Selasa, 06 Maret 2012

Merebut Kehormatan di Jalanan


Merebut Kehormatan di Jalanan
Donny Koesoema A, PEMERHATI PENDIDIKAN;
ALUMNUS BOSTON COLLEGE LYNCH SCHOOL OF EDUCATION, BOSTON, AS
SUMBER : KOMPAS, 6 Maret 2012




Ribuan guru honorer berkumpul di jalanan depan Istana Negara untuk merebut kembali kehormatan mereka yang hilang. Inilah ironi yang hari-hari ini kita saksikan di negeri ini. Pemerintah semestinya tidak tuli hati dan buta mata atas situasi ini. Ironi itu terjadi justru ketika guru honorer merasakan bahwa eksistensi hidupnya sebagai guru sudah tidak dihormati lagi.

Tidak Ada Penghargaan

Tak adanya penghargaan yang wajar bagi kinerja guru bukan masalah geografis ataupun status sosial. Kehadiran guru di negeri ini sangat tak dihargai secara sistematis. Guru di Papua, Aceh, ataupun di Jakarta sama-sama diperlakukan secara tidak bermartabat melalui berbagai peraturan yang menganggap guru tidak lebih dari pekerja kasar.

Bayangkan, di Jakarta saja upah guru mengajar selama 1 jam pelajaran masih ada yang hanya Rp 30.000. Aturan jam mengajar minimal yang diperuntukkan bagi guru sesuai aturan pemerintah, yaitu 24 jam, dihitung jumlah jam mengajar per minggu.

Jadi, kalau guru memenuhi aturan minimal 24 jam mengajar per minggu, dia akan memperoleh bayaran Rp 30.000 dikalikan 24 jam. Penghitungan inilah yang diterima guru dalam pembayaran sebulan. Ini berarti, guru hanya dihargai jam mengajarnya selama seminggu. Ke mana tiga minggu yang lain? Itulah upah gotong royong guru sebab yang tiga minggu tak dibayar!

Jadi, persoalan nasib guru bukan sekadar masalah pegawai negeri atau honorer. Penghargaan terhadap nasib guru tidak diberikan oleh pemerintah melalui peraturan yang mereka buat. Keberadaan guru honorer lebih miris. Selain status mereka tidak jelas, mereka juga mesti menanggung beban ganda. Posisi mereka sekadar sebagai ban serep yang baru dipakai ketika dibutuhkan. Padahal, tak jarang guru honorer di daerah itu justru menjadi ”ban serep” abadi yang malah telah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah yang kekurangan guru. Di mana apresiasi pemerintah untuk para guru ”ban serep” yang luar biasa ini?

Kehadiran para guru honorer yang luar biasa ini patut diapresiasi dan perlu diberi perlindungan hukum yang memiliki visi menghargai martabat guru. Guru honorer tak butuh sekadar peraturan, tetapi peraturan yang mampu menghargai, melindungi, dan meningkatkan kemartabatan mereka sebagai guru.

Namun, ada persoalan mendesak yang perlu dipertimbangkan terkait kehadiran guru honorer. Alasan lamanya keterlibatan mengajar di kelas tak boleh jadi alasan praktis untuk mengangkat guru. Mengapa? Sebab, ini justru akan bertentangan dengan profesionalisme guru.

Setiap guru yang mengajar di kelas haruslah guru yang kompeten dan dapat mengajar dengan baik. Jika lama jadi guru honorer dipertimbangkan sebagai tata cara mengangkat mereka sebagai guru pegawai negeri sipil, dikhawatirkan kelas-kelas kita diisi oleh guru yang kurang kompeten dan ini akan berdampak pada pendidikan nasional.

Guru yang sekarang sudah masuk dalam arus besar guru saja masih banyak yang belum profesional. Karena itu, pemerintah memberikan pengembangan melalui sertifikasi. Jika guru baru yang diangkat juga tidak profesional, kita mengulangi kesalahan yang sama.

Harus Jalan Seiring

Tentu pemerintah sekarang ini ditantang agar membuat peraturan yang benar-benar mencerminkan visi mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara memberikan penghargaan kepada guru honorer secara adil melalui seleksi yang profesional. Bukan hanya keputusan sesaat karena desakan publik.

Bagi guru honorer, kehormatan yang mereka perjuangkan itu memiliki konsekuensi atas kompetensi profesional dan semangat mereka sebagai guru. Guru harus jujur pada diri sendiri: apakah usaha meraih kehormatan ini benar-benar karena ingin mengembangkan dunia pendidikan melalui kehadiran mereka yang profesional dan senantiasa memberikan yang terbaik bagi siswa, atau sekadar mencari status sosial, pengakuan diri sebagai pegawai negeri.

Saya kira, baik pemerintah maupun guru sebaiknya tidak buta mata dan tuli hati terhadap tuntutan profesional tugas masing-masing. Pemerintah harus peduli kepada guru serta menghargai martabat dan profesi mereka sebagai bagian penting bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Di sisi lain, kehadiran guru profesional yang memiliki gairah dan semangat pada perkembangan anak didiklah yang mampu mengubah masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik. Keduanya harus jalan seiring. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar