Demokrasi
dalam Tantangan
R. William Liddle, PROFESOR ILMU POLITIK (EMERITUS)
OHIO STATE UNIVERSITY, COLUMBUS, AS
SUMBER : KOMPAS, 6 Maret
2012
Robert Dahl, teoretikus demokrasi tersohor
abad lalu, pernah menulis bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan kapitalisme
merupakan hambatan utama terhadap keberhasilan demokrasi bermutu.
Demokrasi didefinisikannya sebagai pemerataan
sumber daya politik, tempat semua orang punya kemampuan sama untuk memengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Dalam politik mutakhir AS, kebenaran
kesimpulan Dahl kentara sekali.
Tandanya makin jelas: politik uang, versi AS,
akan memainkan peran yang mengerikan, melebihi pemilu sebelumnya. Alasannya:
keputusan Mahkamah Agung 2009 yang membebaskan donatur kaya, perorangan maupun
perusahaan, menyumbang uang tanpa batas kepada calon favoritnya. Keputusan itu
meniadakan sejumlah UU yang sejak 1972 cenderung mengatasi dampak buruk uang
dalam pemilu di AS.
Wahana yang dipakai donatur itu bernama Super
PAC, Panitia Aksi Politik Super, yang secara legal terpisah dari organisasi
kampanye seorang calon. Namun, semua orang tahu: di belakang layar, setiap Super PAC diatur panitia kampanye calon
bersangkutan. Menurut laporan The New
York Times, sampai akhir Februari 2012, 20 pengusaha kaya telah menyumbang
33 juta dollar AS kepada calon-calon favorit mereka. Padahal, musim pemilu baru
mulai!
Kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana
mengobatinya? Biang keladinya adalah pola kompetisi yang sedang berkembang
dalam percaturan presidensial. Sebagaimana diketahui, petahana Presiden Barack
Obama pasti dicalonkan oleh Partai Demokrat. Lawannya, Partai Republik, sedang
mencari calon yang mampu mengungguli Obama.
Konvensi Partai Republik untuk memilih calon
presidennya akan diselenggarakan pada minggu terakhir Agustus. Sejumlah pelamar
sudah mulai mengumpulkan utusan melalui berbagai cara, terutama primary elections, pemilihan internal
cabang partai negara bagian.
Semua warga negara yang terdaftar di badan
elektoral tingkat negara bagian (mirip Komisi Pemilihan Umum di Indonesia)
sebagai anggota atau pemilih salah satu partai diberi kesempatan memilih calon
favorit mereka menjelang konvensi. Pemilihan-pemilihan tersebut sudah diadakan
di sejumlah negara bagian dan akan diteruskan sampai akhir Juni tatkala semua
(2.286) utusan konvensi dipilih.
Gejala pengaruh uang yang kebablasan tampak
dalam persaingan antarcalon Partai Republik. Sebelumnya, para pengamat sepakat:
Mitt Romney, mantan Gubernur Massachusetts dan pebisnis unggul, paling mungkin
dicalonkan oleh partai tersebut. Pada 2008, Romney dikalahkan dalam konvensi
partai oleh John McCain (yang kemudian melawan Obama dalam pemilihan
presidensial). Partai Republik terkenal punya tradisi giliran. Lagi pula, kans
Romney mengalahkan Obama dianggap para profesional partai jauh lebih besar
ketimbang calon lain. Ia dicap satu-satunya ikan kakap di lautan presidensial
yang sarat ikan teri.
Menggalang Kekuatan
Ternyata, para ikan teri itu tak bersedia
menerima nasib mereka begitu saja. Selain Romney, tujuh orang juga mencalonkan
diri. Satu mewakili sayap kiri Partai Republik, tetapi kekurangan dukungan dan
lekas drop out. Yang lain mewakili
sayap kanan atau konservatif yang mengusung kebijakan antipajak, prokeluarga
tradisional, dan garis keras dalam kebijakan luar negeri.
Di dalam Partai Republik, penganut sayap ini
memang cukup banyak dan aktif memperjuangkan prinsip-prinsip mereka secara
intens sedari dulu. Mereka juga terdorong oleh kaum Tea Party, gerakan pro-pemerintah kecil ”Partai Teh” yang melejit
sejak 2009. Tahun ini, kaum konservatif dan gerakan Partai Teh cenderung
menolak pencalonan Romney, yang mereka anggap terlalu moderat dan plinplan.
Dalam suasana ini, enam calon itu berhasil
meraih dukungan awal untuk diikutkan dalam serentetan perdebatan yang disiarkan
langsung TV nasional. Audiensnya besar dan terpukau, khususnya di negara bagian
tempat primary elections diadakan.
Kompetisi seru itulah yang mendorong setiap
calon mencari dana sebanyak mungkin, termasuk melalui Super PAC, untuk memasang iklan TV dan membentuk organisasi kampanye.
Presiden Obama pun terbawa-bawa. Menyadari memanfaatkan keputusan MA itu, dia
pun membentuk Super PAC sendiri
meskipun dikecam keras, baik di dalam maupun di luar partainya.
Saya sendiri waswas melihat peran Super PAC di AS. Lagi pula, saya sadar
betul bahwa kepincangan dalam pembiayaan ongkos kampanye merupakan hambatan
besar terhadap tercapainya cita-cita kita bersama, baik di AS maupun di
Indonesia, demi demokrasi yang bermutu.
Namun, saya tahu juga bahwa keputusan MA itu
baru diambil tiga tahun lalu. Kalau konstelasi politik pasca-Pemilu 2012
memungkinkan, keputusan itu pasti dijungkirbalikkan dengan UU baru. Di belakang
layar, para aktivis prodemokrasi mulai menggalang kekuatan untuk tujuan itu.
Kalau kemauannya cukup besar, pasti akan ada caranya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar