Kekerasan
di Suriah
Broto Wardoyo, PENGAJAR DI DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, UI
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET
2012
Gelombang Musim Semi Arab tampaknya belum
benar-benar berhenti. Tuntutan perubahan masih menggelora di Suriah, salah satu
negara kunci di kawasan Timur Tengah.
Tuntutan perubahan yang disampaikan kelompok
oposisi ditanggapi dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah. Kekerasan pun
merebak di beberapa kota. Sejauh ini sudah lebih dari 7.500 orang tewas. Hanya
saja, kekerasan dan jatuhnya korban jiwa tak serta-merta mendorong intervensi
internasional atas nama tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to
protect). Hal ini berbeda dengan di Libya beberapa waktu lalu. Tentu bukan
karena jumlah korban jiwa dianggap belum ”keterlaluan” jika hingga kini
intervensi internasional belum juga dilakukan.
Lebih Pelik
Alasan utama terletak pada riil politik yang
melekat dalam konteks Suriah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan
Libya. Ada empat dorongan mengapa kasus Suriah menjadi lebih ”pelik” untuk
diselesaikan. Pertama, keberadaan negara besar di belakang Suriah. Suriah
merupakan salah satu sekutu utama Rusia, bahkan sejak periode awal Perang
Dingin (masih dengan nama Uni Soviet). Kedekatan tampak, misalnya, jika kita
mencermati teknologi militer yang dimiliki Suriah yang sangat kental karakter
Uni Soviet/Rusia-nya.
Dukungan politik Rusia ke Suriah juga tampak
di PBB. Terakhir, awal Februari, Rusia menggunakan hak veto terhadap draf
resolusi bernomor S/2012/77 yang diusulkan beberapa negara Arab, Jerman,
Inggris, Turki, dan AS. Rusia menilai usulan resolusi tersebut tak akan membawa
hasil yang positif untuk menyelesaikan kekerasan dan memilih pendekatan
diplomasi langsung dengan rezim Bashar al-Assad.
Kedua, keberadaan kekuatan regional di
belakang Suriah. Selain kedekatan dengan Rusia, Suriah juga membangun aliansi
dengan Iran. Suriah dan Iran merupakan duet maut dalam menentang eksistensi
Israel. Kedekatan kedua negara salah satunya terlihat dalam pendirian dan
kinerja Hisbulah, kelompok Syiah anti-Israel yang berbasis di Lebanon selatan.
Suriah jadi negara penghubung Hisbulah dan Iran, termasuk menjadi jalur utama
transmisi senjata. Tak mengherankan jika kemudian ada yang berpendapat
kekacauan di Suriah saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat menekan
Iran.
Ketiga, kekuatan jejaring kelompok bersenjata
yang dimiliki rezim penguasa Suriah. Suriah dikenal sebagai frontier states
yang paling keras menentang Israel. Suriah bukan saja secara langsung
berkonfrontasi dengan Israel terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan dan
kawasan Sheeba, tetapi juga berperan penting melanggengkan konflik antara
Israel dan Lebanon.
Selain itu, Suriah juga menjadi negara di
belakang Hisbulah dan Hamas, dua kekuatan bersenjata anti-Israel yang hingga
saat ini gagal ditundukkan oleh Israel. Jejaring kelompok bersenjata yang
berafiliasi dengan Suriah ini membuat intervensi terhadap kondisi politik
domestik di Suriah akan jadi semakin rumit.
Terakhir, karakter negara intelijen. Selama
periode kepemimpinan klan Assad, Suriah dikenal sebagai negara otoriter di mana
peran intelijen dalam mengamankan rezim sangat dominan. Peran para mukhabarat,
agen-agen rahasia, dalam mengontrol beragam aspek kehidupan penduduk sedemikian
besar. Hal ini berimbas pada lemahnya kesatuan visi kelompok oposisi. Kelompok
oposisi, meski disatukan oleh kepentingan yang sama, tak dibangun oleh jejaring
yang kuat dan mapan.
Selain itu, karakter negara intelijen yang
dibangun oleh ayah-bapak Assad tidak semata memberikan keuntungan kepada klan
mereka saja, tetapi juga kelompok elite yang lain. Hingga saat tulisan ini
dibuat tak terdengar kabar pembelotan yang dilakukan tokoh-tokoh kunci
pemerintah. Artinya, gerakan perlawanan yang muncul saat ini tak mengakar di
kalangan elite. Hal ini tak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu Suriah
sebelum Hafiz al-Assad berkuasa yang penuh gejolak politik dan kudeta.
Sikap Indonesia
Keempat hal tersebut menjadikan kasus Suriah
spesial jika dibandingkan kasus-kasus pergolakan di negara Arab lain. Menghadapi
kondisi di Suriah, sikap seperti apa yang harus diambil Indonesia? Ada dua
prinsip dasar yang harus dipegang oleh Indonesia dalam masalah ini.
Pertama, harus ada konsistensi penghormatan
terhadap kedaulatan negara. Salah satu poin penting yang mendasari penolakan
Rusia atas usulan resolusi S/2012/77: Rusia tak melihat rezim Assad sebagai
salah satu sumber masalah, hal yang berbeda dengan pandangan para pengusul
resolusi. Harus ada penjelasan rasional apakah ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan yang berlangsung di Suriah beberapa tahun atau dekade
terakhir muncul semata karena rezim berkuasa? Atau, ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan itu muncul karena dorongan struktural mengingat perilaku
rezim Assad, Hafiz maupun Bashar, juga bergantung pada konflik Arab-Israel
secara keseluruhan.
Salah satu kekuatan yang membuat rezim Assad
bertahan dan mendapat dukungan elite yang kuat adalah konsistensi rezim Assad
dalam memerangi Israel. Konsistensi tersebut juga meningkatkan citra Suriah di
dunia Arab. Rezim Assad menggunakan ancaman Israel sebagai isu untuk
meningkatkan kohesivitas politik internal. Keberadaan ancaman Israel yang nyata
berkontribusi pada hadirnya relasi yang positif antara rezim dan militer. Atas
nama ancaman Israel, rezim mendapatkan dukungan dari militer dan elite lain
untuk menciptakan kontrol negara atas publik.
Pergeseran nilai yang dibawa Musim Semi Arab,
yang meletakkan keterbukaan di atas stabilitas, secara tak sengaja akan
berkontribusi pada pandangan mengenai konflik Arab-Israel. Cara pandang
berkonflik akan dapat digerus oleh pandangan transparansi dalam relasi
antarkelompok dan penekanan pada kesejahteraan publik. Secara perlahan, ini
mampu merekonstruksi relasi antara negara-negara Arab dan Israel.
Kedua, konsisten pada proses penyelesaian
secara damai. Kompromi politik masih tetap jadi opsi terbaik dalam kondisi saat
ini. Apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya sebaiknya tak dilakukan di
Suriah. Penggulingan paksa hanya akan memperkeruh situasi di Suriah mengingat
posisi Bashar al-Assad masih cukup kuat di tataran elite.
Hafiz al-Assad pernah membuka keran
liberalisasi ekonomi (infitah) pada periode 1980-an. Upaya keterbukaan ini
gagal karena dilakukan dengan sangat terkontrol. Upaya serupa dengan derajat
kontrol negara atas proses keterbukaan yang lebih minim bisa dilakukan untuk
meredakan ketegangan. Meningkatnya tensi kawasan jangan sampai memaksa para
pihak yang bertikai di Suriah memilih jalan kekerasan yang tidak berujung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar