Negeri
Preman
Tamrin Amal Tomagola, SOSIOLOG
Sumber
: KOMPAS, 1 Maret 2012
Dalam dua tahun terakhir ini, pesawat Negara
Kesatuan Republik Indonesia terus terbang dalam keadaan darurat karena terus
diterpa gelombang badai secara bertubi-tubi.
Setelah ditinggal pilot utamanya yang memilih
menerbangkan pesawat kepentingan asing (Sri Palupi, Kompas, 2/2/2012), pesawat
NKRI sekarang langsung diambil alih, dibajak, oleh sebuah satuan lengkap
pasukan preman dari berbagai profesi yang terlatih dengan jam terbang yang
cukup mengesankan.
Anatomi Preman
Pasukan inti preman pembajak NKRI terdiri
atas tiga lapisan. Lapisan pertama adalah tempat berhimpun para preman politik,
hukum, dan keamanan. Para perwira preman yang beroperasi di kapling politik,
hukum, dan keamanan adalah kelompok yang secara makrostruktural paling
membahayakan keselamatan penumpang pesawat NKRI.
Mereka berkiprah secara legal dalam berbagai
lembaga kenegaraan, baik berseragam maupun tidak. Ada yang bertoga-hukum
sebagai jaksa, hakim, dan pengacara, serta berseragam coklat dengan rekening
gendut. Preman politik biasanya berdasi dan berarloji mewah dan berkantor di
kubah Garuda yang terjerembab serta berbasis di kantor-kantor pimpinan pusat
parpol.
Di lapisan kedua berkumpul para preman
sosial, baik yang berjubah maupun yang berseragam hitam jawara. Mereka
tersatukan dalam berbagai ormas, yang kelahirannya dibidani oleh oleh para
pentolan preman politik dan keamanan.
Hingga lima tahun lalu, mereka itu ada yang
masih menjalin hubungan baik dengan para ”papi” bidan. Namun, belakangan ini
para preman berbasis ormas kian berulah layaknya ”anak macan” yang lepas
berkeliaran, petantang-petenteng kian keblinger.
Mereka semakin mandiri, baik dalam sumber
keuangan maupun dalam program kegiatan serta program perekrutan ”pasukan
cadangan”. Ketimbang beroperasi di Ibu Kota, kini mereka lebih cenderung
merajalela di daerah-daerah sebagai mobilisator suara jelang pilkada. Mereka
juga mulai memalak para pebisnis perkebunan dan pertambangan serta perikanan.
Ini kapling lahan teranyar yang sangat menjanjikan secara ekonomi dan politik.
Akhirnya, di lapisan ketiga, bergerombol para
preman ekonomi. Kelompok ini terdiri atas sejumlah pemuda-pemudi putus sekolah
dan penganggur dari wilayah kumuh-miskin di perkotaan dan pedesaan, dari hampir
seluruh pelosok Indonesia yang tidak kebagian kue pembangunan dalam lima dekade
terakhir sejak era Orde Baru.
Mereka mengandalkan nyali yang bermukim dalam
tubuh perkasa kawula muda yang sama sekali tidak dipedulikan, baik oleh
lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan negara maupun oleh berbagai ormas
agama. Para pengelola lembaga negara sibuk menggendutkan rekening mereka,
sedangkan para pemimpin ormas agama sibuk ber-”handai-handai” dengan para
penguasa hukum, politik, dan keamanan negeri serta sibuk mengurus paspor
perjalanan ke mancanegara.
Terus menderita hingga nyaris kehilangan
napas dan harapan, para kawula muda berpaling ke para ideolog agama kelas
menengah dan para pemberani dari daerah asal mereka. Kedua pihak yang disebut
belakangan ini mau berbaur, mendengarkan keluhan hidup, dan mencarikan
pemecahan memperoleh mata pencaharian walau sering berlawanan dengan hukum,
bahkan jelas-jelas berada di wilayah hitam bawah tanah.
Tidak hanya itu. Para ideolog agama kelas
menengah dan tokoh pemuda bernyali ini juga mampu mencarikan pelayanan
pendidikan dan kesehatan. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi seluruh
anak-anak anggota keluarga preman ekonomi kelas teri dan kelas sedang ini.
Keanggotaan dalam kelompok preman ini
bersifat total (total institution) dan sepanjang hayat. Sekali masuk, tidak
pernah bisa keluar lagi. Pengkhianatan adalah tabu besar. Kesetiaan-mati adalah
etika paling fundamental dalam kelompok preman ekonomi.
Sebagai imbalannya, pemuda putus sekolah dan
penganggur ini memberikan loyalitas tunggal dan mutlak kepada para pengayom dan
pemimpin mereka, apalagi jika dijanjikan surga karena berjihad di jalan Allah.
Para pemuda preman ekonomi ini tak pernah
mempersoalkan keabsahan dan rasionalitas dari perintah-perintah operasional
pemalakan yang dikomandokan para pemimpin mereka. Kekerasan fisik yang
dilakukan kelompok ini berhulu dan berawal dari kekerasan struktural yang
dilakukan oleh para preman politik, hukum, dan keamanan.
Solusi
Adalah jelas—bagi setiap warga negara di NKRI
yang peduli dan bertanggung jawab—bahwa pembajakan pesawat NKRI harus segera
diakhiri secara cermat, komprehensif, dan beradab dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Pada prinsipnya, harus ada dua gerakan pembersihan yang
bergerak simultan, baik di tataran preman politik, hukum dan keamanan, maupun
di tataran lapangan terhadap kelompok preman sosial berbasis ormas yang
mengusung isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta preman ekonomi
kelas teri.
Paling kurang ada lima langkah simultan yang
perlu dimulai. Pertama, pemberantasan korupsi—biang semua kejahatan—harus makin
gencar, fokus dan efektif dengan memiskinkan koruptor semiskin-miskinnya.
Kedua, ketiga perangkat lembaga penegak hukum
(Polri, kejaksaan, kehakiman) serta mafia pengacara hitam harus dibersihkan.
Hentikan semua sewa-menyewa aparat militer dan Polri sebagai centeng-centeng
memalukan di sejumlah perusahaan, khususnya di perkebunan dan pertambangan.
Pilot utama pesawat NKRI harus segera turun dari pesawat kepentingan asing dan
pindah ke pesawat NKRI serta mulai sungguh-sungguh duduk dan bertindak
presidensial di kursi kemudi. Tinjau ulang semua kontrak kerja dengan
perusahaan-perusahaan asing, khususnya Freeport.
Ketiga, pembersihan parpol dari genggaman
pengurus korup- tor dimulai dan diberi contoh oleh Partai Demokrat untuk
diikuti oleh keempat parpol koalisi lainnya.
Keempat, jangkaulah kawula muda kelas bawah
dengan menyediakan fasilitas pendidikan, olahraga, kesehatan, dan lapangan
pekerjaan padat karya yang bermartabat. Rangkullah mereka dan jangan
sekali-kali berkhotbah sok suci persoalan moral mereka. Berbicaralah dengan
mereka dan jangan gunakan pendekatan kekerasan keamanan, seperti sweeping
pemuda penganggur yang sedang dijalankan. Menangani kekerasan dengan kekerasan
hanya akan membuat kekerasan kian dahsyat.
Kelima, kriminalkan para penghasut bermodal
ayat-ayat suci yang menebarkan kebencian atas dasar SARA tanpa ampun. Sebuah
rancangan undang-undang tentang kejahatan kebencian (hate crime) dan hasutan kebencian atas dasar SARA (hate speech) sudah sangat mendesak untuk
dirumuskan dan diberlakukan.
Hanya dengan begitu, kita bisa berhasil
membebaskan Garuda dari cengkeraman berbagai kelompok preman di semua jenjang
dan lapisan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar