Selasa, 20 Maret 2012

Mereka Menjadi Tidak Jera

LAPORAN DISKUSI KOMPAS TEMA “KORUPSI DI DPR”
Mereka Menjadi Tidak Jera
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012



Nasib Agus Condro sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak semulus rekannya sesama anggota DPR yang juga terbelit perkara korupsi. Sebelum diputuskan bersalah, Agus yang justru membuka kasus pemberian cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 diberhentikan dari partainya.

Sejumlah anggota Dewan yang terjerat kasus yang sama dengan Agus Condro sampai kini masih berstatus sebagai wakil rakyat. Mereka juga tidak diberhentikan dari partai. Bahkan, mereka tetap menduduki jabatan strategis dalam partai. Kondisi yang sama terjadi pada kader partai lain, selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Setelah kasus dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang mencuat, 
Partai Demokrat mencoba tradisi baru, dengan memberhentikan kader yang diduga terlibat dalam kasus korupsi. Muhammad Nazaruddin, terdakwa kasus korupsi proyek wisma atlet, menjadi korban pertama. Ia diberhentikan sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat yang dijabat sejak 2010.

Ketua Departemen Perencanaan Pembangunan Nasional Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Kastorius Sinaga, saat itu, menegaskan, partainya bukan bungker, tempat berlindung, bagi koruptor atau orang bermasalah. Apalagi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono jelas menyatakan tidak akan melindungi kader yang diduga terlibat perkara (Kompas, 18/5/2011).

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Angelina PP Sondakh menjadi korban berikutnya, diberhentikan dari jabatannya, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games. Namun, masih ada kader Partai Demokrat yang seperti tak tersentuh oleh hukum walau namanya sering kali dikaitkan dengan kasus korupsi.

Pernyataan Kastorius itu untuk menjawab tuduhan publik, selama ini partai politik menjadi bungker bagi mereka yang bermasalah secara hukum. Tuduhan itu tak bisa dihindari karena selama ini partai belum sepenuhnya melakukan tindakan tegas terhadap kader yang diduga melakukan korupsi, termasuk yang duduk di lembaga legislatif. Namun, masyarakat juga belum sepenuhnya menempatkan mereka yang diduga melakukan tindak pidana sebagai sesuatu yang aib atau harus dimusuhi.

Kondisi itu terjadi, misalnya, pada Abdul Hadi Djamal, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR yang diduga terlibat korupsi pembangunan dermaga di wilayah Indonesia timur tahun 2009. Abdul Hadi langsung dipecat oleh partainya setelah ia dinyatakan sebagai tersangka. Ia juga ditarik dari pencalonannya kembali sebagai wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I dari PAN. Namun, ironis, Abdul Hadi yang menempati nomor urut satu tetap memperoleh dukungan dari masyarakat, yang sebenarnya bisa menempatkannya kembali sebagai wakil rakyat di Senayan periode 2009-2014.

Pada skala yang lebih ringan, bukan korupsi, partai sering kali dinilai melindungi kader yang bermasalah. Partai membiarkan saja, misalnya saat sejumlah anggotanya pada April 2011 meminta KPK menghentikan penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Partai membiarkan saja anggotanya berteriak lantang ingin membubarkan KPK dan tindakannya melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Kondisi terkini adalah sewaktu KPK melakukan penyidikan dugaan korupsi dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi (PPIDT) yang diduga melibatkan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari F-PAN, Wa Ode Nurhayati, serta pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Walaupun KPK sudah memeriksa anggota dan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR, tetapi partai tetap mempertahankan kadernya di alat kelengkapan DPR itu. Baru setelah suara masyarakat kencang menghendaki pembenahan, sejumlah parpol mengganti anggotanya di Banggar DPR.

Dengan masih dilindungi oleh partainya, apalagi hukuman yang diterimanya di pengadilan tidak terlalu tinggi, kader parpol pun tak menjadi jera melakukan tindak pidana, termasuk korupsi. Padahal, ancaman hukuman tindak pidana korupsi pasti lebih dari lima tahun. UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD memastikan, syarat calon wakil rakyat adalah belum pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih. Namun, dengan pembahasan revisi UU Pemilu saat ini, mungkin saja ketentuan itu diubah. Misalnya, mereka yang pernah dihukum kurang dari lima tahun tetap boleh mencalonkan diri sebagai wakil rakyat kembali. Dan, wacana itu kini sudah muncul.

Bukan Mau Mereka

Apalagi, dari berbagai perbincangan, seorang anggota Dewan melakukan korupsi bukan sepenuhnya mau mereka. Perbuatan itu mereka lakukan karena ”terpaksa”, selain karena kebutuhan dana untuk memenuhi keperluan partai, juga sistem politik saat ini memberikan peluang. Dalam kasus korupsi terkait dana PPIDT, misalnya, peraturan yang berlaku ”mendorong” wakil rakyat untuk ”mencuri” uang negara.

UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara menegaskan, anggaran negara yang disetujui DPR terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Ketentuan ini mendorong anggota Dewan untuk mendikte pemerintah, berselingkuh dengan pengusaha, dan memanfaatkan kepala daerah. Peluang terbuka bagi wakil rakyat untuk menjadi ”calo” anggaran.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.07/2011 menetapkan, daerah penerima PPIDT membahas besaran dan alokasi dalam rapat kerja dengan Banggar DPR. Peluang ini ”memaksa” anggota Banggar DPR untuk memanfaatkannya, memenuhi keuangan partai dan pribadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar