Pengurangan
Subsidi BBM
dan
Amandemen UUD 1945
Djasarmen Purba, ANGGOTA
KOMITE II DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Maret 2012
Pada acara Saresehan Anak Negeri bertajuk
"Runtuhnya Kedaulatan Energi" yang ditayangkan stasiun televisi MetroTV,
9 Februari lalu, mayoritas peserta yang terdiri dari seratus tokoh nasional
sepakat bahwa kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
menunjukkan sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak lagi berdaulat.
Langkah yang ditempuh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menandatangani Perpres No 15 Tahun 2012 yang akan menaikkan BBM,
termasuk mengurangi secara bertahap subsidinya, tidak bisa dilihat hanya dari
sudut pandang ekonomi semata, namun juga dari aspek politik.
Skenario penghapusan subsidi BBM dimulai
sejak Presiden Soeharto menandatangai Letter of Intent (LoI) dengan Dana
Moneter International, kemudian berlanjut dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
UU Migas merupakan titik dimulainya program
liberalisasi sektor migas, yang mendorong dimungkinkannya swasta asing
menguasai industri migas dalam negeri dari hulu hingga hilir.
Di hulu, 84 persen cadangan migas dalam
negeri dikuasai korporasi asing, dengan perincian Chevron 44 persen, Total
E&P 10 persen, Conoco Phillips
8 persen, Medco Energy 6 persen, China National Offshore Oil Corporation
5 persen, China National Petroleum
Corporations 2 persen, dan British
Petroleum, Vico Indonesia, juga Kodeco Energy masing-masing 1 persen,
sisanya sekitar 16 persen dikuasai Pertamina.
Sementara itu, di hilir, sejak disahkanya UU
Migas, seperti jamur di musim penghujan, stasiun pengisian bahan bakar umum
(SPBU) milik swasta asing seperti Total,
Shell, dan Petronas berdiri di berbagai kota besar Indonesia.
Dari sini tampak UU Migas telah menempatkan
sektor migas hanya sebagai komoditas komersial, bukan komoditas strategis, yang
harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyat.
Ketika Migas menjadi komoditas komersial,
pemerintah terkesan lepas tangan karena harga BBM dalam negeri ditentukan harga
keekonomiannya, yang sama artinya ditentukan mekanisme pasar.
Tanpa Kendali
Membiarkan harga BBM ditentukan mekanisme
pasar membuat perekonomian berjalan tanpa kendali (restraint).
Perekonomian semacam ini bahkan tidak kehendaki Adam Smith—pelopor ekonomi
klasik—yang menjadi panutan para pengambil kebijakan di Indonesia.
Dalam satu tulisannya Adam Smith berkata,
“seseorang dapat dipercaya untuk meraih kepentingan pribadinya (self
interest) tanpa merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan
hukum, tetapi juga karena adanya pengendalian diri (self restraint) yang
berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan.”
Adam Smith tetap mendukung perlunya
intervensi negara, dan tidak membiarkan perekonomian diserahkan sepenuhnya pada
mekanisme pasar (invisible hand) yang akan membuat keseimbangan baru (equilibrium).
Begitu juga cita-cita para founding fathers ketika merumuskan konstitusi
dasar republik ini 66 tahun silam.
Para peserta sarasehan—yang mungkin dulu ada
di antaranya terlibat dalam perumusan UU Migas—kemudian berkesimpulan kebijakan
pengurangan subsidi yang didorong UU 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945,
terutama Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Sudah “Disesuaikan”
Namun, mereka agaknya sedikit lupa bahwa
Pasal 33 UUD 1945 telah mengalami perubahan (amendemen), termasuk dihapuskan
bagian penjelas pada pasal tersebut.
Pengertian kata “dikuasai negara” dengan
sederhana ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa rakyat secara kolektif
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya, pemerintah hanya sebagai kuasa
pertambangan dan regulator sehingga tidak diperbolehkan melakukan usaha
investasi hulu dan hilir. Dengan demikian, Pasal UU Migas sama sekali tidak
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Namun, jika kita merujuk pada dokumen Panitia
Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai
Mohammad Hatta, dirumuskan bahwa kata “dikuasai” adalah pemerintah harus
menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; semakin
besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan
dasar hidupnya, semakin besar mestinya penyertaan pemerintah; tanah air
haruslah di bawah kekuasaan negara; dan perusahaan tambang yang besar
dijalankan sebagai usaha negara.
Jelas bahwa yang dimaksud oleh para founding
father dalam pasal ini, sektor pertambangan dan perusahaan tambang yang
besar harus dikuasai, dikelola, dan dijalankan badan usaha milik negara (BUMN).
Namun, tafsir seperti ini tidak berlaku lagi sejak Pasal 33 diamendemen pada
2002.
Bila peserta sarasehan ingin mengembalikan
kedaulatan negara, dan cabang-cabang produksi penting bagi negara digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang perlu dilakukan adalah mendorong
amendemen kelima UUD 1945 yang bersifat menyeluruh, termasuk mengembalikan
pasal 33 dengan segala penjelasannya.
Dewan perwakilan Daerah (DPD) telah
menginisiasi amendemen UUD 1945, kini bersediakah para tokoh nasional lainnya
bergandengan tangan mewujudkan perubahan itu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar