Sabtu, 24 Maret 2012

Intelektualitas di Balik Demo BBM


Intelektualitas di Balik Demo BBM
  Toto Suparto, Pengkaji Masalah Etika, Tinggal di Yogyakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 24 Maret 2012



"Ketika demo itu diwarnai kekerasan, apalagi berujung ricuh, tentu menjadi pertanyaan lain: inikah demokrasi? "


DI tengah merebaknya demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan harga BBM, tiba-tiba menyeruak pernyataan Mendikbud M Nuh yang mengimbau mahasiswa untuk mengedepankan intelektualitas dalam mengkritisi suatu kebijakan pemerintah. Menurut dia, jika ada kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat, mahasiswa harus merasa tertantang menanggapinya dengan mengedepankan intelektualitas dan membuka ruang-ruang diskusi.

Menarik digarisbawahi dari pernyataan itu adalah kosakata ”intelektualitas”. Menyimak pernyataan Menteri, seolah-olah hendak menegaskan demo mahasiswa tidak menggambarkan intelektualitas. Benarkah berunjuk rasa tidak menggambarkan intelektualitas?

Sejatinya demonstran itu diharapkan menjadi pilar intelektual. Mereka diharapkan menjadi kelompok inti pembaruan masyarakat yang bobrok.  Idealnya mereka bisa mendorong pembaruan lewat ruang publik. Demonstran bertugas mendinamiskan ruang publik. Sebagaimana ditegaskan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik ini akan memberi peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan.

Salah satu wujud ruang publik yang ada di negeri ini adalah demonstrasi. Secara harfiah demonstrasi berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (KBBI, 2001:250), dan melahirkan padanan kata unjuk rasa. Mereka ingin menunjukkan perasaannya tapi sebagian besar perasaan tak sepaham.

Tatkala ada mahasiswa menyatakan ”perasaan tak sepaham”, sesungguhnya mereka tengah menjalankan fungsi intelektual. Kita misalnya, menjalankan fungsi intelektual bilamana bersikukuh dengan hati nurani. Kita berhati nurani ketika berkesadaran moral, yakni sadar bahwa mutlak memilih yang benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat ditawar-tawar. Kalau kita tulus menjalankan fungsi intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan menempatkan hati nurani sebagai pemenang.

Bias Intelektualitas

Rasanya benar jika Vaclav Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa. Maka, bisa dikatakan demo mahasiswa yang menentang kenaikan harga BBM merupakan pengejewantahan nurani bangsa. Pendemo itu tahu memilih yang benar. Bahwa membela penderitaan rakyat adalah tindakan yang benar. Pendemo tahu —berdasarkan pengalaman sebelumnya— rakyat senantiasa menderita akibat kenaikan harga BBM.

Persoalannya kini, apa pasal Menteri Nuh sampai mengeluarkan pernyataan itu? Tafsir yang kemudian muncul adalah Mendikbud bisa jadi melihat bentuk demo terkait BBM yang belakangan terjadi selalu diwarnai kekerasan berbuntut ricuh. Di sinilah ada bias intelektualitas dimaksud. Demonstran sejati sudah barang tentu tak mau diperbudak nafsu kekerasan. Demonstran sejati menjunjung tinggi kesakralan intelektualitas, dan pada akhirnya mampu mengukur sejauh mana menggunakan kebebasannya.

Albert Camus (1974) pernah mengingatkan tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak. Kebebasan itu ada batasnya. Kebebasan seseorang telah melewati batas, alias kebablasan, ketika mulai merambah kebebasan orang lain. Boleh apa pun, menurut seseorang merupakan representasi kebebasan. Tetapi kalau itu merambah kebebasan orang lain, seumpama mengganggu kepentingan orang lain maka bukanlah kebebasan. Di sinilah sebagian pendemo belum menyadarinya.

Celakanya, banyak pendemo membangun batas tipis antara kebebasan dan ketakberadaban. Mereka tengah mempermainkan arti deskriptif dari kebebasan dan lebih menikmati arti emosionalnya sehingga tak menyadari telah melahirkan krisis kebebasan. Orang bijak sering mengingatkan bahwa kebebasan mutlak bukanlah pengukur keluhuran manusia. Kebebasan bagi manusia luhur adalah yang memberikan makna keberadaan kita sebagai manusia, kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi.

Apakah demo BBM telah memenuhi kaidah kebebasan sejati? Jawabannya bisa diberikan melalui ilustrasi berikut. Ketika ada demo BBM, pengunjuk rasa membakar ban di tengah jalan sehingga pemakai jalan lain terganggu. Adakalanya pemakai jalan terpaksa memutar atau berbalik arah. Dalam hal ini pendemo merasa bebas saja membakar ban di tengah jalan tetapi pemakai jalan lain menjadi tidak bebas menggunakan fasilitas umum itu. Kebebasan pendemo itu telah merambah kebebasan pemakai jalan. Artinya, pendemo salah menafsirkan makna kebebasan.

Manakala demo BBM menyalahi makna kebebasan sejati, saat itulah demo dianggap mengingkari fungsi intelektual. Wajar jika kemudian M Nuh merasa perlu mengimbau untuk kembali pada intelektualitas mahasiswa. Memang demo tak perlu berbuat kekerasan. Ketika demo itu diwarnai kekerasan, apalagi berujung ricuh, tentu menjadi pertanyaan lain: inikah demokrasi? Mereka yang salah dalam demo BBM merasa sudah menemukan demokrasi. Padahal kalau mau dikatakan demokrasi, sebenarnya hanya demokrasi yang terdistorsikan. Ada sesat pikir atas mempraktikkan kebebasan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar