Negara
Membunuh Esemka
Agus Haryanto, DOSEN DEPARTEMEN HUBUNGAN
INTERNASIONAL
FISIP UNSOED PURWOKERTO
SUMBER : SUARA MERDEKA, 3
MARET 2012
KEGAGALAN mobil Esemka dalam uji emisi
membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Seolah-olah tak percaya, sebagian
besar publik mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mendukung industri
nasional. Peran negara dalam perekonomian memang menjadi pembahasan dunia. Di
satu sisi, kini Indonesia terikat berbagai perjanjian internasional, seperti
free trade agreement (FTA), yang dianggap menguntungkan industri dalam negeri
karena ada pengurangan tarif bagi produk kita untuk masuk ke negara lain tapi
di sisi lain dikhawatirkan menghancurkan industri dalam negeri karena kalah
bersaing.
Lihatlah contoh kasus FTA China-ASEAN yang
melibatkan Indonesia tahun 2010. Setelah pemberlakuan ksepakatan itu, produk
China membanjiri Indonesia. Sampai-sampai jeruk lokal dan batik Indonesia pun
dikalahkan. Tak mengherankan kalau muncul guyon God made everything, but
everything made in China.
Negara menjadi aktor yang disalahkan dalam
kasus tidak lolosnya uji emisi Esemka. Tapi, sebagaimana sering disampaikan
Jokowi bahwa hak itu (lolos uji emisi) tidak bisa diminta dengan cara mengemis.
Maka kerja keraslah yang harus dikedepankan untuk mengusungnya.
Kita juga perlu membayangkan, seandainya
negara meloloskan uji emisi Esemka kendati belum memenuhi standar, pasti muncul
polemik hebat. Pemerintah akan diprotes oleh industri otomotif asing yang ada
di Indonesia. Efeknya kemungkinan pabrikan tersebut meninggalkan Indonesia dan
merelokasi basis industrinya ke Thailand atau Vietnam. Kita bisa membayangkan
ribuan pengangguran baru akibat hal ini.
Selain itu, pemerintah dianggap tidak
konsisten menjalankan regulasi, dalam hal ini peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Menteri Perhubungan. Pemerintah dianggap memproteksi industri dalam
negeri yang berdampak kecaman dunia.
Persoalannya, seandainya Esemka benar-benar
’’terbunuh’’ maka peristiwa ini akan menjadi tragedi bagi industri dalam
negeri. Pasalnya, mobil rakitan siswa SMK yang difasilitasi Kiat Motor Klaten
itu telah menghadirkan harapan munculnya industri mobil nasional (mobnas), yang
embrionya dari Jateng.
Membantu
Swasta
Negara seharusnya tidak membiarkan Esemka
terbunuh, apalagi hanya dengan dalih fair trade dengan negara lain, atau dalih
negara membiarkan sektor swasta berkompetisi di pasar. Pemerintah seharusnya
membantu melalui dua cara yaitu meningkatkan daya saing Esemka dan memasarkan
produk itu. Daya saing dapat dibangun melalui supervisi pemerintah, misalnya
mendatangkan tenaga ahli. Langkah ini tidak melanggar fair trade yang
didengung-dengungkan WTO.
Mari kita lihat bagaimana Amerika Serikat
menyokong industrinya. Walaupun Boeing bukanlah perusahaan negara, pada
Februari 2012 ia bisa merealisasikan perjanjian jual beli 230 pesawat dengan
Lion Air Indonesia. Kontrak kedua perusahaan itu senilai 22,4 miliar dolar AS
itu, merupakan kontrak terbesar dalam sejarah Boeing, baik dari sisi transaksi
maupun jumlah. Pesanan banyak pesawat oleh Lion Air ini dinilai sangat membantu
mengatasi masalah pengangguran di Amerika Serikat.
Order itu mampu membantu menciptakan sekitar
100.000 lapangan kerja di AS dalam jangka panjang (www.thejakartapost.com/
news/2012/02/14/lion-air-contract-more-boeing-aircraft.html). Kontrak ini
didahului nota kesepahaman November lalu, bahkan disaksikan Barrack Obama.
Pabrik pesawat asal Eropa, Airbus, iri. Direktur Operasional Airbus John Leahy
mengatakan kesepakatan tak terjadi tanpa keterlibatan Obama. Dalam konteks ini
kita melihat bagaimana pemerintah AS membantu perusahaan swasta berkembang di
tengah persaingan global.
Kita lihat lagi ketegasan Amerika melindungi
industrinya. Januari 2012, mereka mengeluarkan notifikasi yang isinya
mengembargo CPO dari Indonesia. Kebijakan itu untuk mendukung program green
product yang sedang digiatkan, lewat penerapan standar minimal kandungan CO2 di
level 20%. Berdasarkan penelitian Notice of Data Availability Environmental
Protection Agency, kandungan CPO Indonesia dan Malaysia hanya 17%. Karena
itu, pada 28 Januari lalu, AS memberi waktu kepada kita hingga 27 Febuari untuk
memberi sanggahan.
Isu soal CPO ini dianggap oleh sebagian
kalangan berembus lantaran ada kompetisi sumber bahan bakar biodiesel kendaraan
bermotor di AS. Selama ini, selain menggunakan CPO, AS menggunakan biji bunga
matahari dan minyak kedelai. Kedua produk ini banyak dihasilkan oleh
negara-negara Barat. Pemerintah Indonesia menganggap embargo ini sebagai bentuk
proteksi produk tersebut. Dari contoh itu, apakah pemerintah kita tega
membiarkan Esemka ’’terbunuh?’’ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar