Keroposnya
Pilar Demokrasi Kita
Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET BIDANG INTERMESTIC AFFAIRS DI LIPI
Sumber
: KOMPAS, 1 Maret 2012
Negeri ini memang penuh anomali politik.
Ketika sebuah partai politik mengalami musibah, partai lain seakan bergembira
karena hal itu berarti akan mengurangi persaingan politik di antara mereka.
Contohnya, ketika Partai Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia dibubarkan Presiden Soekarno pada awal 1960-an karena
sebagian tokohnya terlibat atau mendukung pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia, partai-partai lain, khususnya Partai Komunis
Indonesia (PKI), merasa lega. PKI berharap itulah saatnya partai ini dapat
semakin berkiprah dalam politik Indonesia, suatu kesempatan yang tidak pernah
mereka dapatkan pada era Demokrasi Konstitusional atau Demokrasi Parlementer
1950-1957.
Ketika PKI dibubarkan dan dilarang melakukan
aktivitas politik oleh pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, Mayor Jenderal
Soeharto pascaperistiwa dini hari 1 Oktober 1965, partai-partai politik
lawannya juga bersorak gembira. Padahal, secara tak sadar, mereka menyoraki
nasib mereka sendiri yang tak lagi dapat berkiprah secara bebas sebagai
sokoguru demokrasi. Politik ”deparpolisasi” dan ”depolitisasi” melalui
propaganda politik militer bahwa parpol itu buruk dan golongan fungsional (baca
Golongan Karya/Golkar) itu baik, menjadikan rakyat kurang suka dengan partai
politik.
”Politik massa mengambang” (floating mass) yang melarang parpol
memiliki cabang dan ranting organisasi di pedesaan dengan dalih mencegah
konflik di kalangan bawah dan fusi politik yang dipaksakan terhadap sembilan
parpol pada awal era Orde Baru menjadi dua parpol—yakni PPP dan PDI—semakin
mengerdilkan peran dan fungsi parpol karena parpol lebih sibuk mengurusi
perpecahan internalnya.
Efek Bola Salju
Kini, sejarah berulang kembali. Pada saat
Partai Demokrat centang-perenang dan tercabik-cabik akibat krisis internal yang
dialaminya, partai lain seakan bergembira. Partai-partai politik dan mereka
yang melek politik seakan lupa, buruknya citra Demokrat, bagaikan efek bola
salju, juga kian memperburuk citra parpol di mata masyarakat.
Krisis kepemimpinan di Partai Demokrat tidak
hanya membebani Demokrat dan pemerintah, seperti kata Adnan Buyung Nasution
(Kompas, 7/2/2012), dan tidak hanya mengancam sistem demokrasi melalui partai
politik seperti kata Yudi Latif (Kompas, 23/2/2012), tetapi juga menimbulkan
ketidakpercayaan pada negara karena parpol yang jadi basis utama pemerintahan
presidensial ini hanya dipercaya 3,3 persen responden (Kompas, 6/2/2012).
Pertanyaannya, sadarkah para tokoh dan
aktivis partai tentang kian tak populernya partai-partai politik sebagai pilar
utama demokrasi di mata masyarakat? Ternyata tidak! Masyarakat punya alam
pikiran sendiri dan tokoh-tokoh serta para aktivis politik punya alam pikiran
mereka, seakan tidak tersambung alam pikirannya dengan masyarakat.
Jika Anda tak percaya, mari kita tengok
anomali pernyataan tokoh-tokoh parpol. Alih-alih membenahi partainya, mereka
malah lebih peduli pada Pemilu Presiden 2014. Pada Hari Pers Nasional, 6
Februari 2012, Presiden Yudhoyono, yang sekaligus Ketua Dewan Pembina, Ketua
Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, bukannya sibuk
membenahi partainya yang morat-marit, malah meminta pers memperhatikan
perhelatan besar Pemilu 2014 dan memberi ruang bagi calon pemimpin nasional
yang selama ini belum terlalu muncul di pemberitaan. Ucapan itu dikonotasikan
sebagai upaya agar pers ikut mendongkrak popularitas istrinya, Kristiani
Yudhoyono, dan/atau adik iparnya, Pramono Edhi Wibowo, sebagai salah satu
capres 2014 (Kompas, 9/2/2012).
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie
seakan menyalahkan pers dengan mengatakan citra politik di Indonesia saat ini
kian buruk akibat gaduhnya pemberitaan tentang perilaku buruk para politisi.
Akibatnya, perdebatan konseptual tentang cita-cita luhur kebangsaan dan tabiat
politik yang etis dan santun justru menjadi tenggelam (Kompas, 13/2/2012).
Walau harus diakui Golkar dan Aburizal melakukan kerja keras politik untuk
mengangkat derajat pengusaha kecil dan menengah dari Sabang sampai Merauke,
adalah kenyataan Golkar lebih kerja keras untuk mendongkrak elektabilitas
Aburizal sebagai capres yang masih jeblok di tanah Jawa (Kompas, 25/2/2012).
Pada ulang tahun ke-39 PDI Perjuangan di
Bangka, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri lagi-lagi menyentil kaum muda
agar mawas diri apakah sudah layak jadi capres pada 2014 dan mempersiapkan diri
jadi pemimpin bangsa masa depan (Kompas, 13/2/2012). Mungkin karena pengalaman
anjloknya suara PDI-P pada pemilu legislatif 2004 dan 2009 dibanding 1999,
PDI-P berupaya mengumpulkan orang-orang baik yang punya kesamaan ideologi guna
bekerja bersama untuk rakyat. Namun, seperti partai lain, rekrutmen politik dan
kaderisasi di PDI-P juga masih amburadul, tak heran masih ada tokoh PDI-P kena
kasus korupsi.
Manajemen
parpol
Jika kita baca kembali karya agung almarhum
Herb Feith mengenai merosotnya demokrasi konstitusional/demokrasi parlementer
pada era 1950-an, kelompok idealis memandang, kegagalan demokrasi parlementer
sebagai akibat dari kurangnya dukungan institusional untuk demokrasi: ”lack of education, lack of democratic culture,
and the insufficient economic base for democracy”. Fenomena itu masih nyata
di Indonesia. Rendahnya pendidikan rakyat, rendahnya budaya demokratis di
kalangan politisi, dan kurangnya basis ekonomi rakyat atau di partai
menyebabkan politik uang masih merajalela di negeri ini.
Bagaimana pula kita bisa bicara mengenai
cita-cita luhur kebangsaan, tabiat politik yang etis dan santun, atau bicara
mengenai amanat penderitaan rakyat (ampera) apabila komunikasi politik
antarpolitisi atau antara politisi dan konstituennya lebih bertumpu pada soal
proyek ketimbang cita-cita luhur itu. Bagaimana kita dapat membangun kader yang
mumpuni kalau rekrutmen politik di partai-partai politik lebih ditonjolkan oleh
kapasitas keuangan para calon anggota dewan di pusat dan daerah ketimbang kadar
intelektual dan rekam jejak aktivitas politik kader. Tak heran jika
korporatisasi jadi bagian yang inheren dalam pengelolaan partai-partai politik.
Bagaimana pula kita dapat bicara mengenai
kemandirian keuangan partai jika sumber-sumber pendanaan partai masih lebih
berasal dari sumbangan para calon anggota legislatif, para pengusaha, atau
menggerogoti keuangan negara melalui korupsi di kementerian-kementerian dan
juga proyek-proyek pemerintah.
Pilar-pilar penopang tegaknya parpol yang
mandiri memang sangatlah rapuh. Dari pilar yang amat rapuh itu sulit bagi kita
untuk membuat bangunan partai-partai politik dan sistem kepartaian yang baik di
negeri ini. Pada gilirannya, ini sulit bagi kita untuk mengandalkan parpol
sebagai sokoguru yang dapat diandalkan dalam membangun demokrasi kita. Tanpa
adanya kesadaran para tokoh dan kader, partai-partai itu akan kian keropos.
Hasil jajak pendapat Kompas (Kompas, 6/2/2012), Lembaga Survei Indonesia
(Kompas, 20/2/2014), dan CSIS (Kompas, 14/2/2012) bukan hanya ”lampu kuning”
bagi masa depan parpol di Indonesia, melainkan juga sebagai pemecut bagi parpol
untuk berbenah diri. Tanpa itu, jangan salahkan siapa-siapa jika proses
deparpolisasi terus berjalan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar