Pasang
Badan untuk Tuan Menteri
Hifdzil
Alim,
PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
GADJAH MADA
SUMBER : KORAN TEMPO, 19 Maret 2012
Ada pertentangan menarik dalam persidangan
kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jaksa penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi meyakini uang suap dalam proyek Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Rp 1,5 miliar memang benar untuk
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Namun Dadong Irbarelawan,
salah satu terdakwa dalam kasus suap tersebut, menolak kesimpulan jaksa (Koran
Tempo, 13 Maret 2012). Selain itu, Fauzi, salah satu saksi pada persidangan
kasus suap proyek PPID, menyatakan hal serupa. Uang suap bukan ditujukan untuk
Menteri Muhaimin. Fauzi mengatakan bahwa ia hanya mencatut nama menteri
Muhaimin.
Pertentangan ini menarik dicermati. Di satu
sisi, jaksa KPK yakin atas skema kasus yang didalaminya. Ada duit untuk Menteri
Muhaimin, meski belum sempat diserahkan kepada yang bersangkutan. Di sisi yang
lain, banyak saksi yang bilang uang bukan untuk Menteri Muhaimin. Apakah jaksa
KPK keliru menyimpulkan? Ataukah Fauzi dan Dadong sedang "pasang
badan" untuk tuan menteri?
Peta Kasus
Jaksa KPK tampak yakin sekali atas
kesimpulannya. Jaksa menyatakan uang yang mengucur dari kuasa direksi PT Alam
Raya Jaya Papua, Dharnawati, tak hanya berjumlah Rp 1,5 miliar. Tapi ada dana
lain yang disiapkan sebesar Rp 2,001 miliar. Semua duit itu sebelumnya
disiapkan sebagai komisi, karena PT Alam Raya Jaya Papua berhasil mendapatkan
proyek PPID di empat kabupaten di Papua senilai Rp 73 miliar. Komisi yang akan
diberikan adalah 10 persen dari nilai proyek.
Keyakinan jaksa KPK itu jauh-jauh hari sudah
didengungkan. M. Jasin, mantan pemimpin KPK jilid II, tak menampik jika
dikatakan duit suap akan diberikan kepada Menteri Muhaimin, meski belum sempat
dilakukan. Farhat Abbas, pengacara Dharnawati, berucap serupa. Uang suap yang
diberikan kliennya kepada I Nyoman Suisnaya, Sekretaris Direktorat Jenderal
Pembangunan Kawasan Transmigrasi, serta Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian
Program, Evaluasi, dan Pelaporan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan
Kawasan Transmigrasi, akan diteruskan kepada Menteri Muhaimin (Tempointeraktif,
3 September 2011).
Kalau benar uang yang diperuntukkan sebagai
suap berjumlah 10 persen dari nilai proyek Rp 73 miliar, yang berarti Rp 7,3
miliar, angka Rp 3,501 miliar--Rp 1,5 miliar ditambah Rp 2,001 miliar--yang ada
dalam berkas penuntutan jaksa masih kurang. Artinya, setidaknya ada duit Rp 3,8
miliar lagi yang akan diserahkan kepada Nyoman Suisnaya, Dadong, atau Fauzi
sebagai bagian dari uang suap.
Agak susah meyakini bahwa uang Rp 7,3 miliar
itu hanya akan dinikmati oleh oknum di bawah menteri, mengingat posisi yang
sangat dekat antara oknum tersebut dan menteri yang bersangkutan. Tengok saja,
Fauzi adalah salah satu anggota staf khusus menteri. Nyoman Suisnaya dan Dadong
duduk sebagai pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Posisi yang
sangat dekat tersebut memungkinkan mereka melakukan koordinasi dengan menteri.
Lagi pula program percepatan pembangunan
infrastruktur di daerah tertinggal menjadi salah satu program Kementerian.
Keterangan dalam pemeriksaan membuktikan ada program PPID di Kementerian Tenaga
Kerja. Misalnya, keterangan Olly Dondokambey, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus Wakil Ketua Badan
Anggaran DPR, yang disampaikan sesaat setelah dimintai keterangan oleh penyidik
KPK, menjelaskan DPR menyetujui anggaran Rp 500 miliar untuk percepatan
pembangunan infrastruktur daerah. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi
Kementerian yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan 2011.
Dengan menggunakan keterangan pengacara
Dharnawati dan Olly sebagai bentuk cross-check keterangan, akan
diperoleh peta kasus suap proyek PPID Kementerian Tenaga Kerja, yakni program
PPID disetujui, sekaligus dengan anggaran Rp 500 miliar. Program tersebut
menjadi bagian dari kegiatan Kementerian. Karena itu, setiap kebijakan yang
terkait dengan PPID harus melewati menteri.
Dengan peta kasus itu, sulit kiranya meyakini
bahwa duit suap dari Dharnawati yang diberikan kepada Nyoman Suisnaya dan
Dadong tidak akan mengalir kepada Menteri Muhaimin. Namun, untuk membuktikan
aliran duit suap tersebut, perlu pembuktian lebih lanjut di persidangan tindak
pidana korupsi. Hakim harus mencermati setiap keterangan--yang boleh jadi
direkayasa. Hakim tidak boleh terjebak dalam kebohongan pihak-pihak di
persidangan.
Tiga Kemungkinan
Kalaupun duit suap dari Dharnawati tidak akan
disampaikan kepada Menteri Muhaimin, dan jika benar Fauzi serta Dadong hanya
mencatut nama Muhaimin, berarti ada tiga kemungkinan yang muncul. Pertama,
memang tidak ada rencana pemberian duit kepada Menteri Muhaimin. Kedua, Fauzi
dan Dadong sedang melakukan aksi "pasang badan" untuk Menteri
Muhaimin. Ketiga, sedang terjadi sebuah skandal besar yang melanda Kementerian
Tenaga Kerja.
Apabila kemungkinan pertama yang terjadi,
sepertinya susah bagi akal sehat untuk menerimanya. Pasalnya, melihat kedekatan
Fauzi dan Dadong dengan Menteri Muhaimin, sulit rasanya mengiyakan kemungkinan
ini. Tapi kemungkinan demikian tetap ada. Kemungkinan tersebut menuntut jaksa
lebih dalam menyidik kasus suap PPID Kementerian. Di samping itu, butuh
kejelian hakim untuk bisa merunut setiap peristiwa sehingga dapat ditemukan ke
mana akhir aliran dana suap PPID Kementerian.
Andai kemungkinan kedua yang didapat, apa
yang dilakukan Fauzi dan Dadong, disadari atau tidak, telah menempatkan diri
mereka dalam kungkungan hukuman yang berat. Ada beban luar biasa yang akan
mereka tanggung, yaitu beban hukum dan beban moral. Beban hukum diperoleh dua
kali lipat karena sangkaan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi
sekaligus memberikan kesaksian bohong di persidangan. Beban moral akan
mengikuti diri mereka dalam status koruptor dan pembohong.
Tentu saja, untuk membuktikan kemungkinan
kedua tersebut, sekali lagi menuntut jaksa agar lebih serius dan mendalam
melakukan penyidikan kasus suap PPID Kementerian. Majelis hakim juga dipacu
untuk membuka mata dan sensitif naluri supaya tidak tertipu oleh drama yang
dimainkan para saksi serta terdakwa.
Terakhir, misalnya kemungkinan ketiga yang
hadir, hal ini tak begitu membutuhkan analisis yang tajam. Tak dapat
dimungkiri, kementerian adalah salah satu obyek paling cepat untuk mengeruk
uang. Pundi-pundi duit dikumpulkan melalui komisi atau fee yang
diperoleh dari proyek kementerian. Proses proyek, yang dieksekusi melalui
tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, disulap sebagai wahana potensial
untuk mendatangkan bergepok rupiah.
Pertanyaannya, siapa yang ambil untung dari
skandal di kementerian itu. Jika dicermati, pola kasus suap di Kementerian
Tenaga Kerja sebenarnya mirip pola kasus suap pembangunan wisma atlet SEA
Games, Palembang, Sumatera Selatan, yang menjerat pejabat Kementerian Pemuda
dan Olahraga. Uang haram dari pelulusan proyek pemerintah diduga kuat dialirkan
ke partai politik tertentu.
Diyakini atau tidak, partai politik
membutuhkan biaya sangat besar untuk dapat berlaga di arena pemilihan umum.
Pembiayaan partai politik yang sementara ini digunakan salah satunya dengan
memanfaatkan kadernya, baik yang berada di lembaga legislatif maupun di lembaga
eksekutif. Para kader ini kemudian akan mengelompokkan mana proyek yang dapat
ditunggangi untuk dipererat. Pola demikian mafhum dimasukkan dalam area korupsi
politik.
Sesungguhnya korupsi politik inilah yang
susah diberantas. Mengingat sistem pemerintahan negara ini masih menempatkan
partai politik sebagai aktor yang menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda
negara, yang selanjutnya nakhoda negara itu menentukan siapa yang akan menjadi
pembantu (menteri)-nya. Namun susah bukan berarti tidak mungkin. Korupsi
politik bisa diputus. Syaratnya, ada pemimpin yang memiliki keberanian (political
will) untuk memutusnya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar