran tersebut oleh Daniel H Pink didasari adanya pergeseran di dalam ekonomi negaranegara maju, bahwa globalisasi telah mengurangi peran industri manufaktur mereka menghadapi persaingan dari Asia, antara lain, Jepang, Cina, Korea, dan Taiwan (serta Indonesia?).

Demikian juga dalam bidang teknologi informasi, khususnya software, misalnya, telah lahir kekuatan besar dunia di Bangalore, India. Kenyataan inilah yang mendesak bahwa kreativitas harus mempunyai peran yang lebih intensif. Baik kreativitas yang berbasis pada hasil ekspresi budaya maupun yang bertumpu pada inovasi teknologi.

Mengikuti Teknologi

Yang sering kita lupakan bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia sudah lama menikmati keberadaan perorangan atau individu yang terampil dalam berbagai bidang. Keterampilan yang didapatkan dan dikembangkan baik secara turun-temurun, pelatihan ataupun `magang'.

Kita lihat para empu keris yang begitu terampilnya membuat keris. Keterampilan dalam bidang logam ini kemudian mempengaruhi sektor logam lainnya seperti alat pertanian dan rumah tangga.

Selain itu, beberapa dekade yang lalu dan masih kita jumpai sampai sekarang, sehari-hari kita menyaksikan tukang patri, tukang cukur, dan tukang sol sepatu yang sering menyusuri jalan jalan sempit di lingkungan perumahan kumuh. Di pasar tradisional kita mengetahui adanya jasa keuangan dari para tukang kredit. Mereka mengembangkan usaha pribadinya sesuai dengan keterampilan atau skill yang mereka miliki. Masih banyak bidangbidang lain yang dilaksanakan oleh kelompok yang saya sebut sebagai skillpreuner.

Dalam dunia modern, terutama setelah krisis 1997 dan 1998 yang melanda kita, muncul berbagai “tukang“ perorangan yang bisa dipanggil untuk berbagai pekerjaan yang sifatnya sangat khusus. Misalnya, tukang kayu, tukang las, tukang tembok, tukang listrik, plumber, pembersih kolam renang, montir mobil, butik mobil keliling, tukang jahit, tukang pijat dan terapis, serta lain sebagainya terutama di bidang elektronika. Tukang keliling sekarang ini telah menyesuaikan dengan teknologi, dan memanfaatkan sepeda dan motor serta telepon seluler.

Beberapa skillpreuner lainnya, seperti kurator lukisan dan barang antik serta pemandu wisata masih belum berkembang dengan baik. Yang baru dalam bidang keuangan ada usaha perorangan mandiri, seperti pialang bursa efek, bursa komoditas, konsultan pajak, konsultan investasi, dan aset.
 
Perkembangan peran “tukang“ ini menjadi usaha dan berdiri sebagai wirausaha perorangan, mereka adalah skillpreuner, jumlah dan bidangnya semakin meningkat.
Mereka memberikan jasa dengan keterampilan yang dimiliki dan sangat diskret. Berkat meluasnya jasa telekomunikasi, khususnya telepon seluler, bisnis tukang ini menjadi sangat kompetitif dan populer. Kita sadari betapa kehidupan kini dan yang akan datang semakin berat dan tingkat persaingan di segala dimensi kehidupan semakin ketat, baik dalam skala nasional maupun mondial. Untuk menghadapinya, selain dibutuhkan iptek, kreativitas dan inovasi, serta keterampilan, juga dibutuhkan semangat juang dan berkompetisi dengan tetap mempertahankan kepribadian dan jati diri sebagai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar