Minggu, 04 Maret 2012

Kekerasan di Suriah


Kekerasan di Suriah
Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, UI
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012



Gelombang Musim Semi Arab tampaknya belum benar-benar berhenti. Tuntutan perubahan masih menggelora di Suriah, salah satu negara kunci di kawasan Timur Tengah.

Tuntutan perubahan yang disampaikan kelompok oposisi ditanggapi dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah. Kekerasan pun merebak di beberapa kota. Sejauh ini sudah lebih dari 7.500 orang tewas. Hanya saja, kekerasan dan jatuhnya korban jiwa tak serta-merta mendorong intervensi internasional atas nama tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect). Hal ini berbeda dengan di Libya beberapa waktu lalu. Tentu bukan karena jumlah korban jiwa dianggap belum ”keterlaluan” jika hingga kini intervensi internasional belum juga dilakukan.

Lebih Pelik

Alasan utama terletak pada riil politik yang melekat dalam konteks Suriah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Libya. Ada empat dorongan mengapa kasus Suriah menjadi lebih ”pelik” untuk diselesaikan. Pertama, keberadaan negara besar di belakang Suriah. Suriah merupakan salah satu sekutu utama Rusia, bahkan sejak periode awal Perang Dingin (masih dengan nama Uni Soviet). Kedekatan tampak, misalnya, jika kita mencermati teknologi militer yang dimiliki Suriah yang sangat kental karakter Uni Soviet/Rusia-nya.

Dukungan politik Rusia ke Suriah juga tampak di PBB. Terakhir, awal Februari, Rusia menggunakan hak veto terhadap draf resolusi bernomor S/2012/77 yang diusulkan beberapa negara Arab, Jerman, Inggris, Turki, dan AS. Rusia menilai usulan resolusi tersebut tak akan membawa hasil yang positif untuk menyelesaikan kekerasan dan memilih pendekatan diplomasi langsung dengan rezim Bashar al-Assad.

Kedua, keberadaan kekuatan regional di belakang Suriah. Selain kedekatan dengan Rusia, Suriah juga membangun aliansi dengan Iran. Suriah dan Iran merupakan duet maut dalam menentang eksistensi Israel. Kedekatan kedua negara salah satunya terlihat dalam pendirian dan kinerja Hisbulah, kelompok Syiah anti-Israel yang berbasis di Lebanon selatan. Suriah jadi negara penghubung Hisbulah dan Iran, termasuk menjadi jalur utama transmisi senjata. Tak mengherankan jika kemudian ada yang berpendapat kekacauan di Suriah saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat menekan Iran.

Ketiga, kekuatan jejaring kelompok bersenjata yang dimiliki rezim penguasa Suriah. Suriah dikenal sebagai frontier states yang paling keras menentang Israel. Suriah bukan saja secara langsung berkonfrontasi dengan Israel terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan dan kawasan Sheeba, tetapi juga berperan penting melanggengkan konflik antara Israel dan Lebanon.

Selain itu, Suriah juga menjadi negara di belakang Hisbulah dan Hamas, dua kekuatan bersenjata anti-Israel yang hingga saat ini gagal ditundukkan oleh Israel. Jejaring kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Suriah ini membuat intervensi terhadap kondisi politik domestik di Suriah akan jadi semakin rumit.

Terakhir, karakter negara intelijen. Selama periode kepemimpinan klan Assad, Suriah dikenal sebagai negara otoriter di mana peran intelijen dalam mengamankan rezim sangat dominan. Peran para mukhabarat, agen-agen rahasia, dalam mengontrol beragam aspek kehidupan penduduk sedemikian besar. Hal ini berimbas pada lemahnya kesatuan visi kelompok oposisi. Kelompok oposisi, meski disatukan oleh kepentingan yang sama, tak dibangun oleh jejaring yang kuat dan mapan.

Selain itu, karakter negara intelijen yang dibangun oleh ayah-bapak Assad tidak semata memberikan keuntungan kepada klan mereka saja, tetapi juga kelompok elite yang lain. Hingga saat tulisan ini dibuat tak terdengar kabar pembelotan yang dilakukan tokoh-tokoh kunci pemerintah. Artinya, gerakan perlawanan yang muncul saat ini tak mengakar di kalangan elite. Hal ini tak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu Suriah sebelum Hafiz al-Assad berkuasa yang penuh gejolak politik dan kudeta.

Sikap Indonesia

Keempat hal tersebut menjadikan kasus Suriah spesial jika dibandingkan kasus-kasus pergolakan di negara Arab lain. Menghadapi kondisi di Suriah, sikap seperti apa yang harus diambil Indonesia? Ada dua prinsip dasar yang harus dipegang oleh Indonesia dalam masalah ini.

Pertama, harus ada konsistensi penghormatan terhadap kedaulatan negara. Salah satu poin penting yang mendasari penolakan Rusia atas usulan resolusi S/2012/77: Rusia tak melihat rezim Assad sebagai salah satu sumber masalah, hal yang berbeda dengan pandangan para pengusul resolusi. Harus ada penjelasan rasional apakah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang berlangsung di Suriah beberapa tahun atau dekade terakhir muncul semata karena rezim berkuasa? Atau, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu muncul karena dorongan struktural mengingat perilaku rezim Assad, Hafiz maupun Bashar, juga bergantung pada konflik Arab-Israel secara keseluruhan.

Salah satu kekuatan yang membuat rezim Assad bertahan dan mendapat dukungan elite yang kuat adalah konsistensi rezim Assad dalam memerangi Israel. Konsistensi tersebut juga meningkatkan citra Suriah di dunia Arab. Rezim Assad menggunakan ancaman Israel sebagai isu untuk meningkatkan kohesivitas politik internal. Keberadaan ancaman Israel yang nyata berkontribusi pada hadirnya relasi yang positif antara rezim dan militer. Atas nama ancaman Israel, rezim mendapatkan dukungan dari militer dan elite lain untuk menciptakan kontrol negara atas publik.

Pergeseran nilai yang dibawa Musim Semi Arab, yang meletakkan keterbukaan di atas stabilitas, secara tak sengaja akan berkontribusi pada pandangan mengenai konflik Arab-Israel. Cara pandang berkonflik akan dapat digerus oleh pandangan transparansi dalam relasi antarkelompok dan penekanan pada kesejahteraan publik. Secara perlahan, ini mampu merekonstruksi relasi antara negara-negara Arab dan Israel.

Kedua, konsisten pada proses penyelesaian secara damai. Kompromi politik masih tetap jadi opsi terbaik dalam kondisi saat ini. Apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya sebaiknya tak dilakukan di Suriah. Penggulingan paksa hanya akan memperkeruh situasi di Suriah mengingat posisi Bashar al-Assad masih cukup kuat di tataran elite.

Hafiz al-Assad pernah membuka keran liberalisasi ekonomi (infitah) pada periode 1980-an. Upaya keterbukaan ini gagal karena dilakukan dengan sangat terkontrol. Upaya serupa dengan derajat kontrol negara atas proses keterbukaan yang lebih minim bisa dilakukan untuk meredakan ketegangan. Meningkatnya tensi kawasan jangan sampai memaksa para pihak yang bertikai di Suriah memilih jalan kekerasan yang tidak berujung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar