Selasa, 20 Maret 2012

Penutup Perdagangan Politik


LAPORAN DISKUSI KOMPAS TEMA “KORUPSI DI DPR”
Penutup Perdagangan Politik
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012



Korupsi oleh wakil rakyat memang bukan cerita baru. Namun, gejalanya yang semakin luas dan mengganas pascareformasi sungguh sangat merisaukan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah orang yang dipercaya dan menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun, yang terlihat oleh masyarakat, justru anggota Dewan berjuang untuk kesejahteraan mereka sendiri.
Salah satu bukti, yang bisa menjadi indikasi, adalah gaya hidup mewah para anggota DPR yang bertolak belakang dengan kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang belum sejahtera. Deretan mobil mewah milik anggota DPR, yang terparkir di kompleks gedung parlemen di Senayan, Jakarta, memperlihatkan wakil rakyat itu dalam kesehariannya bergaya hidup mewah.

Padahal, di antara mereka ada yang sebelumnya bukanlah siapa-siapa, bukan pengusaha, atau seseorang yang berasal dari keluarga yang memang memungkinkan mereka bermewah-mewah.

Tidak menjadi masalah jika kemewahan itu diperoleh secara benar dan apa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan masyarakat. Ironisnya, sejumlah anggota DPR dipidana karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dugaan korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang juga mantan anggota DPR, semakin membuktikan bahwa ada praktik tidak benar di lembaga legislatif. Belum lagi dugaan adanya mafia anggaran yang diduga melibatkan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah memproses kasus dugaan korupsi yang paling tidak melibatkan 43 anggota DPR. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan juga tengah menyelisik lebih dari 2.000 transaksi mencurigakan terkait anggota Dewan, yang mayoritas anggota Banggar DPR. Memang, belum tentu semua transaksi mencurigakan tersebut berimplikasi pidana, tetapi tak jarang ini temuan awal adanya tindak pidana korupsi.

Tak Memperkaya Diri Sendiri

Berbeda dengan korupsi di sektor lain, korupsi yang dilakukan anggota DPR tidak sekadar untuk memperkaya diri sendiri, tetapi juga terkait dengan posisinya sebagai politisi. Konstruksi sistem pemilu dengan suara terbanyak mengubah perilaku politisi menjadi makin intensif melakukan korupsi. Apalagi, dengan manajemen partai politik yang membebankan pembiayaan partai kepada kadernya.

Politisi memerlukan dana yang tak sedikit untuk dapat menjaga popularitasnya di internal partai maupun di masyarakat. Pola perekrutan yang tidak jelas di parpol melahirkan politisi instan, seperti politisi selebritas, politisi pengusaha, dan juga politisi oportunis, yang terutama mengandalkan uang untuk meraih posisi tertentu, baik di partai maupun di masyarakat.

Ada kecenderungan, semakin banyak kontribusi keuangan kader kepada partainya, kian kuat dan strategis posisinya di partai itu. Demikian juga, politisi instan yang tak mengakar di masyarakat akan mengandalkan politik uang untuk meraih dukungan (suara) rakyat sebanyak-banyaknya. Hal itu didukung perilaku pemilih yang berubah, semakin pragmatis. Politisi pun tegang mencari duit, dan akhirnya politik pun diperdagangkan.

Dengan kewenangan lembaga legislatif yang sangat besar, bisa dengan leluasa anggota DPR mendapatkan modal yang dibutuhkannya. Hak budget, misalnya, bisa dimainkan dengan meminta uang kepada eksekutif untuk pembahasan undang-undang. Legislasi menjadi ajang negosiasi untuk menentukan, misalnya, kapan sebuah rancangan UU bisa dibahas, kapan dihentikan, pasal apa saja yang bisa diloloskan, atau dihapus. Ada juga biaya sosialisasi UU diminta dari eksekutif.

Dalam pembahasan UU Perseroan Terbatas, misalnya, kewajiban perusahaan untuk masyarakat atau corporate social responsibility pun dimanfaatkan untuk kepentingan pembiayaan konstituen. Program pembangunan diarahkan untuk kepentingan ”memelihara” konstituen sehingga daerah yang tidak mempunyai wakil di DPR amat kecil kemungkinan mendapatkan program itu. Pemenang proyek pun diatur.

”Upeti” untuk anggota DPR itu sering kali tak diberikan semata-mata dalam bentuk uang secara langsung. Ada beberapa modus yang dilakukan, misalnya ”biaya” legislasi diwujudkan dalam bentuk studi banding ke luar negeri plus uang sakunya, honor diskusi, atau benda berharga, serta fasilitas lainnya untuk mendukung gaya hidup anggota DPR. Berobat ke luar negeri atau umrah bersama anak dan istri bisa saja merupakan salah satu bentuk ”upeti” itu.

Memang, kebutuhan pendanaan parpol yang dibebankan kepada parpol itu menyeret ke korupsi kartel elite yang melibatkan jaringan parpol, pengusaha, birokrasi, dan penegak hukum. Sistem peradilan yang juga korup membuat penegak hukum jarang ”menyentuh” politisi, terutama elite politik. Apalagi, korupsi kartel elite ini seperti cicak, kalau buntutnya dimakan akan putus, tidak mudah menyentuh jaringannya apalagi elite partai.

Sementara itu, hampir tidak ada upaya dari para pemimpin parpol, yang bisa terlihat oleh publik, untuk menyelesaikan kasus korupsi yang melibatkan kadernya. Justru yang terjadi, parpol cenderung menjadi bungker koruptor karena cenderung membela kadernya yang terlibat atau disebut-sebut terlibat korupsi. Hal itu antara lain dengan menyatakan bahwa masalah kader yang terlibat korupsi bukanlah urusan parpol, melainkan urusan penegak hukum.

Di tengah kondisi sistem peradilan yang korup, harapan masyarakat kini bertumpu pada KPK. Usulan mengubah sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup tidak akan menyelesaikan masalah.

Selama politisi bermental instan, tetap ada peluang untuk melakukan politik uang yang menjadi akar korupsi di lembaga legislatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar