Perlindungan
Nelayan
Muhamad Karim, DIREKTUR PUSAT KAJIAN
PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM
SUMBER : SINAR HARAPAN, 6
Maret 2012
Komunitas nelayan hingga kini tergolong
kelompok rentan yang bermukim di wilayah pesisir. Selain bergantung pada sumber
daya kelautan dan perikanan, kondisi iklim dan cuaca juga penting bagi
mereka. Amatlah pantas bila ada kebijakan perlindungan nelayan, karena itu
sesuai konstitusi UUD 1945.
Hingga kini kebijakan negara melindungi
nelayan hampir dikatakan absen. Berbagai program pengentasan kemiskinan pun
luput dari upaya meningkatkan kehidupan sosial ekonomi nelayan. Ironisnya,
pemerintah malah memproduksi peraturan perundangan dan kebijakan yang
meminggirkan nelayan secara ekonomi maupun politik.
Akibatnya, amat sulit bagi nelayan keluar
dari jerat kemiskinan, ketergantungan utang pada tengkulak, dan pendidikan yang
rendah. Apalagi, kini ancaman perubahan iklim makin menjadi.
Simaklah UU No 27 Tahun 2007 lalu membuat
aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) nyaris memasukkan nelayan ke
jurang kemelaratan bila diberlakukan. Untunglah, pada 2010 Mahkamah Konstitusi
membatalkan pasal-pasal soal itu.
Kemudian, UU Perikanan No 45 Tahun 2009 yang
masih membiarkan kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Pada tataran
pemerintahan lokal, baik provinsi maupun kabupaten/kota, amat jarang membuat
kebijakan yang berpihak kepada nelayan, apalagi melindunginya.
Kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
malah menggembar-gemborkan kebijakan industrialisasi perikanan. Sebelumnya,
kebijakan minapolitan. Sayangnya, semua kebijakan itu tak mampu melindungi
nelayan.
Unsur Perlindungan
Perlindungan nelayan bersifat kompleks, mulai
dari unsur sumber daya alam, ekonomi, sosial-budaya, ekologis, politik, hingga
kelembagaan. Mengapa demikian? Sebab nelayan memilliki “arena” (bahasa ekologis
niche) dan “habitus” yang amat berbeda dengan komunitas petani dan peternak.
Dalam perspektif heterodoks, nelayan memiliki
konstruksi sosial, dan fenomena historis yang khas bergantung pada pola relasi
sosial, sumber daya yang tak jarang melekat (embedded) dengan sosial-budaya
(sistem nilai, kelembagaan, dan kearifan lokal), hingga dinamika ekonomi
politik lokal. Bahkan, tak jarang unsur geopolitik dan geografis juga
berkonstribusi dalam dinamika kehidupan nelayan.
Faktor-faktor itulah yang membuat penulis
kesulitan tatkala menemukan dasar teori-teori kemiskinan dan kesenjangan saat
merampungkan penyusunan tesis soal kemiskinan nelayan pada 2005 silam.
Ada unsur-unsur lokal yang tak ditemukan pada
masyarakat nelayan di negara maju atau Asia lainnya, misalnya hubungan patron
client yang didasari pada nilai agama maupun identitas lokal.
Umpamanya, nelayan Bugis di Delta Mahakam
mampu menjadi kekuatan ekonomi lokal, tanpa mesti bergantung pada negara maupun
penetrasi pasar yang digerakkan kekuatan perusahaan multinasional (baca:
Lenggono, 2012). Soal-soal macam ini mesti dipertimbangkan tatkala menyusun UU
Perlindungan Nelayan, agar jangan sampai UU ini malah mencelakakan.
Pelbagai aspek yang mesti dipertimbangkan
dalam UU Perlindungan nelayan yaitu; pertama, perlindungan sumber daya alam,
yakni sumber kehidupan mereka dari tindakan destruktif maupun penjarahan.
UU Perikanan No 45 Tahun 2009 tak tegas
melarang penggunan trawl sebagai alat tangkap destruktif yang menghancurkan
sumber daya ikan dan ekosistemnya di perairan Indonesia. Kemudian juga soal
perlindungan nelayan Indonesia dari serbuan kapal ikan asing yang kerap mencuri
ikan di perairan Indonesia.
Kedua, perlindungan ekonomi nelayan, yaitu
bagaimana negara memberikan kebijakan afirmatif agar nelayan tak semakin
terjerumus dalam jurang kemiskinan akibat tingginya harga bahan bakar minyak
(BBM).
Negara juga mesti memberi jaminan kepastian
harga ikan. Negara wajib menolak impor ikan demi melindungi pasar lokal dan
kehidupan nelayan. Negara tak boleh membuat asumsi-asumsi dan perhitungan yang
menyesatkan hingga melegalkan impor ikan.
Ketiga, perlindungan sosial-budaya, yaitu
bagaimana negara mampu melindungi kelembagaan hingga kearifan lokal (wisdom)
dalam mengelola sumber daya ikan dan ekosistem pesisir.
Bahkan, bila ada nelayan yang mengonservasi
sumber daya ikan dan ekosistem pesisir, secara individu hingga komunal,
mestinya negara memberikan insentif berupa jaminan kesehatan dan beasiswa bagi
anak-anak nelayan.
Perlindungan Ekologis
Keempat, perlindungan ekologis amat
diperlukan bagi nelayan, sebab arena dan habitusnya memiliki karakterisitik
yang bergantung perubahan ekologis, baik secara evolusioner maupun ekstrem.
Aktivitas manusia di pesisir dan laut mulai
yang bersifat fisik (pertambangan dan reklamasi) hingga ekstraktif akan
langsung memengaruhi kondisi ekologis, bahkan berimbas pada kehidupan manusia.
Faktanya, maraknya eksploitasi pertambangan
bauksit dan pasir laut di pulau-pulau kecil Kepulauan Riau berimbas pada
pencemaran laut yang mengakibatkan menurunnya tangkapan nelayan.
Kelima, negara mesti memberikan perlindungan
politik terhadap nelayan. Selama ini nelayan hanya dijadikan sebagai
“komoditas” politik penguasa maupun partai politik.
Negara mestinya memberikan “hak” politik di
parlemen, sehingga kelompok nelayan dan masyarakat adat di wilayah pesisir
memiliki saluran perjuangan hak-hak ekonomi dan politiknya. Selama 15 tahun
reformasi (1998-2012) hak-hak pollitik dan ekonomi nelayan belum terpenuhi.
Mestinya “utusan golongan” di DPR/DPRD
dikembalikan karena hakikat sila ke-4 Pancasila mengandung makna bahwa
demokrasi di Indonesia bukan demokrasi prosedur langsung semacam sekarang ini.
Melainkan demokrasi “permusyawaratan/perwakilan”.
Keenam, dari sisi kelembagaan, perlindungan
terhadap nelayan adalah bagaimana peraturan perundangan di level nasional dan
lokal tak membuat nelayan makin teralienasi dari habitusnya.
Negara melalui peraturan perundangan tak
hanya mengakui institusi lokal dan nilai-nilai budaya yang mengelola sumber
daya ikan dan ekosistemnya. Negara juga melindungi dan menghormatinya sebagai
instrumen hukum tak tertulis yang mengelola sumber daya alam secara lestari
hingga mendamaikan konflik pengelolaannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar