Selasa, 20 Maret 2012

Berani “Menambah Musuh”


Berani “Menambah Musuh”
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 20 Maret 2012



Dalam pertemuan informal dengan teman-teman wartawan, salah seorang rekan berseloroh kepada seorang pemimpin redaksi mingguan: “Wah, lu tiap minggu selalu nambah musuh, ya?” Pemimpin mingguan itu hanya tertawa, karena seloroh itu berarti pujian untuk laporan investigasi yang kerap dilancarkannya.

Meski tertawa, saya yakin teman itu sadar bahwa ancaman itu ada, karena pihak yang dibongkar kebobrokannya berpotensi marah dan menyerangnya atau para wartawannya. Karena intimidasi, teror dan serangan sudah kerap terjadi, namun hal itu tidak membuatnya surut atau mengadu kepada pembaca.

Sebuah kenyataan Indonesia kini “bukan tempat aman” bagi wartawan. Data yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Independan (AJI) menyebutkan tahun 2010 tercatat ada 51 kasus kekerasan terhadap pers, lima di antaranya pembunuhan terhadap wartawan. Pada 2011 terdapat 85 kasus kekerasan terhadap wartawan, termasuk di antaranya penusukan, penyerangan kantor redaksi, penculikan, dan penyekapan.

Demi meningkatkan upaya perlindungan terhadap wartawan, Dewan Pers mencoba menyusun standar penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, sehingga para insan pers paham langkah yang harus ditempuh bila ada ancaman atau tindak kekerasan.

Langsung Tangkap

Ketika berbicara kepada pers dari kediaman Ketua Umum Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas, Minggu (18/3) malam, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Presiden RI, mensinyalir ada yang ingin berbuat makar, menjatuhkannya sebelum 2014, bahkan ada ancaman terhadap keselamatan dirinya dan keluarga.

Menurut hemat saya, kalau ada pihak yang mengancam keselamatan presiden seyogianya langsung diperintahkannya untuk ditangkap dan bukannya diumumkan kepada publik. Selama ini kalau ada “ancaman terhadap presiden” tidak pernah disebut siapa pengancam itu, atau memang tidak pernah ada?

Detasemen 88 Antiteror, Minggu (18/3), beraksi menewaskan lima orang yang diduga teroris dalam insiden baku tembak di dua lokasi di Bali. Disebutkan, kelima kawanan itu sudah diintai minimal sebulan. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang mengancam keselamatan presiden dan keluarganya, pastilah juga mudah dideteksi oleh satuan antiteror dan intelijen kita.

Merupakan sebuah keniscayaan, semakin tinggi jabatan dan tanggung jawab seseorang, semakin besar pula risikonya. Misalnya, Amerika Serikat adalah negara yang banyak merenggut nyawa presidennya. Ada empat presiden yang terbunuh yakni Abraham Lincoln (1865), James Garfield (1881), William McKinley (1901), dan James F Kennedy (1963).

Presiden Ronald Reagan (1981) selamat dari percobaan pembunuhan, meski terkena tembakan di dadanya. Hal sama dialami Presiden Theodore Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Gerald Ford.

Mereka juga pernah mengalami percobaan pembunuhan, namun nyawanya selamat. Namun, tidak ada catatan para pemimpin Amerika itu mengadu kepada rakyatnya bahwa nyawanya terancam, karena itu adalah risiko jabatan.

Karenanya, pengamanan terhadap presiden Amerika Serikat adalah paling ketat di dunia. Pengamanan terhadap presiden RI pun cukup ketat, dan bikin repot banyak pihak yang terdampak tak langsung.

Pamor Merosot?

Seorang purnawirawan jenderal bintang empat, yang masih aktif dalam kancah politik, mengeluhkan pamor militer Indonesia yang selama ini dicitrakan sebagai tegas dan berani kini luntur, bahkan terbukti orang sipil seperti M Jusuf Kalla ternyata terbukti lebih tegas dan berani mengambil risiko. Saya menduga, apakah pemimpin masa depan nanti sebaiknya dari kalangan berlatar belakang non-militer?

Bisa jadi pernyataan sang pensiunan jenderal itu ada benarnya bisa juga keliru, karenanya harus diuji lagi. Karena buat saya keberanian itu banyak macam dan ragamnya. Namun, Selasa (20/3) pagi ini saya menyaksikan unjuk contoh keberanian seorang pemimpin.

Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang berlatar belakang wartawan, ngamuk “mengobrak-abrik” dua gardu pembayaran yang kosong dari empat gardu di gerbang Tol Slipi menuju Semanggi, di saat jam sibuk di pagi hari.

Kemarahannya dipicu panjangnya antrean, karena dia sudah menginstruksikan kepada pemimpin BUMN operator jalan tol agar panjang antrean maksimal lima mobil, dan itu tidak dijalankan.

Dahlan berani tidak populer di jajaran BUMN yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Namun, bukan hanya di gardu tol dia berani, hal yang lebih besar pernah dibuktikannya ketika membereskan kebobrokan di PLN sehingga kondisinya kini jauh lebih baik. Dia bertindak tanpa gentar sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan yang ada di tangannya, karena memang itu harus digunakan. Tanpa mengeluh.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar