Selasa, 06 Maret 2012

Pintu bagi Tekad Presiden SBY Memiskinkan Koruptor


Pintu bagi Tekad Presiden SBY
Memiskinkan Koruptor
M Hadi Shubhan, DOSEN FAKULTAS HUKUM BIDANG HUKUM KEPAILITAN,
SEKRETARIS UNIVERSITAS AIRLANGGA
SUMBER : JAWA POS, 6 Maret 2012



CUKUP menarik pernyataan Presiden SBY yang setuju terhadap upaya hakim untuk memiskinkan para koruptor dengan menyita semua harta benda mereka (JPNN, 3 Maret 2012). Meski brilian, ide itu akan terkendala banyak hal dalam aspek hukum yang berlaku di pengadilan tipikor. Namun, ada solusi. Yaitu, memailitkan para pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam pengadilan tipikor, kendala utama untuk menyita harta koruptor adalah banyaknya harta koruptor yang sudah dicuci menjadi atas nama istri atau anak serta orang/perusahaan kepercayaan mereka. Karena berpindah tangan atau beratas nama pihak lain, hakim dan jaksa tipikor tidak bisa menyita. Kasus Nazaruddin membuktikan kendala tersebut karena hampir semua hasil korupsi dia diatasnamakan istri serta perusahaan-perusahaannya.

Kendala lain, harta yang dapat disita adalah yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa hakim. Harta lain, meski hasil korupsi uang negara, karena tidak sedang diperiksa perkaranya, tentu tidak bisa disita. Tentunya, jaksa penuntut umum akan sulit membuktikan ketika hasil korupsi dibelikan aset tertentu. Bukti kendala itu, perintah hakim tipikor baru-baru ini mengembalikan uang yang disita KPK karena tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa.

Kendala yang terakhir adalah penindaklanjutan (eksekusi) atas harta-harta yang disita untuk dilikuidasi dan uang hasil likuidasi disetorkan ke kas negara. Banyak harta koruptor sitaan hakim, tapi sampai saat ini belum berwujud uang dan belum disetorkan ke kas negara. Bukti kendala tersebut adalah banyaknya koruptor BLBI lalu yang sudah dihukum secara in absensia tapi hartanya masih utuh belum dilikuidasi.

Pintu Kepailitan

Kendala-kendala tersebut bisa diatasi dengan menggunakan hukum kepailitan. Pengajuan kepailitan terhadap koruptor dilakukan kejaksaan, yang bertindak untuk dan atas nama negara, dengan landasan demi kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan secara expresis verbis (secara tegas, Red) disebutkan UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam pasal 2 ayat (2) UU tersebut ditegaskan, permohonan kepailitan bisa diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

UU Kepailitan tersebut menjelaskan cakupan kepentingan umum yang seluas-luasnya. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo, atau hal lain yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Akibat hukum kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Kepailitan tersebut tidak masuk dalam acara pidana, melainkan acara bidang keperdataan. Karena keperdataan, tujuan akhir proses itu berkaitan dengan nilai finansial atau uang dan tidak berkaitan dengan kepidanaan seperti kurungan atau penjara.

Jika dalam pengadilan tipikor ada kendala untuk menjangkau harta koruptor yang sudah dialihkan menjadi atas nama istri, anak, atau perusahaan, dalam kepailitan, hal itu bisa diatasi dengan upaya hukum actio pauliana. Gugatan actio pauliana adalah gugatan yang meminta kepada pengadilan untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan debitor pailit (para koruptor) sebelum adanya putusan pailit karena perbuatan tersebut dianggap merugikan harta pailit. Dengan gugatan actio pauliana itu, harta yang sudah beralih dari tangan koruptor kepada anak, istri, serta perusahaannya bisa ditarik kembali dan dimasukkan dalam budel kepailitan (bankrupt estate).

Jika dalam vonis pengadilan tipikor harta koruptor yang tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperiksa tidak bisa dijangkau, tidak demikian halnya dalam kepailitan. Dengan adanya vonis kepailitan terhadap koruptor, seluruh harta kekayaan mereka berada dalam status sita. Sita karena putusan pailit adalah sita demi hukum dan mencakup semua harta (public attachment atau gerechtelijke beslag).

Dengan vonis kepailitan itu, koruptor sudah tidak diperbolehkan menyentuh semua harta kekayaannya. Harta kekayaan akan diurus dan dibereskan kurator. Hasil pemberesan oleh kurator itu pun akan dimasukkan ke kas negara sejumlah semua kerugian negara atas semua tindakan koruptor tersebut.

Eksekusi harta pailit lebih cepat dan transparan karena seluruh pencairannya dilakukan kurator. Kurator tidak hanya terbatas Balai Harta Peninggalan (BHP), tapi juga kurator swasta yang terdiri atas para advokat papan atas yang bisa dianggap lebih profesional. Kurator itulah yang nanti bertugas mencairkan harta pailit melalui lelang umum. Hasil seluruh pencairan budel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya, termasuk negara dalam hal kasus korupsi ini.

Karena itu, kepailitan juga bisa menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi para koruptor untuk tidak coba-coba menjarah uang rakyat. Sebab, seluruh harta dan perusahaan mereka bisa disita untuk dijadikan harta pailit. Dengan instrumen kepailitan, kejaksaan bisa membusungkan dada seraya berkata kepada koruptor: Korupsilah kau, maka kau akan kumiskinkan!

Setelah ada cara pemiskinan koruptor lewat pintu kepailitan, beranikah SBY memerintah Kejaksaan Agung untuk menggunakan pintu itu? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar