Negara
Workfare, Bukan Welfare
Asrinaldi A, DOSEN
FISIP UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
SUMBER : KORAN TEMPO, 13 Maret 2012
Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak
terus dirampungkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Niat pemerintah
menaikkan harga BBM per 1 April nanti dimaksudkan untuk mengurangi tekanan
terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara yang tidak sanggup lagi
menyubsidi harga minyak tersebut. Banyak pihak berpendapat, jika harga BBM ini
dinaikkan, akan berdampak besar juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini terjadi karena pengalihan subsidi harga BBM ini kepada masyarakat
semakin tepat sasaran. Namun pemerintah juga harus menyadari bahwa setiap
kenaikan harga BBM ini selalu membawa efek domino sehingga memicu kenaikan
harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
Secara tidak langsung kebijakan ini
menyebabkan inflasi yang bisa berdampak buruk pada masyarakat, terutama dari
golongan bawah. Namun pemerintah memiliki strategi ampuh mengantisipasi efek
kenaikan harga BBM tersebut. Paling tidak, seperti biasa, pemerintah akan
menyiapkan skim bantuan langsung kepada masyarakat, yang diharapkan dapat
menekan efek kenaikan harga BBM ini. Strategi ini sudah lama dilakukan
pemerintah, terutama setiap kenaikan harga BBM. Misalnya, untuk mengantisipasi
efek kenaikan harga BBM yang direncanakan tahun ini, pemerintah telah
menyiapkan skim bantuan langsung sementara dan skim pembagian beras murah untuk
74 juta keluarga hampir miskin dan miskin.
Namun, yang menjadi persoalan, bantuan
langsung yang disiapkan pemerintah, terutama melalui bagi-bagi uang, ini
ternyata bukanlah cara tepat untuk membantu masyarakat. Justru bagi-bagi uang ini
menjadikan masyarakat tidak mandiri dan tidak kreatif. Dalam banyak hal,
pemerintah telah salah kaprah memahami konsep negara kesejahteraan yang hanya
berusaha melayani masyarakat dengan cara yang sederhana. Kebijakan bantuan
langsung kepada masyarakat ini justru pada akhirnya menyebabkan masyarakat
menderita karena sifatnya sementara.
Workfare, Bukan
Welfare
Sudah menjadi tujuan umum, negara
kesejahteraan berusaha meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Ini dapat dilihat
dari upaya negara membangun sistem kesejahteraan sosial, yang diharapkan dapat
menjadi basis untuk mengurangi kemiskinan, membangun ekonomi masyarakat, dan
melindunginya dari ketidakadilan pasar. Tapi maksud pemerintah memberikan
kesejahteraan melalui subsidi langsung dengan cara membagikan uang kepada
masyarakat justru menjadi kebijakan yang kontraproduktif.
Sebenarnya dasar pemikiran negara
kesejahteraan ini dapat ditelusuri dari pemikiran John M. Keynes, yang
mengkritik penerapan kebijakan laissez-faire, yang justru berdampak
tidak baik kepada masyarakat. Menurut dia, agar dapat meminimalkan implikasi
negatif mekanisme pasar tersebut, negara harus melakukan intervensi dan
melindungi warganya, terutama untuk menciptakan sistem ekonomi yang
berkeadilan. Bahkan, untuk mengimbangi bekerjanya pasar yang berkeadilan itu,
negara harus mengimbanginya dengan menciptakan lapangan kerja, melakukan
intervensi di bidang moneter dan fiskal, serta memberikan proteksi tertentu
agar masyarakat dapat berperan dalam membangun ekonominya.
Prinsip negara kesejahteraan ini, dalam
banyak hal, memang bertentangan dengan pemikiran liberalisme/neoliberalisme
yang mengutamakan segala sesuatunya ada dalam mekanisme pasar. Bagi kelompok
ini, peran pemerintah harus dibatasi, terutama dalam upaya mendistribusikan
sumber kekayaan, karena dapat mengganggu kestabilan pasar. Sebaliknya, proteksi
ekonomi dan pemberian insentif tertentu kepada masyarakat justru berdampak pada
sikap masyarakat sendiri, yang menjadi malas bekerja, tidak kreatif, dan tidak
mandiri.
Memang ada yang paradoks dengan kebijakan
pemerintah dalam mewujudkan negara kesejahteraan ini. Dari satu segi, keinginan
menaikkan harga BBM ini mengikuti mekanisme pasar sesuai dengan pemikiran
neoliberalisme. Namun, dari sisi lain, dana yang jumlahnya lebih dari kenaikan
harga BBM ini sebenarnya dapat digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui subsidi kepada masyarakat bawah. Dalam hal
ini, sebenarnya pemerintah sedang berusaha bersikap moderat dengan menyeimbangkan
kebijakan negara kapitalis yang diamalkannya dan mewujudkan negara
kesejahteraan.
Namun sikap moderat ini juga belum sesuai
dengan kondisi riil yang hendak diwujudkan dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Skim bantuan langsung ini jelas sifatnya sementara dan tidak memiliki
tujuan yang jelas, apalagi untuk memandirikan masyarakat. Intervensi yang
dilakukan pemerintah sesuai dengan ide negara kesejahteraan justru berdampak
negatif pada masyarakat, seperti yang dikhawatirkan oleh penganut paham neoliberalisme.
Akibatnya, masyarakat kelas bawah cenderung
menjadi tidak kreatif dan hanya bisa berharap pada "belas kasihan"
pemerintah untuk menyelamatkan hidup mereka melalui subsidi yang dilakukan.
Apalagi dengan konsep membagi-bagikan uang tunai untuk menyelamatkan dampak
kenaikan harga BBM ini. Padahal, di negara maju, konsep negara kesejahteraan
sepenuhnya ini sudah tidak relevan lagi dan cenderung dikombinasikan dengan
konsep negara yang memfasilitasi kesejahteraan masyarakat melalui lapangan pekerjaan
yang diciptakannya, tapi tetap melihat fenomena globalisasi sebagai
keniscayaan.
Dengan kata lain, konsep negara yang
mengusahakan kesejahteraan bagi warganya (welfare state) telah berubah
menjadi negara yang mengusahakan kerja bagi warganya untuk kesejahteraan mereka
(workfare state). Malah, dengan cara inilah pemerintah dapat
menghasilkan masyarakat yang mandiri, kreatif, dan bekerja keras.
Ketimbang membagi-bagikan uang subsidi
melalui skim bantuan langsung tersebut, pemerintah sebenarnya dapat menciptakan
lapangan pekerjaan dengan memfasilitasi pendirian usaha kecil yang berbasis
rumah tangga dalam masyarakat kelas bawah. Usaha seperti apa yang dapat
dilakukan masyarakat, tentu idenya banyak dijumpai di daerah, karena pemerintah
daerah memiliki dinas-dinas yang relevan yang dapat diberdayakan. Apalagi sejak
otonomi dilaksanakan, peran pemerintah daerah dalam mewujudkan negara yang
mengusahakan kerja untuk masyarakat ini dengan mudah dapat diwujudkan.
Masalahnya sekarang bergantung pada pengambil kebijakan di negara ini, apakah
tetap memilih sebagai negara kesejahteraan murni atau mengusahakan lapangan
kerja melalui dana subsidi bagi masyarakat untuk kesejahteraan mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar