Selasa, 13 Maret 2012

Menguatkan, Bukan Melemahkan KPK


Menguatkan, Bukan Melemahkan KPK
Denny Indrayana, WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
SUMBER : SINDO, 13 Maret 2012



Rencana perubahan atas Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), kembali menjadi pembicaraan.

Banyak yang khawatir rencana perubahan UU tersebut justru akan menjadi pintu masuk bagi pelemahan KPK. Kekhawatiran itu berangkat dari pemberitaan bahwa beberapa kewenangan strategis KPK direncanakan akan dihilangkan. Sebutlah, misalnya, kewenangan penyadapan, penuntutan, hingga penindakan. Tentu saja usulan demikian absah secara normatif, memungkinkan secara hukum. Namun, saya berpendapat melakukan perjuangan antikorupsi tidak boleh hanya dilihat dari sisi normatif.Adalah benar,setiap perundangan pasti tidaklah sempurna,dan karenanya terbuka peluang untuk perbaikan.

Namun, argumen standar demikian belum tentu menjadi solusi bagi ikhtiar pemberantasan korupsi. Sangat mungkin, rencana perubahan UU KPK justru menjadi “Jebakan Batman”.Maksudnya,melakukan perbaikan dan penguatan kewenangan KPK, tetapi yang terjadi justru adalah pelemahan KPK. Maka jika belum ada kepastian dan jaminan bahwa yang akan terjadi bukanlah pelemahan KPK,tidak ada salahnya rencana perubahan UU KPK itu ditinjau ulang. Terlebih, KPK sendiri menyatakan mereka masih merasa cukup dan nyaman dengan kondisi peraturan yang masih ada.

KPK berpendapat perubahan UU KPK belum diperlukan. Dengan demikian, karena KPK yang lebih tahu kebutuhan mereka, sewajarnya rencana perubahan UU KPK ditinjau ulang. Kita butuh penguatan KPK, bukan pelemahan KPK. Kekhawatiran KPK yang dilemahkan bukan tanpa alasan. Saya ingat betul,pada tahun 2009, ketika ada pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pembahasan di DPR sempat bergeser ke arah pengurangan kewenangan strategis KPK, padahal yang dibahas saat itu bukanlah UU KPK.

Muncul wacana untuk menghilangkan kewenangan penuntutan, serta mempersulit mekanisme penyadapan di KPK. Ketika itu, selaku staf khusus presiden bidang hukum, saya menyarankan Presiden memberikan arahan yang jelas bahwa posisi pemerintah tidak ikut dalam proposal yang nyata- nyata akan melemahkan KPK tersebut. Presiden SBY setuju. Diadakanlah sidang kabinet terbatas, di mana Presiden memberikan arahan kepada menkumham saat itu, bahwa kita masih membutuhkan KPK yang kuat, maka pemerintah menolak proposal menghilangkan kewenangan strategis KPK.

Alhamdulillah, dengan posisi pemerintah yang sangat jelas tersebut, UU Pengadilan Tipikor tidak menjadi pintu masuk pelemahan KPK. Saat ini, wacana untuk menghilangkan beberapa kewenangan strategis KPK kembali mengemuka. Saya berpandangan,wacana demikian tidak salah secara normatif, tidak keliru secara business as usual. Mengatakan kewenangan penuntutan hanya ada di Kejaksaan Agung misalnya,tentu saja merupakan salah satu argumen normal.Namun, dalam hal pemberantasan korupsi yang sudah sangat akut,tindakan yang dilakukan tidak boleh normal-normal saja.

Tidak boleh hanya mengambil kebijakan yang business as usual semata. Maka pembentukan KPK—sebagai upaya luar biasa memberantas korupsi— dengan segala kewenangan strategisnya, haruslah tetap dipertahankan. Apalagi, tidak ada yang salah dengan kewenang-wenangan strategis KPK tersebut. Buktinya, meskipun sekitar 17 kali diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi, UU KPK tetap dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kewenangan penuntutan, penyadapan maupun kewenangan penindakan lain yang dimiliki KPK, dinyatakan MK sebagai konstitusional alias tidak bertentangan dengan UUD 1945. Itu artinya, adalah pilihan kebijakan pembuat undangundang, apakah akan tetap memberikan kewenangan strategis kepada KPK, atau mencabutnya. Dalam situasi seperti sekarang,di mana korupsi masih merupakan salah satu persoalan utama; bahwa pemberantasan korupsi masih harus dilakukan secara masif; maka mengurangi kewenangan KPK bukanlah pilihan kebijakan produktif,malah boleh jadi pilihan politik legislasi yang koruptif.

Ketimbang berpikir mengurangi kewenangan strategis KPK, alangkah baiknya kita membantu KPK dalam kerjakerja pemberantasan korupsi. Dua di antaranya, misalnya, pertama, menyetujui adanya penyidik KPK yang lebih independen dan profesional; kedua, mendukung kebijakan pembentukan KPK di beberapa wilayah. Untuk kebijakan pertama diperlukan agar KPK semakin independen dan tidak bergantung kepada penyidik kepolisian ataupun kejaksaan. Hal demikian sangat strategis, karena salah satu korupsi yang harus ditindak oleh KPK ada pada wilayah penegakan hukum (judicial corruption).

Dengan penyidik independen, KPK kemungkinan akan lebih efektif membongkar praktik korupsi oleh oknum kepolisian dan kejaksaan. Sementara itu, pembukaan kantor KPK di daerah-daerah diperlukan untuk mencegah dan menindak makin meluasnya praktik korupsi seiring dengan desentralisasi kekuasaan di daerah. Dalam salah satu kesempatan audiensi Presiden SBY dengan KPK, Presiden mendukung langkah tegas KPK untuk membongkar percaloan anggaran yang banyak mengorupsi keuangan negara.

Beliau mendapatkan masukan, banyak daerah yang harus memberikan komisi jika ingin mencairkan anggaran pembangunannya. Model calo anggaran daerah demikian tentu saja harus menjadi salah satu prioritas kerja KPK juga. Di luar penguatan kewenangan KPK itu,mestinya prioritas legislasi antikorupsi lebih dicurahkan untuk mendukung hadirnya undang-undang perampasan aset dan undangundang antibenturan kepentingan. RUU Perampasan Aset saat ini sudah memasuki tahap finalisasi di Kemenkumham.

RUU ini diperlukan untuk menguatkan upaya pengembalian aset hasil korupsi. RUU perampasan aset tentunya sangat sejalan dengan wacana “pemiskinan koruptor” yang sedang marak digaungkan, bahkan juga didukung oleh Presiden SBY. RUU kedua, terkait antibenturan kepentingan, juga harus mulai dirumuskan dan didorong kelahirannya. Aturan antibenturan kepentingan belum kita miliki dalam satu undang-undang yang utuh. Padahal, conflict of interest itulah yang selama ini menjadi pintu masuk tindakan koruptif aparatur negara.

Jika setiap pejabat negara diancam pidana apabila mengeluarkan kebijakan yang mengandung benturan kepentingan, maka sistem antikorupsi akan semakin kuat. Selama ini, benturan kepentingan lebih banyak diatur dalam tataran etika,yang sanksinya belum mengarah kepada sistem pidana. Benturan kepentingan, misalnya, tertulis dalam pakta integritas yang ditandatangani para anggota kabinet, sanksinya adalah diberhentikan sebagai menteri. Namun, benturan kepentingan belum dapat secara tegas dijadikan delik pidana, apalagi delik korupsi.

Sekali lagi, ketimbang membuang energi dengan mengubah UU KPK, yang justru membuka peluang pelemahan KPK, alangkah bijaknya jika pikiran dan energi legislasi kita dicurahkan untuk melahirkan UU Perampasan Aset dan UU Antibenturan Kepentingan tersebut. Namun, jika ternyata wacana pelemahan KPK melalui perubahan UU itu semakin kuat dan nyata, tidak ada jalan lain, pemerintah melalui Kemenkumham akan menyampaikan posisi yang tegas menolak proposal pelemahan KPK tersebut. Konstitusi kita mengatur, suatu UU memerlukan persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR.

Maka jika pelemahan KPK yang diusulkan, tentu pemerintah tidak akan memberikan persetujuannya. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden SBY dalam berbagai kesempatan. Terakhir secara resmi pada pidato kenegaraan 16 Agustus 2011, Presiden menegaskan dukungan penguatan institusi antikorupsi, terutama KPK. Indonesia yang lebih antikorupsi membutuhkan penguatan KPK,bukan pelemahan KPK. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar