Perang
Gagal Korupsi
Jacob Sumardjo, BUDAYAWAN
SUMBER : KOMPAS, 13 Maret 2012
Dalam pertunjukan wayang kulit Jawa dikenal
tiga jenis perang: perang gagal, perang kembang, dan perang brubuh.
Perang gagal adalah perang antara pihak yang
baik dan pihak yang berniat jahat, namun hasilnya tak ada yang kalah dan tak
ada yang menang.
Perang kembang adalah perang seorang kesatria
yang jelas berniat baik melawan empat raksasa di hutan rimba tak bernama. Dalam
perang ini kesatria berhasil membunuh keempat raksasa. Namun, jangan heran
kalau dalam berbagai ceria, keempat raksasa ini selalu muncul kembali dan
akhirnya juga dibunuh kembali oleh kesatria yang lain. Keempat raksasa ini tak
pernah mati atau, kalau mati, selalu hidup kembali.
Yang terakhir adalah perang brubuh atau
perang habis-habisan yang berakhir dengan kematian mereka yang berniat jahat.
Jalan pikiran masyarakat Jawa dalam
pewayangan ini mengisyaratkan bahwa perang melawan kejahatan tak mudah. Perang
kita melawan segala macam bentuk kejahatan manusia seperti terorisme,
perampokan, korupsi, pembohongan publik ternyata harus melalui tiga tahap
perlawanan.
Perang kita melawan para koruptor sekarang
ini baru sampai pada tahap perang gagal. Korupsi yang merajalela sejak 1970-an
sampai detik ini belum mencapai perang brubuh. Korupsi belum dapat dibunuh di
Indonesia. Selama 40 tahun melawan korupsi ini kita masih berputar-putar pada
tahap perang gagal melulu. Meski demikian, patut disyukuri bahwa kita masih
punya niat baik: memusnahkan kejahatan korupsi, raja para maling.
Perang melawan para maling raksasa ini baru
sampai pada niat saja. Dalam perang gagal, barisan niat baik dan niat jahat ini
bertemu di perjalanan tanpa diduga-duga. Kedua pihak terkejut dan bereaksi
spontan, terjadilah perang tanpa persiapan, tanpa strategi, cuma digerakkan
naluri agresi belaka.
Niat yang langsung menghasilkan perbuatan itu
mirip orang mabuk. Pemabuk berbuat di luar kesadaran pikiran. Yang terjadi
sekarang ini, penggugat korupsi yang mabuk menghadapi koruptor yang juga mabuk.
Yang terjadi adalah pengadilan kaget. Pengadilan tanpa strategi pemikiran.
Akibat pengadilan mabuk ini, si maling jagung dijatuhi hukuman jauh lebih berat
daripada maling puluhan miliar rupiah. Kalau satu biji jagung berharga dua ribu
rupiah, maka Anda hitung sendiri hukuman yang pantas bagi seorang koruptor satu
miliar saja. Pencuri jagung itu di hukum satu minggu, maka koruptor kita itu
akan menjalani kurungan sampai kiamat tiba.
Studi tentang Korupsi
Studi mendalam tentang korupsi di Indonesia
sejak 1970-an tak pernah dilakukan negara. Cara maling atau cara korupsi di
Indonesia selama 40 tahun itu—apa dan bagaimana serta mengapa—tak seorang
pejabat negara tahu. Pengetahuan korupsi ini dapat digali dari catatan
pengadilan atau digali dari para koruptor yang dijebloskan ke penjara. Itulah
ilmu korupsi Indonesia. Baik yang punya niat baik maupun niat jahat dapat
belajar dari buku besar ilmu korupsi Indonesia ini.
Dalam ilmu korupsi Indonesia itu akan
terlihat kategori-kategori tindak korupsi sehingga hakim-hakim pengadilan dan
para jaksa sudah punya spesialisasi kasus korupsi.
Sekarang ini setiap jaksa
dan hakim mana saja bisa ditunjuk mengadili kasus korupsi yang beragam
kategorinya itu. Itulah perang gagal kita.
Kalau perangkat perang gagal telah dibenahi,
marilah memasuki tahap kedua perang wayang ini: perang kembang. Dalam perang
kembang, seorang kesatria berniat baik baru saja keluar dari
perguruan-pertapaan di lereng gunung. Ia pamit pada gurunya (resi) menjalankan
tugas kenegaraan dan kemanusiaan: menumpas kebatilan. Di tengah hutan rimba
tanpa nama ia dicegat empat raksasa yang berkulit hitam, berkulit putih,
berkulit merah, dan berkulit kuning. Itulah simbol nafsu kesatria itu sendiri
atau nafsu manusia pada umumnya dan, lebih-lebih, nafsu para koruptor.
Raksasa hitam itu simbol nafsu jahat manusia
hedonis, pemuja harta, kemewahan hidup, pemuja seks, bergelimang kenikmatan
badaniah. Raksasa merah simbol nafsu sombong, dengki, pamer, pendusta, khianat,
yang semuanya berhubungan dengan nasib orang lain. Raksasa putih dan kuning
simbol nafsu sebaliknya pada manusia.
Dalam perang kembang ini kesatria pemberantas
koruptor berhasil menaklukkan dan membunuh nafsu jasmaniah dan rohaniah
dirinya. Hakim, jaksa, pembela, polisi, dan kepala penjara adalah para kesatria
yang telah berhasil membunuh empat raksasa berwarna-warni dalam dirinya.
Mencari orang-orang begini memang sulit karena dalam perang kembang para
raksasa tadi akan bangkit dari kematiannya dan melawan kesatria kembali dalam
lain cerita.
Berbekal dua tahap perang wayang ini, barulah
Indonesia mampu memasuki perang brubuh, perang habis-habisan melenyapkan
keangkaraan dari bumi Indonesia. Perang brubuh korupsi ini masih panjang.
Rakyat diminta lebih sabar lagi. Para kesatria yang disebut Ratu Adil ini masih
kita tunggu. Di zaman demokrasi ini tak ada lagi ratu atau raja. Ratu Adil tak
lain adalah Rakyat adil. Mereka yang merasa diri Rakyat dapat mencalonkan diri
sebagai Ratu Adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar