LAPORAN
DISKUSI KOMPAS TEMA “KORUPSI DI DPR”
Mereka
Menjadi Tidak Jera
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012
Nasib Agus Condro sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak
semulus rekannya sesama anggota DPR yang juga terbelit perkara korupsi. Sebelum
diputuskan bersalah, Agus yang justru membuka kasus pemberian cek perjalanan
terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004
diberhentikan dari partainya.
Sejumlah anggota Dewan yang terjerat kasus
yang sama dengan Agus Condro sampai kini masih berstatus sebagai wakil rakyat.
Mereka juga tidak diberhentikan dari partai. Bahkan, mereka tetap menduduki
jabatan strategis dalam partai. Kondisi yang sama terjadi pada kader partai
lain, selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Setelah kasus dugaan korupsi proyek wisma
atlet SEA Games di Palembang mencuat,
Partai Demokrat mencoba tradisi baru,
dengan memberhentikan kader yang diduga terlibat dalam kasus korupsi. Muhammad
Nazaruddin, terdakwa kasus korupsi proyek wisma atlet, menjadi korban pertama.
Ia diberhentikan sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat yang dijabat sejak
2010.
Ketua Departemen Perencanaan Pembangunan
Nasional Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Kastorius Sinaga, saat itu, menegaskan,
partainya bukan bungker, tempat berlindung, bagi koruptor atau orang
bermasalah. Apalagi, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono jelas menyatakan tidak akan melindungi kader yang diduga terlibat
perkara (Kompas, 18/5/2011).
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat
Angelina PP Sondakh menjadi korban berikutnya, diberhentikan dari jabatannya,
setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka
dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games. Namun, masih ada kader Partai
Demokrat yang seperti tak tersentuh oleh hukum walau namanya sering kali
dikaitkan dengan kasus korupsi.
Pernyataan Kastorius itu untuk menjawab
tuduhan publik, selama ini partai politik menjadi bungker bagi mereka yang
bermasalah secara hukum. Tuduhan itu tak bisa dihindari karena selama ini
partai belum sepenuhnya melakukan tindakan tegas terhadap kader yang diduga
melakukan korupsi, termasuk yang duduk di lembaga legislatif. Namun, masyarakat
juga belum sepenuhnya menempatkan mereka yang diduga melakukan tindak pidana
sebagai sesuatu yang aib atau harus dimusuhi.
Kondisi itu terjadi, misalnya, pada Abdul
Hadi Djamal, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR yang diduga
terlibat korupsi pembangunan dermaga di wilayah Indonesia timur tahun 2009.
Abdul Hadi langsung dipecat oleh partainya setelah ia dinyatakan sebagai
tersangka. Ia juga ditarik dari pencalonannya kembali sebagai wakil rakyat dari
Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I dari PAN. Namun, ironis, Abdul Hadi yang
menempati nomor urut satu tetap memperoleh dukungan dari masyarakat, yang
sebenarnya bisa menempatkannya kembali sebagai wakil rakyat di Senayan periode
2009-2014.
Pada skala yang lebih ringan, bukan korupsi,
partai sering kali dinilai melindungi kader yang bermasalah. Partai membiarkan
saja, misalnya saat sejumlah anggotanya pada April 2011 meminta KPK
menghentikan penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Partai
membiarkan saja anggotanya berteriak lantang ingin membubarkan KPK dan
tindakannya melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Kondisi terkini adalah sewaktu KPK melakukan
penyidikan dugaan korupsi dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah
transmigrasi (PPIDT) yang diduga melibatkan anggota Badan Anggaran (Banggar)
DPR dari F-PAN, Wa Ode Nurhayati, serta pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Walaupun KPK sudah memeriksa anggota dan pimpinan Badan Anggaran
(Banggar) DPR, tetapi partai tetap mempertahankan kadernya di alat kelengkapan
DPR itu. Baru setelah suara masyarakat kencang menghendaki pembenahan, sejumlah
parpol mengganti anggotanya di Banggar DPR.
Dengan masih dilindungi oleh partainya,
apalagi hukuman yang diterimanya di pengadilan tidak terlalu tinggi, kader
parpol pun tak menjadi jera melakukan tindak pidana, termasuk korupsi. Padahal,
ancaman hukuman tindak pidana korupsi pasti lebih dari lima tahun. UU No
10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD memastikan, syarat calon
wakil rakyat adalah belum pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang
ancaman hukumannya lima tahun atau lebih. Namun, dengan pembahasan revisi UU
Pemilu saat ini, mungkin saja ketentuan itu diubah. Misalnya, mereka yang
pernah dihukum kurang dari lima tahun tetap boleh mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat kembali. Dan, wacana itu kini sudah muncul.
Bukan Mau Mereka
Apalagi, dari berbagai perbincangan, seorang
anggota Dewan melakukan korupsi bukan sepenuhnya mau mereka. Perbuatan itu
mereka lakukan karena ”terpaksa”, selain karena kebutuhan dana untuk memenuhi
keperluan partai, juga sistem politik saat ini memberikan peluang. Dalam kasus
korupsi terkait dana PPIDT, misalnya, peraturan yang berlaku ”mendorong” wakil
rakyat untuk ”mencuri” uang negara.
UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara
menegaskan, anggaran negara yang disetujui DPR terinci sampai unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Ketentuan ini mendorong anggota
Dewan untuk mendikte pemerintah, berselingkuh dengan pengusaha, dan memanfaatkan
kepala daerah. Peluang terbuka bagi wakil rakyat untuk menjadi ”calo” anggaran.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
140/PMK.07/2011 menetapkan, daerah penerima PPIDT membahas besaran dan alokasi
dalam rapat kerja dengan Banggar DPR. Peluang ini ”memaksa” anggota Banggar DPR
untuk memanfaatkannya, memenuhi keuangan partai dan pribadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar