Mentari
dari Bali
Gede
Prama,
Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah
Kemarahan Menjadi Keteduhan; Fasilitator Meditasi di Bali Utara
SUMBER : MEDIA INDONESIA,
24 Maret 2012
ENTAH
mana yang benar, sejarah membuat tokoh atau tokoh membuat sejarah. Yang jelas,
sulit mengingkari kita hidup di putaran waktu yang mengalami kelangkaan tokoh.
Di negeri Barack Obama yang lama menjadi teladan demokrasi, sudah mulai ada
orang yang berteriak ‘bohong’ saat presiden berpidato. Di Eropa, sejarah
pemimpinnya mulai dinodai hal-hal tidak beradab seperti pemimpin dilempar dengan
sepatu. Kita di Indonesia serupa, oleh media dan kritikus pemimpin senantiasa
duduk di kursi yang disalahkan.
Bali yang ditulis sejumlah penulis Barat dengan
bahasa puitis, seperti morning of the
world, juga tidak ketinggalan. Pentas media dan politik berisi terlalu
banyak perseteruan. Ciri dominannya cuma satu, semua mengaku benar, semua mau
didengar.
Bila
digabung menjadi satu, riuh sekaligus kisruhlah kehidupan. Itu tanpa memberikan
ruang sedikit pun untuk berpikir jernih, tanpa memberikan tempat bagi
keheningan untuk lewat kendati hanya sebentar. Ciri khas zaman ini ialah sangat
langka ada manusia yang menyediakan diri untuk menjadi listening warrior. Menyediakan diri untuk mendengar tidak saja
dengan telinga, tetapi juga dengan cinta. Tidak saja sepi, tetapi juga penuh
empati. Kemudian merangkai serpihan-serpihan kebenaran yang berantakan
khususnya oleh politik, serta mewartakan ke publik bahwa apa yang kita ributkan
membuat manusia menjauh dari kejernihan dan jalan keluar.
Lebih
dari itu, di zaman yang marak dengan bunuh diri dan tsunami ini, berlaku rumus
sederhana: listening is nourishing.
Saat mendengar, kita ikut menghidupi dan menyembuhkan banyak jiwa.
Dalam
konteks listening warrior itulah Hari Raya Nyepi jadi relevan. Bagi anak muda
yang masih teramat lapar akan kesuksesan dan progress, keheningan kerap disebut
membuang kesempatan. Namun, setiap jiwa yang sudah tumbuh dewasa secara
spiritual berpelukan lembut dengan tubuh kosmis (baca: istirahat dalam
keheningan) serupa menghirup udara segar. Itu tidak hanya memperpanjang umur,
tetapi juga berjumpa dengan wajah kehidupan yang semakin menyatu dari hari ke
hari. Menyatu dengan alam, menyatu dengan semua ciptaan, menyatu dengan Tuhan. Tetua
Bali menyebutnya tri hita karana.
Siapa
yang berani menyelam ke kedalaman kehidupan seperti ini, kolam kehidupan yang
tadinya keruh kemudian terang-benderang terlihat. Ternyata dari zaman lahirnya
nabi sampai zaman kini, kehidupan senantiasa dialektis. Itu serupa manusia yang
membangun rumah kemudian dihancurkan rayap, di mana ada orang membangun, di
sana ada kekuatan lain yang menghancurkan. Di mana lahir kesucian, di sana juga
lahir kekotoran.
Bila manusia biasa dibuat kisruh oleh pola dialektis kehidupan
seperti ini, para suci duduk rapi di atas pertentangan dan dualitas, menyaksikannya
kemudian memutar roda kasih sayang. Hadirnya rayap yang menghancurkan rumah
(baca: hadirnya penggoda di setiap zaman) bukan alasan untuk menghentikan
pembangunan. Sebaliknya, itu membuat kehidupan menjadi semakin halus dan
semakin halus . Serupa Mahatma Gandhi yang halus karena hadirnya penjajah
Inggris, mirip Nelson Mandela yang lembut karena dipenjara 27 tahun. Mirip
Muhammad Junus yang peka karena tumbuh di tengah kemiskinan Bangladesh.
Amerika
memang putaran waktunya sedang turun, Eropa memang sedang dibelit krisis,
Indonesia memang sedang menata ulang dirinya. Semuanya hanya manifestasi dari
hukum dialektis yang sama. Ke mana pun siklus kehidupan sedang berjalan,
peradaban memerlukan listening warrior.
Yang bisa hening di tengah keramaian, mendengar tidak saja dengan telinga, mengumpulkan
dan merangkai serpihan-serpihan kebenaran, kemudian mewartakan kepada pemimpin
khususnya.
Pemimpin
bukan ditakdirkan sebagai bagian dari pertentangan, melainkan diharapkan duduk
rapi di atas pertentangan, melihatnya secara jernih, kemudian memutar roda
keputusan hanya dengan kasih sayang. Di samping itu, dengan keheningan yang
sempurna, listening warrior juga ikut mengirim vibrasi kesembuhan ke tubuh
kosmis yang banyak luka sebagaimana ditunjukkan banyaknya tsunami, banjir, dan
bunuh diri.
Dengan
demikian, Nyepi bukan hanya berwajah penghematan energi, pengurangan emisi,
memperkecil kemungkinan pemanasan global, melainkan juga menjadi momen kontemplasi
yang memungkinkan manusia keluar dari kolam kehidupan yang kisruh oleh kepentingan
dan kekuasaan. Itu kemudian mengizinkan ketenangan, kesejukan, dan kedamaian
memberikan ruang bagi lahirnya kejernihan.
Bila
listening warrior lahir, benar
seperti ditulis pemenang hadiah nobel sastra Rabindranath Tagore yang sepulang
dari kunjungan ke Bali kemudian menyebut Bali sebagai morning of the world. Mentari pagi dari Bali untuk Bumi, mentari
keheningan yang mengetuk pintu hati banyak manusia untuk mendengar karena
teramat langka manusia di zaman ini yang mau mendengar. Kendati telinga manusia
dua kali lebih banyak daripada mulut, manusia tetap memerlukan perjuangan keras
di zaman ini untuk bisa mendengar. Padahal, hanya di kedalaman pendengaran manusia
bisa terhubung dengan tubuh kosmis, mengalami kebersatuan, kemudian bisa
merasakan tidak hanya setiap tempat menjadi rumah (home), setiap waktu menjadi home,
tapi juga setiap keadaan batin juga home (every
state of mind is home).
Coba
perhatikan sebagian peninggalan tetua Bali. Di kepala Pulau Bali, nama desanya
Kubutambahan. Kubu berarti rumah, tambah berarti positif. Artinya, rumah
manusia-manusia yang berpikir positif.
Di
kaki Pulau Bali, tempat matahari terbit indah sekali memeluk puncak Gunung Agung,
desanya bernama Sanur. Sa artinya satu, nur artinya cahaya. Ringkasnya berarti
cahaya yang satu. Sebuah tempat yang amat terkenal ke seluruh dunia bisa
menyembuhkan banyak manusia bernama Ubud, berarti ubad alias obat. Lokasinya di
Bali Tengah.
Bila
digabung menjadi satu, isilah kepala dengan hal-hal positif, langkahkan kaki
diterangi cahaya yang satu. Kesembuhan pun bisa muncul kemudian.
Caranya,
selalu hindari hal-hal ekstrem, istirahatlah di jalan tengah. Dari situ mungkin
tangan-tangan pemimpin yang bergandengan dengan semuanya baru bisa hadir,
kemudian membuat gerak kehidupan sebagai perjalanan pulang. Sekaligus,
bersamasama kita sembuhkan tubuh kosmis yang sedang luka di mana-mana. Besok
pagi di Hari Nyepi, matahari pemahaman seperti inilah yang terbit dari Bali. Selamat Hari Raya Nyepi. Semoga semua makhluk berbahagia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar