Berani
“Menambah Musuh”
Kristanto
Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 20 Maret 2012
Dalam pertemuan informal dengan teman-teman
wartawan, salah seorang rekan berseloroh kepada seorang pemimpin redaksi
mingguan: “Wah, lu tiap minggu selalu nambah musuh, ya?” Pemimpin mingguan itu
hanya tertawa, karena seloroh itu berarti pujian untuk laporan investigasi yang
kerap dilancarkannya.
Meski tertawa, saya yakin teman itu sadar
bahwa ancaman itu ada, karena pihak yang dibongkar kebobrokannya berpotensi
marah dan menyerangnya atau para wartawannya. Karena intimidasi, teror dan
serangan sudah kerap terjadi, namun hal itu tidak membuatnya surut atau mengadu
kepada pembaca.
Sebuah kenyataan Indonesia kini “bukan tempat
aman” bagi wartawan. Data yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Independan (AJI)
menyebutkan tahun 2010 tercatat ada 51 kasus kekerasan terhadap pers, lima di
antaranya pembunuhan terhadap wartawan. Pada 2011 terdapat 85 kasus kekerasan
terhadap wartawan, termasuk di antaranya penusukan, penyerangan kantor redaksi,
penculikan, dan penyekapan.
Demi meningkatkan upaya perlindungan terhadap
wartawan, Dewan Pers mencoba menyusun standar penanganan kasus-kasus kekerasan
terhadap wartawan, sehingga para insan pers paham langkah yang harus ditempuh
bila ada ancaman atau tindak kekerasan.
Langsung Tangkap
Ketika berbicara kepada pers dari kediaman
Ketua Umum Dewan Pembina Partai Demokrat di Cikeas, Minggu (18/3) malam, Susilo
Bambang Yudhoyono, yang juga Presiden RI, mensinyalir ada yang ingin berbuat
makar, menjatuhkannya sebelum 2014, bahkan ada ancaman terhadap keselamatan
dirinya dan keluarga.
Menurut hemat saya, kalau ada pihak yang
mengancam keselamatan presiden seyogianya langsung diperintahkannya untuk
ditangkap dan bukannya diumumkan kepada publik. Selama ini kalau ada “ancaman
terhadap presiden” tidak pernah disebut siapa pengancam itu, atau memang tidak
pernah ada?
Detasemen 88 Antiteror, Minggu (18/3),
beraksi menewaskan lima orang yang diduga teroris dalam insiden baku tembak di
dua lokasi di Bali. Disebutkan, kelima kawanan itu sudah diintai minimal
sebulan. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang mengancam keselamatan presiden dan
keluarganya, pastilah juga mudah dideteksi oleh satuan antiteror dan intelijen
kita.
Merupakan sebuah keniscayaan, semakin tinggi
jabatan dan tanggung jawab seseorang, semakin besar pula risikonya. Misalnya,
Amerika Serikat adalah negara yang banyak merenggut nyawa presidennya. Ada
empat presiden yang terbunuh yakni Abraham Lincoln (1865), James Garfield
(1881), William McKinley (1901), dan James F Kennedy (1963).
Presiden Ronald Reagan (1981) selamat dari
percobaan pembunuhan, meski terkena tembakan di dadanya. Hal sama dialami
Presiden Theodore Roosevelt, Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Gerald Ford.
Mereka juga pernah mengalami percobaan
pembunuhan, namun nyawanya selamat. Namun, tidak ada catatan para pemimpin
Amerika itu mengadu kepada rakyatnya bahwa nyawanya terancam, karena itu adalah
risiko jabatan.
Karenanya, pengamanan terhadap presiden
Amerika Serikat adalah paling ketat di dunia. Pengamanan terhadap presiden RI
pun cukup ketat, dan bikin repot banyak pihak yang terdampak tak langsung.
Pamor Merosot?
Seorang purnawirawan jenderal bintang empat,
yang masih aktif dalam kancah politik, mengeluhkan pamor militer Indonesia yang
selama ini dicitrakan sebagai tegas dan berani kini luntur, bahkan terbukti
orang sipil seperti M Jusuf Kalla ternyata terbukti lebih tegas dan berani
mengambil risiko. Saya menduga, apakah pemimpin masa depan nanti sebaiknya dari
kalangan berlatar belakang non-militer?
Bisa jadi pernyataan sang pensiunan jenderal
itu ada benarnya bisa juga keliru, karenanya harus diuji lagi. Karena buat saya
keberanian itu banyak macam dan ragamnya. Namun, Selasa (20/3) pagi ini saya
menyaksikan unjuk contoh keberanian seorang pemimpin.
Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang berlatar
belakang wartawan, ngamuk “mengobrak-abrik” dua gardu pembayaran yang kosong
dari empat gardu di gerbang Tol Slipi menuju Semanggi, di saat jam sibuk di pagi
hari.
Kemarahannya dipicu panjangnya antrean,
karena dia sudah menginstruksikan kepada pemimpin BUMN operator jalan tol agar
panjang antrean maksimal lima mobil, dan itu tidak dijalankan.
Dahlan berani tidak populer di jajaran BUMN
yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Namun, bukan hanya di gardu tol dia berani,
hal yang lebih besar pernah dibuktikannya ketika membereskan kebobrokan di PLN
sehingga kondisinya kini jauh lebih baik. Dia bertindak tanpa gentar sesuai
dengan tanggung jawab dan kewenangan yang ada di tangannya, karena memang itu
harus digunakan. Tanpa mengeluh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar