Kick
Andy Heroes
Kristanto Hartadi, REDAKTUR
SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 13 Maret 2012
Menyesal juga saya tidak bisa datang ke
studio Metro TV pekan lalu memenuhi undangan rekan Andy Noya untuk menyaksikan
penyerahan penghargaan Kick Andy Heroes 2012.
Menyesal karena saya pencinta acara Kick
Andy, yang saya kira tidak kalah dibanding acara Oprah Winfrey Show, sehingga
tidak bisa memperlihatkan dukungan langsung saya untuk acara tersebut.
Buat saya tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam
program tersebut sama sekali berbeda dengan para tokoh politik yang sehari-hari
ditampilkan dalam berbagai berita di televisi ataupun media massa lainnya.
Apalagi, para pemenang Kick Andy Heroes
memang orang-orang berkarakter luar biasa, yang berani “berenang melawan arus
perusakan massal” yang saat ini berlangsung di negeri kita.
Yang saya maksud dengan perusakan massal itu
adalah degradasi moral karena: korupsi (di berbagai bidang kehidupan),
kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi berlebihan, kemiskinan (yang
kerap disembunyikan tapi kerap pula dibutuhkan untuk kepentingan politis
ataupun ekonomis), dan lain-lain.
Saya merasa bangga menyaksikan seorang hero
seperti Irma Suryati (37) penyandang cacat di Kebumen yang berhasil membangun
industri kerajinan, bahkan punya sekitar 2.500 binaan (termasuk kalangan PSK).
Irma hanya lulusan SMA. Dia tidak korupsi
seperti Nazaruddin atau para politikus, pegawai pajak atau birokrat lainnya.
Namun, di tengah kecacatannya dia mampu memberi pekerjaan dan harapan kepada
orang lain yang sudah tanpa harapan.
Atau Dadang Heriadi (41), mantan pegawai PLN
yang rela mengorbankan hidupnya untuk mengurus orang-orang gila yang
menggelandang di jalan-jalan Tasikmalaya.
Padahal, dia bukan konglomerat yang punya
dana CSR, tetapi memang menyerahkan hidupnya untuk sesama. Orang seperti Dadang
sekelas dengan Bunda Teresa, pemenang Nobel Perdamaian 1979, karena karya kemanusiaannya
untuk kaum miskin di Kalkuta, India.
Buat saya orang-orang seperti Irma atau
Dadang jauh lebih terhormat dan berharga dibanding para politikus seperti
Nazaruddin, atau politikus yang menyatakan siap digantung di Monas kalau
terbukti korupsi, mengapa?
Karena para politikus telah mengajarkan
kehancuran kepada bangsa ini di saat mereka diberi talenta berlebih oleh Tuhan,
sementara para hero itu memberikan hidup mereka yang memang terbatas dan
pas-pasan untuk sesama. Para hero itu memberikan jauh lebih banyak dari orang
kaya atau politikus hebat mana pun di negeri ini.
Gerakan Masyarakat Sipil
Menjelang pemilihan gubernur di Jakarta tahun
ini, muncul sepasang calon gubernur/wakil gubernur yang berasal dari kubu
independen, yakni Faisal Basri dan Biem Benyamin. Saya sendiri tidak tahu
apakah pasangan ini akan memenangi pertarungan, apalagi menghadapi calon
incumbent yang diperkirakan punya dana dan sumber daya tak terbatas.
Namun, saya setuju dengan semangat mereka
bahwa calon-calon independen itu merupakan antitesis terhadap para kandidat
yang didukung partai-partai politik yang ada. Padahal, sudah terbukti
partai-partai politik di Indonesia pada hari ini lebih merupakan beban
(liability) ketimbang aset bangsa, namun mereka berkuasa dan menentukan ke mana
arus itu mengalir.
Jadi, kandidat independen di pilkada DKI itu
seperti berenang melawan arus. Mereka harus didukung, karena semangatnya adalah
untuk memperlihatkan dan mengajarkan kepada masyarakat bahwa partai politik
harus dikontrol oleh gerakan masyarakat sipil yang terstruktur dengan baik.
Profesor saya di mata kuliah etika komunikasi
mengajarkan bahwa tidak setiap penyimpangan yang terjadi di masyarakat harus
dilawan dengan legislasi, meski mungkin maksud legislasi itu baik.
Alasannya, tidak semua hal yang terjadi di
masyarakat dapat diatur, termasuk dampak-dampak ikutannya (residual effect). Cara untuk melawannya adalah dengan membangun
gerakan masyarakat sipil (civil society)
yang merapatkan barisan untuk melawan berbagai penyimpangan dan kekacauan yang
terjadi di masyarakat.
Contoh paling jelas adalah SKB dua menteri
yang mengatur syarat-syarat pendirian rumah ibadah malah menimbulkan komplikasi
dan segregasi di masyarakat, karena persoalan seperti itu tidak bisa
diselesaikan dengan aturan, melainkan dengan mendidik masyarakat mengenai
pluralitas bangsa ataupun civic education.
Akhirnya, saya mau menutup bahwa masih banyak
bibit baik di tengah-tengah masyarakat kita, yang dapat membawa bangsa ini menuju
kebaikan.
Perbaikan itu akan makin cepat tercapai bila civil society menyadari bahwa tugas dan
tanggung jawab kita menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu, di tengah perlombaan
melawan kehancuran. Jadi, kini saatnya merapatkan barisan untuk kebaikan bersama.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar