Pelari
Cepat Melawan Kapitalisme Pasar
Rene L Pattiradjawane, WARTAWAN KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 2 Maret 2012
Krisis zona euro dipicu krisis keuangan sejak
kebangkrutan Lehman Brothers tahun
2008 di AS. Krisis itu menghadirkan kenyataan baru yang merisaukan banyak pihak
dan mengancam eksistensi kesejahteraan, tentang kekayaan dan kemiskinan.
Kegagalan kapitalisme pasar dan globalisasi
menjadi perbincangan yang mengarah pada ancaman yang membahayakan model
demokrasi yang dianut dunia (Barat).
Selama ini, ekonomi pasar dianggap sebagai
mekanisme paling berhasil untuk menciptakan kesejahteraan sepanjang masa. Ilmu
pengetahuan modern pun tidak sanggup menyaingi kecepatan ekonomi pasar dalam
berbagai bentuknya yang mentransformasi perekonomian dunia.
Ketika krisis keuangan dan moneter melanda
Amerika Serikat (AS) dan zona euro,
semua terperangah dan mencoba cari jawaban. Perdebatan berkembang tentang
kapitalisme yang selama ini menjadi dasar pembenaran kemajuan ekonomi dan
perdagangan bebas. Secara bersamaan, krisis yang bertubi-tubi dan
menyengsarakan masyarakat negara kaya menyebabkan kebuntuan ketika kepemimpinan
negara maju di pemerintahan dan swasta tidak mampu menghadapi krisis yang
menyebabkan resesi.
Francis Fukuyama, pengarang buku The End of History and the Last Man (1992),
dalam wawancara dengan majalah Der Spiegel, Jerman, meyakinkan bahwa krisis
yang sekarang terjadi merupakan proses dari salah satu bagian globalisasi.
”Kita mengasumsikan perlunya dunia bergerak
cepat ke era pasca-industrialisasi dan pasca-manufakturisasi. Namun, dengan
melakukan ini kita melupakan alasan sebenarnya di balik sosialisme yang tak
pernah tinggal landas di AS, menghadirkan kenyataan baru ekonomi modern yang
menghasilkan masyarakat kelas menengah di mana sebagian besar populasi
menikmati status kelas menengah itu. Mereka bekerja di industri yang
ditinggalkan di negara kita yang berpindah ke negara seperti China,” kata
Fukuyama.
Perusahaan negara
Ekonom Peru ternama, Hernando de Soto, dalam tulisannya di Financial Times (29/1), menyebutkan alasan terjadinya kontraksi
modal dan kredit di AS dan Eropa selama lima tahun terakhir adalah karena
pengetahuan mengikuti perkembangan kapitalisme pasar selama lebih dari 200
tahun. ”Perlu mengidentifikasi persoalan untuk bisa menghubungkan dan
menggabungkan bagian-bagian profitabilitas masing-masing yang tanpa disadari
telah dihancurkan,” katanya tentang resesi Eropa kini.
Majalah The
Economist (21/1) melihat dalam konteks lebih luas. Resesi global yang
merongrong kapitalisme liberal memunculkan potensi alternatif baru, kapitalisme
negara dengan menggabungkan kekuatan negara dan kekuatan kapitalisme.
Elemen-elemen itu sebenarnya sudah tampak pada masa lalu, seperti kebangkitan
Jepang pada tahun 1950-an ataupun di Jerman pada era 1870-an.
Persoalannya, kapitalisme negara abad ke-21
beroperasi dalam skala masif menggunakan peralatan yang semakin canggih yang
dihadirkan pasar uang, bursa perdagangan, serta iklim globalisasi yang
menghilangkan dimensi ruang dan waktu. China menjadi pelopor utama kapitalisme
negara dengan cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS.
Dalam kurun waktu 25 tahun, China melesat bak
pelari sprinter mengalahkan berbagai kemajuan ekonomi pasar di belahan dunia
mana pun dan berada di urutan kedua kekuatan ekonomi global di belakang AS.
China memiliki pertumbuhan impresif dengan
laju rata-rata 9,5 persen setiap tahun dan volume perdagangan global meningkat
sampai 18 persen. Selama 10 tahun terakhir, PDB China mencapai lebih dari 11
triliun dollar AS, menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia mengalahkan
Jepang dan menjadi pasar konsumen terbesar dunia mengalahkan AS.
China menganut asas kapitalisme negara. Dari
tiga perusahaan negara, yaitu Sinopec
Group, China National Petroleum
Corporation, dan State Grid,
semuanya tercatat sebagai perusahaan publik dengan penghasilan terbesar di
dunia di belakang Walmart, Shell, Exxon,
dan BP.
Di bursa saham domestik, perusahaan negara
tersebut secara nilai mencapai 80 persen di China, 62 persen di Rusia, dan 38
persen di Brasil. China pun berada pada posisi lender of the last resort dan
secara bersamaan membelanjakan devisanya membeli perusahaan-perusahaan
strategis di Eropa, mengejar kandungan teknologi untuk mentransformasi
ekonominya menuju ke ekonomi teknologi tinggi.
Kapitalisme Cangkokan
Krisis kapitalisme pasar sebenarnya mengacu
pada persoalan informasi asimetris di tengah kemajuan teknologi komunikasi
informasi yang tak hanya melibatkan pemain utama, tetapi juga orang kebanyakan
yang secara mudah dan cepat menyebarluaskan informasi (terutama ekonomi dan
perdagangan) melalui medium seperti Facebook
dan Twitter.
Dalam bahasa Jürgen Habermas (82), filsuf
Jerman, dalam diskusi di Goethe Institut
di Paris, Perancis, krisis zona euro terjadi karena kapitalisme cangkokan di
mana ekonomi pasar dikuasai politik. Ketika politik bergerak ke arah
xenophobia— seperti tercantum dalam buku Deutschland
Schafft Sich Ab (Jerman Menghapuskan Diri) yang ditulis Thilo Sarrazin, mantan anggota dewan
eksekutif bank sentral Deutsche
Bundesbank, atau seperti diungkapkan Geert
Wilders, politisi sayap kanan Belanda yang juga pemimpin Partij voor de Vrijheid— muncul
kontradiksi yang menyebabkan sistem demokrasi dan politik tidak berjalan
efektif.
Persoalan lain, konsumerisme dalam model
kapitalisme pasar dibayang-bayangi kerancuan obyektivitas atas berbagai produk
perdagangan. Konsumen negara kaya condong berbelanja berdasarkan ilusi
subyektif merek, seperti Nike,
ketimbang obyektif analisis para ahli tentang sepatu. Di tingkat perusahaan,
pembelian produk keuangan dilakukan berdasarkan bersama siapa mereka bermain
golf. Ini terjadi pada elite ataupun orang biasa, menyebabkan perdebatan
multifaset antara benar dan salah. Dan, ini terjadi di mana-mana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar