Jumat, 02 Maret 2012

Konflik dan Keadilan Sosial


Konflik dan Keadilan Sosial
Iwan Gardono Sujatmiko, SOSIOLOG FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012



Berbagai konflik dengan kekerasan terjadi di sejumlah daerah Indonesia, seperti yang baru saja terjadi di Bima. Realitas sosial seperti ini dapat dianalisis dengan berbagai teori konflik. Intinya adalah menjelaskan bahwa masyarakat bersaing dan berkonflik demi sumber daya ataupun identitas.

Salah satunya adalah dengan pendekatan Realisme Kritis (Danermark dkk, 2002, Roy Bhaskar, 1978), di mana realitas sosial dibagi dalam tiga lapis. Pada lapis teratas terdapat peristiwa yang terlihat seperti konflik, sementara ”akar-akar” konflik terjadi pada lapis kedua berupa pembuatan kebijakan (perda, UU, UUD) dan lapis ketiga berupa penafsiran ideologi (Pancasila).

Konflik terjadi karena dipicu mekanisme kekuasaan dan kebijakan yang kurang prorakyat dan penyimpangan penafsiran ideologi. Maka, untuk mengatasi kondisi ini diperlukan mekanisme tandingan yang korektif berupa pemikiran dan aksi kolektif untuk merumuskan kembali kebijakan (perda, UU, UUD) ataupun dalam menafsirkan ideologi Pancasila.

Konflik Kebijakan

Menurut berbagai berita dari media massa, konflik kekerasan yang terjadi di Bima disebabkan ancaman pencemaran lingkungan, polisi yang bertindak berlebihan, adanya mobilisasi massa, dan sakralnya tanah di daerah tambang.

Keadaan serupa terjadi di sejumlah daerah, sementara aparat keamanan terpaksa menjaga kestabilan yang tidak adil. Konflik pada lapisan teratas ini sebenarnya merupakan konflik transformatif, di mana masyarakat menolak reproduksi ketidakadilan dan berupaya mengubah struktur agar mereka memperoleh akses ke sumber daya alam. Mereka berkonflik untuk memperoleh keadilan dari bawah karena tiadanya keadilan dari atas Namun, berbagai penjelasan dan solusi pada lapisan belum menyentuh mekanisme di bawahnya, yakni pembuatan kebijakan.

Di lapisan kedua atau kebijakan, banyak perda yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti UU bahkan UUD, dan kurang inklusif bagi komunitas. Khusus untuk mineral dan batubara, saat ini menurut Menko Perekonomian, ada 6.000 (75 persen) dari 8.000 perda izin tambang yang bermasalah atau tumpang tindih. ”Bom waktu” ini telah meledak di sejumlah tempat. Selain itu, terdapat pula Undang-Undang Tambang Nomor 4 Tahun 2009 yang kurang inklusif, di mana komunitas sekitar tambang tidak disertakan dalam kepemilikan.

Dalam UU Tambang warga diberi kesempatan untuk memperoleh izin tambang rakyat dalam skala kecil (individu 1 hektar, kelompok 5 hektar, dan koperasi 10 hektar selama lima tahun). Namun, jika ada perusahaan negara dan swasta dalam negeri dan asing yang besar, mereka tidak diberi saham. Jika pola kepemilikan tambang (hutan dan migas) adalah inklusif, komunitas sekitar akan merasa menjadi pemilik serta bersedia menjaga dan mengembangkan tambang dengan pemilik lainnya, baik negara maupun swasta.

Pada lapisan tengah telah terjadi koreksi untuk mengatasi perda bermasalah dengan didirikannya 29 Pusat Pelayanan Hukum dan HAM di bawah Kemenkumham untuk mengevaluasi perda. Upaya lain dilakukan oleh Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu yang meminta uji materi UU No 33/2004 tentang porsi dana bagi hasil migas yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.

Di UUD, khususnya Pasal 33, masih tercantum kata ”kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat” yang masih terlalu abstrak. Rakyat yang mana? Rakyat di sekitar tambang pastilah bingung mengapa mereka lebih merasa kekayaan alam mereka dicuri dan dijarah. Seharusnya rakyat yang paling dekat dengan sumber daya alam merupakan prioritas dan pola yang penting adalah memberi mereka saham, misalnya 20 persen dalam koperasi komunitas atau badan usaha milik desa (BUMD).

Jadi, komunitas tidak hanya menerima bantuan dari negara seperti dalam UU Minerba No 33/2004, di mana royalti diberikan kepada pusat (20 persen), provinsi (16 persen), kabupaten/kota penghasil (32 persen), dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi itu (32 persen). Namun, desa ataupun kecamatan penghasil tidak secara tegas dicantumkan dalam UU sehingga terlupakan. Selain itu, kepemilikan oleh BUMD tidaklah berdampak signifikan pada komunitas sekitar tambang, bahkan membuka peluang sebagai mesin politik uang bagi pilkada dan pemilu.

Demikian pula bantuan oleh perusahaan dalam bentuk program pengembangan komunitas, nilainya lebih sedikit dibandingkan dengan jika mereka memiliki saham tambang tersebut. Saat ini, tanah rakyat telah di ”HGU (hak guna usaha)”-kan kepada perusahaan dalam negeri dan asing (Mochtar Naim, ”Nasib Tanah Adat”, Kompas, 23/2/2012). Di sini hukum jadi pedang pemegang kekuasaan politik dan ekonomi, bukan sebagai ”alat timbang” keadilan.

Untuk mengatasi hal ini, UU Minerba perlu direvisi dan pada amandemen kelima UUD 1945 untuk Pasal 33, perlu dicantumkan saham bagi koperasi komunitas-BUMD di sekitar tambang. Jelaslah negara perlu melakukan renegosiasi dengan perusahaan tambang sekaligus dengan komunitas sekitar tambang. Inklusi komunitas akan menghasilkan keadilan dan pembangunan (social transformation through equity). Sebaliknya, eksklusi menghasilkan ketidakadilan dan konflik.

Pemurnian Ideologi

Dalam realitas sosial terbawah, terdapat ideologi yang berisi cita-cita dan cara mencapainya. Dalam hal ini, Pancasila perlu diperjelas dan dicantumkan dalam UUD 1945 sehingga dapat ”mengunci” perundang-undangan yang lebih rendah. Sebenarnya Pancasila yang digagas oleh Soekarno dan didukung oleh para pendiri republik dimaksudkan memberdayakan rakyat dalam mengisi kemerdekaan (”Pancasila yang Transformatif”, Kompas, 8/6/2011).

Penerjemahan Pancasila dalam berbagai kebijakan masih kurang populis dan kurang memihak rakyat bawah. Demikian pula dalam 11 butir nilai Pedoman Penghayatan Pancasila tentang Keadilan Sosial yang dibahas adalah sikap dan perilaku warga dalam bermasyarakat. Seharusnya salah satu penafsiran sila kelima adalah ”Keadilan sumber daya alam bagi komunitas sekitarnya”.

Kondisi diperparah dengan kebijakan yang mendukung ”persaingan bebas sekali” atau ”Darwinisme Sosial” (swastanisasi, deregulasi) yang mengabaikan rakyat. Untuk mengatasinya, perlu gugatan, revisi kebijakan, dan pemurnian Pancasila di ranah publik, baik di pusat maupun daerah. Pemurnian penafsiran ini akan membuat Pancasila menjadi ideologi yang lebih ”hidup” dan ”transformatif”, bukan hanya simbol dan retorika. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar