Selasa, 13 Maret 2012

Hilangnya Spirit Kepemimpinan

Hilangnya Spirit Kepemimpinan
Mimi Raja Piliang, PENGAMAT SOSIAL EKONOMI DAN POLITIK,
BERDOMISILI DI JAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 13 Maret 2012



Pada hakikatnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu sendiri di pemerintahannya. Dia tidak mendapatkan support yang berarti dari sisi spiritual untuk memperkuat roh kepemimpinan dari partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat, dan tentunya juga dari partai koalisasi.

Inilah kenyataan spiritual seorang SBY dalam wujudnya sebagai presiden di negeri ini, di era perjalanan peralihan sistem demokrasi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang belum juga menampakkan bentuk yang diidamkan.

Beda sekali misalnya dengan kepemimpinan Presiden Soeharto, atau Pak Harto di eranya, yang benar-benar mendapatkan dukungan dan penjagaan dari segala sisi. Baik dari sisi pisik yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan pemerintah, maupun dari sisi spiritual oleh Golkar sebagai kelompok pendukung. Bahkan oleh dua partai lain, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, semua sangat memperhatikan perasaan Soeharto sebagai presiden maupun pribadi.

Para politisi pun jika bicara dimana pun sangat hati-hati, kata-katanya dipilih yang enak di dengar. Misalnya, untuk kegagalan disebut belum berhasil, untuk sesuatu kebijakan yang dinilai tidak pantas, dipilih kata-kata sepertinya perlu ditinjau kembal, dan sebagainya.
Sampai-sampai seorang Buya Hamka selaku Ketua Majelis Ulama pun pernah protes hanya dengan menurunkan Kubah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Indahnya sikap ini justru tujuannya bisa dibaca oleh Pak Harto sebagai pemerintah. Pesan protes ini dilakukan Buya Hamka di awal pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun (Repelita).

Memang disayangkan diujung kekuasaan Soeharto ini pula muncul pendukung fanatisnya yang bermaksud melindungi pemerintahan dan kebijakan pemerintah, melakukan tindakan intelijen yang berlebihan. Walau sejatinya tindakan itu tidak dikehendaki Pak Harto.

Diujung kekuasaannya itu, makin banyak orang bertindak semata ingin menyenangkan Presiden dengan menghalalkan berbagai cara. Laporan yang disampaikan hanya hasilnya, tidak bagaimana cara untuk menghasilkan sesuatu yang menyenangkan Presiden itu.

Para pembantunya umumnya juga bekerja sepenuh hati sesuai dengan bidang tugas dan semua ingin menunjukkan hasil capaian kerjanya. Hingga betapa berarti bagi seorang menteri bisa diterima Presiden di Istana Presiden untuk menyampaikan hasil kerja itu. Setelah diterima Presiden, sang menteri pun bercerita pada rakyatnya melalui media elektronik (TVRI) dan RRI yang direlay di seluruh pelosok negeri dan keesokan harinya menjadi berita utama media cetak yang ada di negeri ini.

Terlepas dari segala kekurangannya, sungguh banyak kenangan manis era kepemimpinan Soeharto, yang membuat negeri ini benar-benar terasa bagaikan zamrud di khatulitiswa, aman, tenteram, dan rakyat banyak (petani, nelayan, kaum migran di perkotaan dan sebagainya) bisa mencari nafkah dengan tenang, tanpa diganggu hiruk pikuk protes dan demontrasi yang berkepanjangan sebagaimana terjadi di era ini.

Setidaknya rakyat banyak hanya berkeinginan agar bisa menghidupi keluarganya dengan cukup, mendapatkan biaya pendidikan dan pengajaran anak-anak mereka secara cukup pula, dan tinggal di rumah layak huni dan melakukan ibadah sesuai kepercayaannya dengan tenang. Suatu kondisi yang dirasakan benar-benar bagai zamrud di katulistiwa, sulit akan terulang lagi.

Bagaimana SBY. Orang-orang Demokrat banyak terjerat kasus korupsi yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Kourpsi (KPK). Jelas ini sebuah "kecelakaan politik" yang sangat menyayat hatinya. Sebagai orang utama pendiri Partai Demokrat, SBY bisa menangis dalam hati melihat kondisi partai yang dibinanya.

Inilah barangkali bukti bagaimana oknum-oknum yang terjerat kasus korupsi di partai itu sangat tidak mempedulikan perasaan seorang SBY sebagai bapak pendiri partai mereka, yang juga seorang presiden yang mereka usung untuk bangsa dan negara ini. Mereka lupa memperhatikan perasaan Bapak (Presiden), karena mereka asyik dengan eforia kemenangan di DPR maupun di pemerintahan.

Kekuasaan yang ada ditangan lalu mereka gunakan untuk memuaskan libidonya politik, maupun kelompok sendiri, tanpa memperhatian "hak dan kewajiban, benar atau salah." Akibatnya, yang terjadi adalah suasana, situasi dan kondisi teramat sangat menyakiti hati sang Bapak, dan menodai pemerintahan yang mereka perjuangkan.

Sementara yang lain lupa menata diri, wawasan dan lupa mengasah perasaan. Mungkin karena sudah terlanjur terlalu banyak memakan "duit haram", maka yang terlihat adalah banyak di antara mereka attitudenya sangat tidak pantas misalnya sebagai anggota DPR-RI, bicaranya sangat tidak enak di dengar, komentarnya terdengan "asal bunyi", malah menyakitkan banyak orang. Kata-katanya sangat tidak layak, bahkan cenderung kurang ajar untuk ukuran kuping orang timur, utamanya Jawa.

Lalu bagaimana para pembantunya. Terlihat juga bekerja setengah hati. Atau tidak memiliki wawasan dan target yang jelas di bidang mereka masing-masing. Hasilnya, tidak optimal. Para pembantunya pun tidak mampu bekomunikasi dengan rakyat banyak, petani, nelayan dan kelompok marginal lainnya. Akibatnya, orang yang semula meyakini pemerintah ini bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, beralih menjadi krisis kepercayaan.

Sungguh menyedihkan, kondisi ini akan mengantar SBY ke muara kegagalan, atau dengan bahasa sopannya, sebagai pemerintahan yang belum berhasil mewujudkan apa-apa yang telah disampaikannya kepada rakyat banyak saat kampanye pemilihan dulu. Pelajaran yang perlu disimak jika kita masih mencintai negeri indah di khatulistiwa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar