Nurani
Hakim Antikorupsi
Denny Indrayana, WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAM,
GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
SUMBER : SINDO, 6 Maret
2012
Besok,
Rabu, 7 Maret 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta direncanakan
memutuskan gugatan terkait Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mencabut
pembebasan bersyarat beberapa terpidana kasus korupsi.
SK
Kemenkumham itu salah satu bukti kebijakan Kemenkumham yang lebih mengetatkan
syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Menjelang
penyampaian putusan besok izinkan saya menyampaikan pandangan melalui tulisan
singkat ini. Saya meyakini setiap kita punya hati nurani. Saya meyakini pula,
bertanyalah pada hati nurani, maka jawaban jujur insya Allah akan selalu kita
dapatkan.
Seberkarat apa pun kehidupan kita dikotori berbagai racun kehidupan,jauh di lubuk hati yang paling dalam tetap ada kejujuran, ketulusan, dan kebaikan.Itulah sebabnya setiap perjuangan selalu mempunyai harapan, sepanjang kita tidak lepas dari sisi kemanusiaan itu sendiri.Karena setiap manusia pasti mempunyai hati nurani.
Berbicara nurani, salah satu profesi yang paling penting untuk sering-sering becermin dan menengok jauh ke dalam hati nuraninya adalah hakim. Profesi yang memutuskan hitam atau putihnya perkara di hadapannya. Profesi yang diamanatkan menghadirkan keadilan, bukan ketidakadilan. Saya haqqulyaqin,masih banyak hakim kita yang antikorupsi. Saya sangat percaya mayoritas hakim kita mempunyai cita-cita yang sama tentang Indonesia.
Yaitu negeri yang makin bermartabat, negeri yang makin antikorupsi.Jauh di lubuk hati yang terdalam, saya yakin dalam kemanusiaannya, siapa pun—apalagi seorang hakim—pasti tidak ingin melihat Indonesia makin terpuruk dan makin dalam masuk sebagai salah satu negara berpredikat terkorup.
Kenapa saya memulai tulisan ini dengan optimisme hakim antikorupsi? Bukankah banyak pula yang pesimistis dengan integritas para penegak hukum kita, tidak terkecuali moralitas para hakim kita? Karena bagi saya optimisme bukanlah pilihan. Bagi saya optimisme adalah keharusan. Untuk menciptakan Indonesia yang lebih antikorupsi, kita harus terus berjuang dengan mengobarkan api optimisme; sama sekali bukan dengan menebar pesimisme.
Termasuk meyakini bahwa masih banyak hakim kita yang akan memutus dengan semangat antikorupsi. Termasuk optimistis bahwa dalam keputusan hakim PTUN Jakarta besok, kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi akan dikuatkan. Saya tidak semata yakin akan dasar hukum kebijakan pengetatan. Kalau itu sudahlah pasti. Tidak ada keraguan sedikit pun, walau perdebatan hukum akan selalu ada.
Namun,terlepas dari keyakinan posisi hukum itu, yangpalingmembuatsaya tidak ragu adalah tidak mungkin ada warga negara Indonesia yang ingin menghalangi ikhtiar mulia menciptakan Indonesia yang lebih bersih. Juga lebih bermartabat, lebih antikorupsi.Warga Indonesia yang menghalangi Indonesia bersih harus dibatalkan hak dasarnya sebagai warga bangsa.
Dia batal demi hukum sebagai warga Indonesia.Karena di dalam semangat nurani Indonesia pastilah korupsi tidak mendapatkan tempatnya. Itulah sebenarnya visi dan filosofi dasar kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi tersebut.Tidak lain dan tidak bukan, ikhtiar kesekian untuk menegaskan bahwa korupsi harus diberantas, bahwa koruptor harus dijerakan.
Tidak hanya dalam slogan dan pidato, tetapi dalam tindakan dan kenyataan. Maka, kalau bicara dasar hukum,kami tentu juga paham dan sudah mempelajari bahwa pencabutan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat, yang digugat di PTUN Jakarta, sudah kami pertimbangkan betul. Tidak mungkin kami mengeluarkan kebijakan yang menabrak aturan perundangan. UU Pemasyarakatan jelas mengatakan pengaturan hak napi dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
PP Nomor 28/2006 dengan jelas mengatakan, pemberian pembebasan bersyarat harus memperhatikan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Maka, hati nurani tidak akan berbohong: bagaimana rasa keadilan masyarakat Indonesia terkait pemidanaan koruptor? Apakah vonis yang sekarang diberikan sudah cukup adil? Ataukah masih banyak persoalan yang menyebabkan pesan penjeraan kepada koruptor tidak tergambar secara jelas, secara tegas.
Cukupkah terpidana korupsi divonis rata-rata di bawah lima tahun, bahkan ada yang mendekam di penjara tidak sampai satu tahun? Padahal banyak pencurian ringan harus menghadapi pemidanaan yang jauh lebih berat, jauh lebih lama? Tentu akan ada perdebatan hukum tentang pemidanaan yang menjerakan. Tentang konsep pemasyarakatan yang bukan lagi menghukum.
Perdebatan yang panjang dan melelahkan. Namun, semuanya sebenarnya akan dengan mudah terjawab jika para hakim kembali bertanya kepada hati nurani. Dalam kondisi Indonesia sekarang ini,yang sedang dirundung banyak persoalan korupsi, mana yang lebih tepat: apakah mengobral remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor? Hati nurani akan dengan mudah menjawab, bahwa pesan penjeraan harus lebih nyaring disuarakan, harus lebih kokoh ditegakkan.
Termasuk jika timbul perdebatan hukum, bukankah SK Pencabutan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan Kemenkumham tersebut berlaku surut (retroaktif) dan karenanya layak dibatalkan. Nurani yang antikorupsi akan dengan mudah menemukan argumentasi bahwa SK Pembebasan Bersyarat yang dibatalkan adalah SK yang belum berlaku.
Diktum ketujuh dalam setiap SK itu pada dasarnya mengatakan bahwa SK Pembebasan Bersyarat tersebut berlaku pada saat dilaksanakan. Dengan demikian, selama belum dilaksanakan SK itu belum berlaku, dan karenanya pencabutannya dapat dilaksanakan tanpa harus berlaku surut. Tidak perlu ragu untuk memberikan pesan penjeraan lebih kuat kepada terpidana korupsi.Itu bukanlah diskriminasi.
Pesan demikian justru adalah konsistensi.Konsisten untuk menyatakan bahwa koruptor adalah musuh bersama utama bangsa ini.Maka,setiap kita, dalam kapasitas masingmasing, berkewajiban membuat jera setiap pelaku korupsi. Kemenkumham sudah mengambil porsinya dengan mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor.
Besok adalah giliran para majelis hakim PTUN yang terhormat untuk melaksanakan kewajiban terhormatnya: menguatkan kebijakan penjeraan bagi para koruptor. Untuk menegaskan pesan bahwa koruptor tidak boleh hidup nyaman di bumi pertiwi Indonesia. Saya yakin benar, dengan bertanya kepada nurani hakim antikorupsi,putusan yang akan dikeluarkan akan sejalan dengan cita-cita kita akan Indonesia yang lebih berjaya, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Seberkarat apa pun kehidupan kita dikotori berbagai racun kehidupan,jauh di lubuk hati yang paling dalam tetap ada kejujuran, ketulusan, dan kebaikan.Itulah sebabnya setiap perjuangan selalu mempunyai harapan, sepanjang kita tidak lepas dari sisi kemanusiaan itu sendiri.Karena setiap manusia pasti mempunyai hati nurani.
Berbicara nurani, salah satu profesi yang paling penting untuk sering-sering becermin dan menengok jauh ke dalam hati nuraninya adalah hakim. Profesi yang memutuskan hitam atau putihnya perkara di hadapannya. Profesi yang diamanatkan menghadirkan keadilan, bukan ketidakadilan. Saya haqqulyaqin,masih banyak hakim kita yang antikorupsi. Saya sangat percaya mayoritas hakim kita mempunyai cita-cita yang sama tentang Indonesia.
Yaitu negeri yang makin bermartabat, negeri yang makin antikorupsi.Jauh di lubuk hati yang terdalam, saya yakin dalam kemanusiaannya, siapa pun—apalagi seorang hakim—pasti tidak ingin melihat Indonesia makin terpuruk dan makin dalam masuk sebagai salah satu negara berpredikat terkorup.
Kenapa saya memulai tulisan ini dengan optimisme hakim antikorupsi? Bukankah banyak pula yang pesimistis dengan integritas para penegak hukum kita, tidak terkecuali moralitas para hakim kita? Karena bagi saya optimisme bukanlah pilihan. Bagi saya optimisme adalah keharusan. Untuk menciptakan Indonesia yang lebih antikorupsi, kita harus terus berjuang dengan mengobarkan api optimisme; sama sekali bukan dengan menebar pesimisme.
Termasuk meyakini bahwa masih banyak hakim kita yang akan memutus dengan semangat antikorupsi. Termasuk optimistis bahwa dalam keputusan hakim PTUN Jakarta besok, kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi akan dikuatkan. Saya tidak semata yakin akan dasar hukum kebijakan pengetatan. Kalau itu sudahlah pasti. Tidak ada keraguan sedikit pun, walau perdebatan hukum akan selalu ada.
Namun,terlepas dari keyakinan posisi hukum itu, yangpalingmembuatsaya tidak ragu adalah tidak mungkin ada warga negara Indonesia yang ingin menghalangi ikhtiar mulia menciptakan Indonesia yang lebih bersih. Juga lebih bermartabat, lebih antikorupsi.Warga Indonesia yang menghalangi Indonesia bersih harus dibatalkan hak dasarnya sebagai warga bangsa.
Dia batal demi hukum sebagai warga Indonesia.Karena di dalam semangat nurani Indonesia pastilah korupsi tidak mendapatkan tempatnya. Itulah sebenarnya visi dan filosofi dasar kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi tersebut.Tidak lain dan tidak bukan, ikhtiar kesekian untuk menegaskan bahwa korupsi harus diberantas, bahwa koruptor harus dijerakan.
Tidak hanya dalam slogan dan pidato, tetapi dalam tindakan dan kenyataan. Maka, kalau bicara dasar hukum,kami tentu juga paham dan sudah mempelajari bahwa pencabutan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat, yang digugat di PTUN Jakarta, sudah kami pertimbangkan betul. Tidak mungkin kami mengeluarkan kebijakan yang menabrak aturan perundangan. UU Pemasyarakatan jelas mengatakan pengaturan hak napi dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
PP Nomor 28/2006 dengan jelas mengatakan, pemberian pembebasan bersyarat harus memperhatikan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Maka, hati nurani tidak akan berbohong: bagaimana rasa keadilan masyarakat Indonesia terkait pemidanaan koruptor? Apakah vonis yang sekarang diberikan sudah cukup adil? Ataukah masih banyak persoalan yang menyebabkan pesan penjeraan kepada koruptor tidak tergambar secara jelas, secara tegas.
Cukupkah terpidana korupsi divonis rata-rata di bawah lima tahun, bahkan ada yang mendekam di penjara tidak sampai satu tahun? Padahal banyak pencurian ringan harus menghadapi pemidanaan yang jauh lebih berat, jauh lebih lama? Tentu akan ada perdebatan hukum tentang pemidanaan yang menjerakan. Tentang konsep pemasyarakatan yang bukan lagi menghukum.
Perdebatan yang panjang dan melelahkan. Namun, semuanya sebenarnya akan dengan mudah terjawab jika para hakim kembali bertanya kepada hati nurani. Dalam kondisi Indonesia sekarang ini,yang sedang dirundung banyak persoalan korupsi, mana yang lebih tepat: apakah mengobral remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor? Hati nurani akan dengan mudah menjawab, bahwa pesan penjeraan harus lebih nyaring disuarakan, harus lebih kokoh ditegakkan.
Termasuk jika timbul perdebatan hukum, bukankah SK Pencabutan Pembebasan Bersyarat yang dikeluarkan Kemenkumham tersebut berlaku surut (retroaktif) dan karenanya layak dibatalkan. Nurani yang antikorupsi akan dengan mudah menemukan argumentasi bahwa SK Pembebasan Bersyarat yang dibatalkan adalah SK yang belum berlaku.
Diktum ketujuh dalam setiap SK itu pada dasarnya mengatakan bahwa SK Pembebasan Bersyarat tersebut berlaku pada saat dilaksanakan. Dengan demikian, selama belum dilaksanakan SK itu belum berlaku, dan karenanya pencabutannya dapat dilaksanakan tanpa harus berlaku surut. Tidak perlu ragu untuk memberikan pesan penjeraan lebih kuat kepada terpidana korupsi.Itu bukanlah diskriminasi.
Pesan demikian justru adalah konsistensi.Konsisten untuk menyatakan bahwa koruptor adalah musuh bersama utama bangsa ini.Maka,setiap kita, dalam kapasitas masingmasing, berkewajiban membuat jera setiap pelaku korupsi. Kemenkumham sudah mengambil porsinya dengan mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor.
Besok adalah giliran para majelis hakim PTUN yang terhormat untuk melaksanakan kewajiban terhormatnya: menguatkan kebijakan penjeraan bagi para koruptor. Untuk menegaskan pesan bahwa koruptor tidak boleh hidup nyaman di bumi pertiwi Indonesia. Saya yakin benar, dengan bertanya kepada nurani hakim antikorupsi,putusan yang akan dikeluarkan akan sejalan dengan cita-cita kita akan Indonesia yang lebih berjaya, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar