Bubarkan
Petral?
Rhenald Kasali, GURU BESAR MANAJEMEN UI
Sumber
: KOMPAS, 1 Maret 2012
Persoalan transformasi sebenarnya bukanlah
mengadopsi hal-hal baru, melainkan membuang persepsi lama yang sudah tidak
cocok. Demikianlah kehebohan yang dihadapi para agen perubahan. Tak hanya
sistem dan metode, pikiran pun harus diperbarui.
Sampai 1990-an, misalnya, dagang minyak masih
merupakan ”hadiah” penguasa kepada para kroni. Produksi minyak nasional per
hari masih 1,6 juta barrel. Sebanyak 800.000 barrel diekspor dan
100.000-200.000 barrel jatah makelar dengan bonus sebesar 1 dollar AS per
barrel.
Saat itu, Petral dan Permindo sebagai anak
perusahaan Pertamina tak ubahnya hanya broker. Sebetulnya, kalau masih berlaku,
makelar minyak adalah bisnis yang menggiurkan buat oknum politisi. Bagaimana
sekarang?
Perdagangan Minyak
Perdagangan minyak pada abad ke-21 adalah
bisnis serba cepat. Pilihannya ada di pusat-pusat jejaring perdagangan dunia:
London, Dubai, Hongkong, dan Singapura.
Jakarta bisa menjadi pilihan kalau mampu
menjadi jalur pusat keuangan (financial
hub) dengan suku bunga di bawah 6 persen dan pusat perdagangan (trading hub, dengan pelabuhan yang
ramai, disinggahi tanker minyak ukuran sangat besar (very-large crude carriers/VLCC) generasi kelima, dan instrumen
perdagangan lengkap). Kualitas tata kelolanya pun harus tinggi.
Ilmu dagang minyak berubah, dari broker ke
perdagangan (trading) yang lebih
permanen, lebih tak kasatmata (intangibles),
seperti reputasi, informasi, dan jaringan keuangan. Celakanya, Indonesia bukan
lagi eksportir. Untuk impor 500.000 barrel sehari saja, perusahaan dagang
minyak Indonesia butuh modal kerja 60 juta dollar AS.
Bagaimana dengan broker? Ini adalah bisnis
eman-eman, tidak permanen, tergantung siapa yang berkuasa, dan diawasi oleh
badan-badan internasional karena berhubungan dengan korupsi dan pencucian uang.
Modalnya cukup bisik-bisik sambil injak kaki. Maka, bagi saya aneh kalau oknum
politisi dibiarkan mengatur perdagangan minyak. Berbahaya dan tidak bisa
diterima.
Di Singapura, saya pernah melakukan riset
tentang perusahaan dagang (trading
company), termasuk Petral. Setelah melalui proses transformasi, sejak 1999
Petral sudah jadi milik Pertamina dan berevolusi dari broker menjadi anak
perusahaan yang fokus pada perdagangan (trading
arms), seperti Total Trading atau
Petronas Trading. Memang cara
dagangnya belum canggih, tapi diawasi ketat oleh Singapura.
Perdagangan minyak (oil trading) di Singapura berlomba memengaruhi harga yang tendernya
diselenggarakan oleh Platts (Mid Oil of
Platts) yang menjadi acuan harga regional. Untuk ikut tender, bisnisnya
harus transparan. Setahu saya, sejak 2002 Petral sudah mendapatkan sertifikat Approved Oil Trading Firm yang berhak
mendapatkan 5 persen diskon pajak.
Di sinilah masalahnya. Tata kelola yang baik
(good governance) adalah musibah bagi
broker. Politisi masih berpikir cara lama bahwa dagang minyak bisa dilakukan
tabrak lari. Padahal, menjadi negara maju butuh cara berpikir baru. Generasi C
(connected, curious, dan cracker
generation) sudah lahir dengan kewirausahaan cara baru, tetapi politiknya
masih barbar dan bergaya makelar. Tidak dituruti disandera, dituruti mati
semua.
Jadi, dagang minyak butuh persatuan, bukan
saling menerkam. Tengok saja bagaimana serigala menerkam order minyak Indonesia.
Saat kilang Cilacap turun mesin (artinya Indonesia harus impor dalam jumlah
besar), dan saat Petral belum tahu, pedagang minyak sudah tahu lebih dulu.
Mereka juga bisa menciptakan antrean di pom-pom bensin yang membuat gubernur
panik, tetapi di Singapura order harga spot sudah ditunggu.
Jadi, Petral harus diisi orang-orang cerdas
berintegritas. Kalau tidak, dipaksa membeli dari pasar spot dengan harga lebih
mahal dari kontrak jangka panjang. Minyak spot juga butuh kapal spot yang
mahal.
Apa ingin punya eksekutif dagang yang hanya
jago membuat justifikasi (bahwa minyak harus dibeli di pasar spot), padahal
kepanjangan tangan serigala? Serigala, makelar, dan koruptor adalah sahabat
orang-orang yang integritasnya lemah.
Jauhkan Politisi
Bagi perusahaan kelas dunia, oil trading
company adalah trading arms yang tidak dapat dihindari. Maka, kalau Indonesia
ingin ketahanan energinya bagus, perencanaan yang kuat dan tata kelola yang
baik adalah kata kuncinya. Saya kira gagasan membubarkan Petral yang diajukan
Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah sebuah gagasan tulus agar Pertamina bersih
dari urusan politik dan Petral jauh dari praktik korupsi. Tetapi, ini harus
dijawab dengan argumentasi apakah benar ia lebih layak dibubarkan?
Apa benar kalau ditaruh di Jakarta dan
ditangani oleh perusahaan lain jadi lebih baik? Ini adalah sebuah tantangan
yang tulus. Kalau ini mau dicapai, Indonesia harus bisa keluar dari perangkap
”pasar spot” dengan isu ”keamanan nasional”. Jelas perencanaan energi nasional
harus lebih diperhatikan.
Kedua, daripada dibubarkan yang berarti nilai
intangibles-nya bisa hilang,
sebaiknya saham Pertamina dan Petral dicatatkan di bursa agar semakin
transparan.
Ketiga, ketahanan energi tidak hanya butuh
jaminan pasokan dan infrastruktur yang baik. Juga mendesak adalah penanganan
terhadap kekacauan politik yang sengaja diciptakan koruptor dan oknum politisi
yang menggunakan entitas bisnis sebagai sumber dana pesta demokrasi 2014. Jadi,
para politisi hendaknya menjauh dari bisnis minyak. Broker adalah cara-cara
pembiayaan kekuasaan masa lalu yang sudah tidak relevan. Saya tak membayangkan
kalau Petral dipindahkan ke Jakarta yang belum sanggup menjadi financial hub.
Duh Gusti! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar