Pembatalan
Remisi Koruptor
Hifdzil Alim, PENELITI DARI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
FAKULTAS HUKUM UGM
SUMBER : MERDEKA, 13 Maret 2012
MENKUMHAM Amir Syamsuddin mengajukan banding
atas putusan PTUN Jakarta yang pada 7 Maret lalu menyatakan SK Menkumham Nomor
MHH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang Pengetatan Remisi terhadap
Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi (SK pengetatan remisi koruptor)
melanggar UU Nomor 12 Tahun 1995 serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Langkah banding Menkumham menuai kontroversi.
Pasalnya, sebelum putusan majelis hakim PTUN Jakarta dijatuhkan, Menkumham
berkoar akan menerima apa pun putusan majelis hakim, dan tidak akan mengajukan
upaya hukum banding. Bagi sebagian kalangan, langkah banding tersebut dinilai
sebagai bukti bahwa Menkumham tak konsisten dan bohong. Karena kebohongan itu,
Menkumham didesak meletakkan jabatannya.
Bahkan, politikus Partai Golkar Bambang
Soesatyo mengatakan bahwa Paskah Suzetta, yang merasa dirugikan atas terbitnya
SK pengetatan remisi koruptor itu sudah siap melaporkan Menkumham —dan
Wamenkumham— ke polisi. Dasar hukumnya adalah Pasal 333 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan tuduhan melawan hukum dan merampas
kemerdekaan seseorang (SM, 10/03/12).
Pertanyaannya, apakah langkah Menkumham
mengajukan banding itu keliru dan merampas kemerdekaan seseorang, mengingat
sebelumnya dia siap menerima apa pun putusan majelis hakim?
Untuk melihat kasus banding Menkumham,
setidaknya butuhkan tiga sisi pandang. Pertama; cara pandang melalui sisi hukum
normatif. Kedua; cara pandang terhadap sisi upaya pemberantasan korupsi, dan
ketiga; cara pandang dengan sisi etika pejabat negara.
Upaya hukum banding dalam peradilan tata
usaha negara atau administrasi negara adalah upaya hukum biasa yang diatur
dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal
122 disebutkan, ‘’Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.’’
Dengan dasar ketentuan hukum normatif itu
maka sebagai pihak tergugat, Menkumham memiliki hak untuk mengajukan banding
terhadap putusan PTUN Jakarta. Pengajuan banding Menkumham tak merampas
kemerdekaan seseorang. Di samping itu, hak dia sebagai tergugat ini tidak bisa
dipangkas. Jika misalnya, ada pihak yang melarang Menkumhan mengajukan banding
maka pihak tersebutlah yang akan dianggap melawan hukum dan merampas
kemerdekaan.
Dari sisi usaha pemberantasan korupsi,
sebenarnya tidak ada yang keliru dengan langkah banding Menkumham. Korupsi
adalah kejahatan luar biasa sehingga juga memerlukan cara luar biasa untuk
memberantasnya. Mengetatkan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi adalah
salah satu cara luar biasa yang bisa dipakai untuk memberantas korupsi.
Hanya untuk melaksanakan cara luar biasa
tersebut, sedapat mungkin jangan sampai melawan hukum. Karena, akan susah
jadinya apabila pemberantasan korupsi dilakukan dengan melanggar hukum. Sangat
harus dihindari pemberantasan korupsi dengan cara koruptif atau melanggar
hukum.
Bukan
Cara Koruptif
Dalam pandangan saya, langkah Menkumham
mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta bukanlah sebuah cara
memberantas korupsi dengan cara melawan hukum atau cara koruptif lainnya. Perlu
digarisbawahi, Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 menuliskan, ‘’Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.’’
SK pengetatan remisi koruptor yang
diterbitkan oleh Menkumham adalah sebuah keputusan tata usaha negara yang
ditujukan secara konkret, individual, dan final terhadap terdakwa korupsi.
Tujuh terpidana korupsi, Hafiz Zawawi, Bobby Suhardiman, Hengky Baramuli, Hesti
Andy Tjajanto, Agus Widjajanto, Mulyono Subroto, dan Ibrahim mengajukan gugatan
tata usaha negara. Menkumham, melalui Wamenkumham Denny Indrayana mengatakan,
akan mematuhi putusan majelis hakim PTUN Jakarta. Menkumham akan membebaskan
tujuh terpidana korupsi itu sejak terbitnya putusan majelis hakim PTUN Jakarta
(SM, 10/3/12).
Artinya, dari sisi upaya pemberantasan
korupsi, tidak ada cara melawan hukum atau cara koruptif yang dilakukan oleh
Menkumham atau Wamenkumham. Dua pejabat itu menepati janjinya untuk mematuhi putusan
majelis hakim PTUN Jakarta dengan membebaskan tujuh terpidana korupsi yang
mengajukan gugatan tersebut. Selanjutnya, apabila dipandang dari sisi etika
pejabat negara maka kita perlu melihat kepada ciri umum jabatan pemerintahan.
Konflik etis yang dihadapi pejabat muncul dari dua sifat umum pemerintahan,
yakni sifat representasional dan sifat organisasional (Dennis F Thompson, Etika
Politik Pejabat Negara, 2002: xxi-xxiii).
Sifat representasional melahirkan konflik
antara prinsip dan tindakan. Adapun sifat organisasional memunculkan konflik
antara prinsip dan tanggung jawab. Yang perlu dipahami bahwa dalam sifat yang
representasional ataupun organisasional, seorang pejabat negara dituntut untuk
dapat mengimplementasikan asa rakyat demi tujuan rakyat dan tujuan negara.
Kepentingan masyarakat yang lebih besar diamini dalam kerangka demokrasi.
Intinya, pejabat negara harus tegak melawan apa pun sepanjang itu ditujukan
untuk membuat nyata tujuan rakyat dan tujuan negara. Maka banding Menkumham
bisa diposisikan sebagai etika pejabat negara untuk memperjuangkan asa rakyat,
meski sedikit dinilai sebagai suatu kebohongan.
Terakhir, putusan majelis hakim PTUN Jakarta
menyatakan bahwa SK Menkumham tentang pengetatan remisi koruptor dianggap
melawan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Karena itu, agar
kontroversi pengetatan remisi bagi koruptor tak lagi dinilai melawan hukum maka
DPR sebagai lembaga yang berwenang membentuk undang-undang harus secepatnya
merevisi UU Nomor 12 Tahun 1995. Jika tidak, penilaian rakyat yang akan
menghakimi, ternyata DPR minim niat memberantas korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar