Selasa, 13 Maret 2012

Penggembala Politik di Indonesia


Penggembala Politik di Indonesia
Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
SUMBER : KORAN TEMPO, 13 Maret 2012



Indonesia memerlukan "penggembala" politik? Kita mendambakan "penggembala" dalam pengertian ada otoritas untuk merawat, mengasuh, serta mengantarkan Indonesia "mengalami" adab politik dan keluhuran berdemokrasi. Kita justru mendapati para pengerat, perampok, bandit, dan benalu dalam agenda demokrasi. Pengharapan atas kebermaknaan tokoh dalam penggembalaan politik lekas sirna tergantikan ulah kaum politikus dan partai politik. Mereka mengesankan diri sebagai penggembala politik dan suluh demokrasi, tapi memberikan ilusi bagi Indonesia. Politik picik dijalankan tanpa berdosa. Selebrasi korupsi dilakukan tanpa iba. Manipulasi kuasa dilakukan tanpa malu. Semua ini menandai adanya dusta politik di balik imaji demokrasi dalam rujukan partai politik.

Partai politik di Eropa sejak akhir abad XVIII memiliki peran melakukan mobilisasi publik ke dalam kehidupan peristiwa politik. Partai politik mengartikulasikan gagasan dan utopia demi arus transformasi melalui politik berdemokrasi. Partai politik mengukuhkan arsitektur kekuasaan berbasis hak pilih dan kebebasan berpendapat. Pengkondisian ini mengandung arti bahwa partai politik memerlukan legitimasi publik atas nama otoritas elite, struktur birokrasi, dan referensi paternalistik. Partai politik pun mengubah dunia meski memberi sanksi dan ironi. Kesejarahan partai politik itu terus mengalir ke pelbagai negeri di dunia dengan pelbagai resepsi dan modifikasi.

Negeri ini mengenal partai politik pada awal abad XX. Nasib negeri terjajah perlahan berubah mengacu pada realisasi gagasan-gagasan politik modern. Nalar dan aksi berpartai dimotori oleh Indische Partij (1912). Nama ini berganti menjadi National Indische Partij (1913) sebagai bentuk sangkalan atas intervensi dan represi kolonial. Gerakan politik ini gagal dalam semaian. Rusli Karim dalam Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut (1983) mengartikan National Indische Partij sekadar menjadi simbol politik bagi orang-orang terpelajar.

Jejak awal partai politik itu terus berlanjut pada masa 1920-an dan 1930-an, saat kaum elite terpelajar mengagendakan perlawanan politik bermartabat. Mereka memilih kerja politik dengan nalar demokrasi dan kesadaran atas signifikansi partai politik. Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Semaun, Soetomo, Agus Salim, dan Muhammad Yamin tampil sebagai para pemuka politik. Mereka adalah para penggembala politik untuk biografi Indonesia. Mereka mendefinisikan Indonesia melalui partai politik. Partai politik dipahami sebagai institusi politik mujarab untuk mengubah nasib negeri terjajah.

Partai politik itu dijalankan oleh kaum elite terpelajar dengan kerepotan mengartikulasikan gagasan-gagasan politik kepada publik. Lakon politik ini membuat makna partai politik mengandung ambiguitas. Mereka melawan penjajah, tapi sulit merembeskan dan menularkan nalar politik modern ke publik sebagai taktik resistansi. Sekian partai politik justru berselisih secara ideologis di kubangan imperatif kolonialisme. Partai politik masih asing di mata publik. Partai politik ada meski lamban mengakar dan menghampiri publik.

Arus pemaknaan partai politik lekas tampak pada masa 1940-an. Mohammad Hatta intensif mengembuskan narasi daulat rakyat dan Sutan Sjahrir lantang mempropagandakan revolusi demokrasi. Dua tokoh ini lekas membiografikan Indonesia dengan partai politik. Sjahrir dalam risalah Perjuangan Kita sesumbar tentang partai revolusioner. Partai politik diakui menjadi penentu Indonesia karena menggunakan fondasi rasionalitas (politik) modern dan ideologis. Hatta pun mengesahkan partai politik sebagai penggembala Indonesia melalui Maklumat Presiden 3 November 1945. Indonesia pun menjadi tanah subur untuk partai politik.

Partai politik belum sanggup menjadi penggembala untuk Indonesia. Perseteruan ideologis dan kerapuhan demokrasi justru terasakan saat ratusan partai politik bertumbuh di Indonesia kala 1940-an dan 1950-an. Lakon birokrasi terus berantakan. Etos kepemimpinan merapuh. Sengketa partai politik menguak pragmatisme. Indonesia mirip tanah ternoda oleh darah dan air mata yang disebabkan oleh partai politik. 

Pemberontakan, pembantaian, pemenjaraan, dan pembuangan sebagai aksi politik terjadi di Indonesia atas nama pamrih-pamrih partai politik. Sukarno lekas menuduh keapesan itu akibat puja demokrasi Barat berwatak imperialisme dan kapitalisme. Sukarno menghardik bahwa partai politik membuat "kemacetan total" di arus revolusi. Sukarno (1956) memberi seruan sarkastis: "Sekarang, marilah kita bersama-sama mengubur partai!"

Goenawan Mohamad (1972) turut mengenang aib partai politik dan makna hajatan Pemilihan Umum 1955. Partai politik itu menebar aib dan dusta. Pujangga dan esais itu mengecam bahwa makna partai politik adalah menerbitkan pertikaian. Partai politik itu "pidato-pidato sengit" dengan adegan "bertepuk tangan" dan "berteriak". Partai politik justru mengajarkan keasingan, kebebalan, dan kebrutalan.

Indonesia masih tanpa penggembala pada masa 1960-an. Politik semakin tragis. Demokrasi masih ilusi. Angan partai politik sebagai penggembala tak lekas tergapai. David E Apter dalam Politik Modernisasi (1987) memberi aksentuasi bahwa partai semaian partai politik bergantung pada derajat modernisasi dalam pluralitas. Idealitas itu belum terjadi di Indonesia saat partai politik saling menggebuk dan mengamuk. Partai politik justru abai terhadap pengharapan publik, tapi memilih hidup dalam slogan, janji, dan simbolisasi. Partai politik itu bendera, baju, lagu, puisi, dan poster. Ulah partai politik pada masa 1960-an lekas memanipulasi makna jalan, lapangan, gedung, rumah, serta sekolah sebagai ruang sengketa politik dan bujukan murahan atas nama ilusi demokrasi. Manipulasi itu semakin akut saat rezim Orde Baru menarasikan partai politik sebagai selebrasi dusta demokrasi dan pembodohan politik.

Sejarah aib partai politik dan keapesan demokrasi itu mengentalkan ironi Indonesia. Sekian partai politik saat ini mungkin tak belajar sejarah saat mendefinisikan diri sebagai pengisah Indonesia. Publik semakin menumpuk dendam dan kebencian terhadap partai politik atas ulah korupsi. Partai politik lekas identik dengan korupsi ketimbang demokrasi. Realitas ini seolah kesesatan demokrasi. Indonesia dipaksa bergerak dengan nalar prosais ala partai politik.

Ignas Kleden (2001) mengajukan istilah prosais itu sebagai pemaknaan perubahan sosial-politik-kultural secara tunggal. Indonesia memerlukan nalar puitis sebagai ambivalensi. Politik puitis adalah politik sebagai dunia kemungkinan. Nalar ini tak dimiliki partai politik. Publik pun memiliki hak menampik partai politik dan memberi sangkalan atas dusta kaum politikus untuk mengalami Indonesia sebagai puisi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar