Sabtu, 03 Maret 2012

Interpelasi Konstitusional dan Remisi Inkonstitusional


Interpelasi Konstitusional
dan Remisi Inkonstitusional
Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR RI/ANGGOTA KOMISI III DPR RI
SUMBER : SINDO, 3 MARET 2012




Ada upaya memaksa publik menerima kebijakan yang inkonstitusional dengan cara memojokkan dan mementahkan langkah konstitusional DPR menggugurkan kebijakan pengetatan remisi yang inkonstitusional.

Segala upaya untuk membodohi rakyat harus dihentikan. Oknum pemerintah diyakini berada di balik manuver sejumlah pihak yang gencar melakukan pekerjaan kotor memojokkan dan mendiskreditkan DPR. Rakyat diberi tahu bahwa DPR membela koruptor karena puluhan anggota DPR sedang dan terus menggalang penggunaan instrumen hak interpelasi DPR untuk menggugurkan kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi dan terpidana teroris.

Padahal sudah terbukti sejak awal bahwa kebijakan pengetatan remisi yang dirancang dan diberlakukan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana itu sebagai kebijakan ilegal, bahkan inkonstitusional karena menabrak peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Sebagai kebijakan, pengetatan remisi itu jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, termasuk pemberian remisi. Kalau kebijakan ini tidak dikoreksi dan ditentang,sama artinya memberi ruang kepada oknum pemerintahan untuk mempraktikkan kesewenang- wenangan.

Boleh jadi esok mereka akan seenaknya membuat kebijakan yang memungkinkan pemerintah memenjarakan seseorang hanya karena mengkritik kebijakan pemerintah. Tujuan besar reformasi Indonesia tidak akan pernah terwujud jika rakyat menerima lagi kesewenang-wenangan oknum pemerintah.Karena itu, siapa pun yang coba bertindak sewenang-wenang sekarang ini harus dilawan. Seluruh komponen rakyat tetap berambisi mewujudkan Indonesia negara hukum.

Bangsa yang mewajibkan semua instrumen negara, penyelenggara pemerintahan, penegak hukum, serta rakyat taat dan patuh pada konstitusi.Semua orang sama di muka hukum. Atas nama prinsip dan semangat itulah, puluhan anggota DPR berinisiatif menggalang penggunaan instrumen hak interpelasi DPR untuk menggugurkan kebijakan ilegal pengetatan remisi ala Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana.

Hingga akhir Februari 2012 sudah 87 anggota DPR dari tujuh fraksi yang mendukung hak interpelasi. Tujuh fraksi yang mendukung hak interpelasi itu meliputi Fraksi PPP, Golkar, PDIP, PKS, Hanura, Gerindra, dan terakhir PKB.Hanya Fraksi Demokrat dan PAN yang belum mendukung usulan hak interpelasi. Jumlah tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup sebab untuk mengajukan hak interpelasi hanya dibutuhkan minimal 25 tanda tangan anggota DPR.

Ke depan pendukung usulan ini diyakini terus bertambah karena tujuh fraksi DPR melihat persoalannya secara utuh, tidak sepotong-sepotong, tidak juga karena alasan pesan sponsor. Tudingan bahwa DPR membela koruptor tidak akan menyurutkan inisiatif ini karena tujuh fraksi terpanggil melawan kesewenang-wenangan oknum pemerintah, sekaligus menjaga dan menegakan konstitusi.

Sengaja Disalahtafsirkan

Semua tampak kacau sejak perumusan dan pemberlakuannya. Judul awalnya diguyur kritik dan kecaman karena kesalahan menggunakan kata moratorium. Denny Indrayana pun bergegas mengganti kata ‘moratorium’ dengan ‘pengetatan’. Bayangkan, makna strategis kebijakan itu diubah hanya dalam hitungan jam.

Mengacu pada fakta di atas, Komisi III DPR berkesimpulan bahwa perancang kebijakan itu amatiran. Kesan lainnya adalah kebijakan tersebut dipaksakan. Demikian rapuhnya karena tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Tidak jelas benar bagaimana para pembela kebijakan ini, terutama mereka yang menuduh DPR membela koruptor, mengartikan atau memaknai proses perumusan kebijakan yang jelas kacau balau.

Proses administrasi kebijakan ini pun serbajanggal. Prosedur dan mekanisme penetapan kebijakan jelas dikangkangi. Seakan-akan tidak ada mekanisme pengambilan keputusan pada institusi Kementerian Hukum dan HAM. Sudah terungkap di ruang publik bahwa pengetatan remisi itu diputuskan melalui telepon oleh Wamenkum HAM Denny Indrayana pada 30 Oktober 2011.

Keputusan lisan per telepon itu kemudian dituangkan ke dalam surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan yang diterbitkan pada 31 Oktober 2011. Padahal sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan (SK) Remisi Menkum HAM yang akan diberlakukan terhadap 102 terpidana koruptor dan narkotika untuk periode 28- 30 Oktober 2011.

Baru pada 16 November 2011 dimunculkan Keputusan Menkum HAM yang membatalkan SK remisi para terpidana itu. Namun, mungkin karena serba terburu-buru, kecerobohan tidak bisa dihindari. Terbukti bahwa kepmen ternyata merujuk pada PP No 32/1999. Padahal PP tersebut tak berlaku lagi karena telah digantikan dengan PP No 28/2006.

Sangatlah inkonstitusional sebuah SK menteri bisa dibatalkan hanya melalui telepon seorang wakil menteri ataupun menggunakan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan yang jelas kedudukannya lebih rendah. Anehnya lagi, keputusan tersebut berlaku mundur atau surut. SK pembatalan remisi ini otomatis melanggar hak asasi 102 narapidana karena mereka sudah melalui proses panjang seleksi, memenuhi persyaratan, dan sudah memperoleh SK remisi.

Maka itu, kendati difitnah membela koruptor,inisiatif DPR untuk menggugurkan kebijakan pengetatan remisi tak mungkin bisa dihentikan.Tujuh fraksi DPR meyakini bahwa inisiatif menggugurkan kebijakan tersebut sebagai sebuah kebenaran mutlak.Sebuah inisiatif yang tulus dan jauh dari niat membodohi atau menipu rakyat.

Kalau disikapi dengan jernih, kalimat ‘DPR Membela Koruptor’ itu jelas-jelas asal bunyi (asbun).Sebuah tuduhan yang tidak cerdas karena para pengecam usul hak interpelasi tidak punya lagi argumentasi yang relevan dengan esensi masalah.Itu adalah kerja kotor untuk menutup-nutupi kesalahan sekaligus membela oknum pemerintah yang begitu amatiran saat merumuskan kebijakan pengetatan remisi.

Mereka mendiskreditkan DPR untuk menghapus malu perumus kebijakan pengetatan remisi. Aspek lain yang juga cukup memprihatinkan khalayak adalah sikap tidak percaya diri perumus kebijakan pengetatan remisi.Setelah mengumumkan dan memberlakukan kebijakan itu, mereka justru minimalis menghadapi ancaman gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan oleh kebijakan pengetatan remisi.

Menkum HAM bahkan mengaku pasrah dan tidak akan melakukan perlawanan jika kebijakan pengetatan remisi yang dibuatnya dinyatakan kalah dalam pengadilan. Secara tidak langsung Menkum HAM telah mengakui bahwa kebijakan pengetatan remisi sangat lemah dan inkonstitusional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar