Kekerasan
dalam Bernegara
dan
Keterpurukan Rasionalitas
Thomas Koten, DIREKTUR
SOCIAL DEVELOPMENT CENTER
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Maret 2012
Sebuah persoalan yang dihadapi bangsa dan
negara Indonesia hingga saat ini adalah masih terus terjadinya kekerasan publik
yang dilakukan kelompok-kelompok warga bangsa, terutama kelompok-kelompok ormas
dan preman.
Kekerasan-kekerasan itu terjadi dalam aneka
macam bentuk dan cara, serta beraneka ragam latar belakang, seperti berlatar
belakang agama, politik seperti dalam pilkada, penguasaan lahan pertanian, perkebunan,
dan perebutan lahan parkir.
Namun yang paling memprihatinkan kalau
kekerasan itu dilakukan oleh negara atau aparat negara. Hal itu sudah terjadi
pada kasus PT Freeport, Mesuji, dan Sape. Ironisnya, kekerasan oleh negara ini
umumnya disebabkan keberpihakan politik ekonomi negara atau pemerintah terhadap
para pemilik modal yang berhadapan dengan rakyat pemilik tanah ulayat.
Dari semua itu, apa pun latar belakang
konflik dan siapa pun yang melakukan kekerasan, selalu ditautkan dengan tugas
dan tanggung jawab negara di dalam tata kelolanya.
Maka, esai ini pun difokuskan pada persoalan
justifikasi moral negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara
sebagai ekspresi kontrak sosial bernegara. Dalam hal, negara memiliki
moralitas, yaitu sebentuk perilaku keberpihakan negara yang benar-benar jujur
kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moralnya.
Keterpurukan Rasionalitas Bernegara
Terutama dalam hal kekerasan oleh negara,
misalnya pengagungan investasi oleh pemerintah dan/atau persekongkolan antara
para pemilik modal, sesungguhnya telah melahirkan sikap sewenang-wenang para
pemilik modal terhadap rakyat sebagai pemilik lahan atau tanah; dan membiarkan
semua kekuatan modal yang sering memainkan apa saja, termasuk membeli berbagai
perizinan dan membeli aparat negara.
Hal ini akan semakin “mematikan” rakyat
pemilik tanah atas nama liberalisasi, demokrasi dan keterbukaan.
Ironisnya, hegemoni atas tanah rakyat yang
berujung pada jatuhnya korban nyawa rakyat tersebut dilakukan di negeri yang
memiliki undang-undang yang memberi perlindungan bagi segenap rakyatnya dan
menjunjung tinggi asas kekeluargaan.
Atau, UUD’45 melukiskan “Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.” Amerika yang merupakan negara
penganjur liberalisme saja tidak sampai melindas rakyatnya sendiri, padahal
negeri itu tidak memiliki undang-undang seperti kita.
Dengan demikian, apa pun alasannya, kekuatan
modal tidak dapat dibiarkan melindas dan membunuh rakyat negeri ini serta
mematikan usaha milik mereka. Itu merupakan suatu perilaku yang bertentangan
dengan UUD’45 yang kita miliki.
Undang-undang kita disusun dalam usaha
bersama yang sangat berbeda dengan politik ekonomi dewasa kini yang sangat
liberal. Saat ini semakin meningkat intensitasnya di mana swasta dan modal
semakin berperan di semua sektor, dan malangnya disertai menggusur apa yang
sudah dapat dilakukan rakyat.
Situasinya dapat digambarkan seperti zaman
kolonial di mana sektor bisnis besar VOC menggusur usaha rakyat disertai
kekerasan yang diperkuat kekuatan senjata.
Lebih dari itu, kekerasan negara dan
kekerasan oleh kelompok-kelompok warga seperti ormas FPI di ranah publik ini,
merupakan contoh telanjang gagalnya negara menjalankan fungsinya melindungi
warganya, seperti yang diamanatkan UUD45, terutama dalam kaitannya dengan
tanggung jawab moral negara. Itu juga merupakan pengabaian terhadap kontrak
sosial bernegara.
Dalam teori kontrak sosial (social contract) Thomas Hobbes (1651),
John Lock (1689) atau juga Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam
UUD45, dikatakan, tujuan didirikan negara adalah untuk melindungi warga negara
dari segala bentuk kekerasan, to protect
its people from violence and other kinds of harm.
Perilaku negara yang merepresi rakyat,
sebagaimana juga perilaku kekerasan oleh ormas tertentu terhadap warga, tidak
lebih merupakan indikasi ketidakberdayaan negara dalam menghadapi kekuatan
rakyat dan kelompok warga tertentu.
Orang yang tidak berdaya menghadapi suatu
kekuatan biasanya telah hilang rasio dan yang dikedepankannya adalah emosi dan
kekuatan fisik, tanpa peduli lagi dengan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dalam negara.
Mereka yang kehilangan akal untuk “memainkan”
perangkat hukum secara intelligent untuk mencapai tujuannya, akan cenderung
jatuh dalam sikap anarkistis. Di situlah kekuatan otot mengalahkan kekuatan
otak. Rasionalitas dikangkangi alias terjadi keterpurukan rasionalitas karena
kehausan akan kekuasaan, dominasi, dan hegemoni.
Oleh karena itu, instrumen kekerasan menjadi
simbol ketidakmampuan memenangkan kepentingan melalui cara-cara yang elegan,
bersahabat dan beradab di bawah kendali akal sehat.
Dengan menghalalkan kekerasan, negara atau
ormas lupa bahwa kekuasaan dalam arti apa pun hanya mampu ditegakkan dan
sekaligus langgeng, apabila mendapat legitimasi dari rakyat dan publik.
Kedudukan seorang penguasa akan hancur ketika
berselingkuh dengan para kapitalis-pemilik modal lalu melindas rakyatnya dengan
aneka bentuk kekerasan. Hegemoni para kapitalis pun bisa hancur dan mengalami
guncangan hebat, jika tidak dilakukan secara profesional dus terus membodohi
dan menggusur rakyat dari lahan miliknya.
Artinya, kekuasaan dalam arti dan dimensi apa
pun yang dibangun dengan cara-cara kekerasan, dominasi dan perselingkuhan serta
koruptif akan selalu bersifat self defeating. Negara yang dipraktikkan dengan
cara-cara kekerasan cepat atau lambat mengundang kebencian, dan tragisnya jika
kebencian itu muncul dari warga negaranya sendiri.
Para kapitalis kotor dan penguasa yang
congkak atau ormas yang sombong, yang mencoba membangun hegemoni malalui
kekerasan, lupa bahwa instrumen kekerasan akan menggiring mereka pada suatu
takhta kebesaran semu, karena tinggal menunggu waktu datangnya kegagalan,
keterpurukan, ditinggalkan dan dilenyapkan.
Bahan Renungan
Perlu dicatat bahwa kekerasan-kekerasan di
atas, terutama kekerasan berdarah yang menyelimuti kasus Freeport, Mesuji dan
Sape, di mana rakyat melawan pemilik modal sekaligus berhadapan dengan aparat
negara bersenjata, merupakan ekspresi telanjang keputusasaan rakyat terhadap
negara atau pemerintah, terutama institusi penegak hukum.
Akibatnya, untuk mengekspresikan serta
membela kepentingan dan hak-haknya, rakyat melakukan perlawanan terhadap semua
kekuatan yang melindasnya, termasuk negara dalam wajah parlemen jalanan. Bahaya
jika parlemen jalanan itu terus membuncah, yang lama-kelamaan menjadi tidak
terkendali, sehingga berujung kehancuran bagi semua.
Penguasa dan negara bermoral serta beretika
tentu tidak akan mematikan rasionalitas dan mengedepankan emosi dengan
mempertontonkan kekuatannya di depan rakyat serta menyelesaikan persoalan warga
negara dengan cara-cara represif.
Negara dan para pemimpinnya yang bernurani
sejati, rasional dan bermoral tidak akan memberi kesan melindungi ormas yang
senantiasa bertindak anarkistis terhadap warga negara lainnya. Negara yang
demikian selalu bersikap adil dengan mengedepankan hukum dalam menyelesaikan
persoalan negara atau warganya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar