Antipartai,
Antidemokrasi?
Sunni Tanuwidjaja, PENELITI CSIS
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012
Sentimen negatif dan ketidakpercayaan
terhadap partai politik sudah menjadi fenomena umum yang tidak hanya menjadi
tema pemberitaan media. Hari ini kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai
sudah sangat tinggi.
Menurut survei Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), Januari 2012, hanya seperlima masyarakat Indonesia yang
beranggapan bahwa kinerja parpol baik. Penilaian terhadap DPR yang anggotanya
adalah politisi dari berbagai partai juga sama buruknya.
Sentimen negatif terhadap partai juga
terindikasi dari dukungan elektoral parpol, di mana tidak ada satu pun partai
yang berhasil mempertahankan besaran dukungan yang sama dengan Pemilu 2009.
Lebih jelas lagi, ada hampir setengah dari pemilih yang hari ini bingung
menentukan partai mana yang harus mereka pilih, terlepas dari banyaknya pilihan
partai yang tersedia. Ini menunjukkan, meski demokrasi membuka ruang bagi
munculnya berbagai pilihan politik, pilihan yang tersedia dipersepsikan minim
kualitas.
Jika kita melihat hasil dari tiga pemilu
pascareformasi, dukungan terhadap partai-partai besar semakin turun dan sebaran
dukungan terhadap berbagai partai semakin merata. Misalnya, pada Pemilu 1999
dukungan terhadap sembilan partai terbesar mencapai 91,64 persen, tetapi pada
Pemilu 2009 tinggal 81,70 persen. Lebih jelas lagi, total dukungan terhadap
partai yang memperoleh suara di atas 5 persen mencapai 86,69 persen pada Pemilu
1999, tetapi turun menjadi 68,53 persen pada Pemilu 2009.
Ini berarti bahwa semakin hari masyarakat
yang kecewa terhadap partai semakin terbuka untuk mencoba memilih partai
alternatif sekalipun partai-partai tersebut tak berpeluang menang dalam pemilu.
Sejalan dengan itu, tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif yang semakin
menurun juga menunjukkan semakin melemahnya kepercayaan terhadap partai yang
adalah kontestan dari pemilu tersebut.
Sentimen negatif dan ketidakpercayaan
terhadap partai politik tentu bukan sesuatu yang muncul sekejap, melainkan
merupakan suatu proses akumulasi kekecewaan setelah kita melalui tiga kali
pemilu demokratis. Asal muasalnya adalah pada periode awal masa reformasi, di
mana partai gagal menjawab euforia demokrasi, harapan, dan tingkat kepercayaan
rakyat yang begitu tinggi terhadap partai.
Kegagalan ini berimbas pada munculnya
ketidakpercayaan terhadap partai dan membuat masyarakat semakin banyak yang
pragmatis. Rakyat yang pragmatis, seperti juga para politisi, tidak lagi
berpikir panjang. Mereka tak lagi percaya janji-janji partai.
Situasi ini akhirnya memperkuat pola perilaku
partai yang pragmatis karena hanya dengan berlaku semakin pragmatis mereka bisa
memenuhi permintaan rakyat yang semakin pragmatis pula. Siklus ini terus
berlanjut dan sejalan dengan waktu sentimen negatif terhadap partai yang
dipupuk dengan pragmatisme politik semakin menjalar dan mengakar.
Demokrasi pun Diragukan
Paralel dengan sentimen negatif terhadap
partai adalah munculnya keraguan terhadap demokrasi. Berbagai hasil studi
menunjukkan, dukungan terhadap demokrasi di awal masa reformasi sangat tinggi.
Setelah lebih dari 12 tahun reformasi, sepertinya ada penurunan dukungan
terhadap demokrasi.
Survei CSIS menunjukkan bahwa hari ini hanya setengah
dari masyarakat Indonesia yang setuju demokrasi adalah sistem politik terbaik.
Hanya 28,2 persen yang berpendapat bahwa demokrasi itu harus dipertahankan, apa
pun alasannya. Ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap demokrasi tidaklah
sekuat seperti pada awal masa reformasi.
Apakah kemudian ini berarti sentimen negatif
terhadap partai menyebabkan menurunnya dukungan terhadap demokrasi? Untuk
menjawab ini perlu dibedakan antara sikap antipartai yang reaktif dan yang
”kultural” (Torcal, Gunther, dan Montero 2002). Sikap reaktif sifatnya sangat
cair dan mudah berubah. Penyebabnya terutama pengaruh dari banyaknya perilaku
partai yang tidak konsisten dan ketidakmampuan partai dalam menjalankan
fungsinya.
Sementara itu, sikap antipartai yang kultural
lebih disebabkan proses sosialisasi dan pengalaman historis yang panjang
terkait perilaku partai yang buruk. Antipartai kategori ini sifatnya sudah
mengakar dan menjadi budaya politik. Berdasarkan studi Torcal, Gunther, dan
Montero (2002) tentang negara demokrasi di Eropa Selatan, antipartai reaktif
tidaklah berpengaruh pada legitimasi demokrasi, sementara antipartai yang
kultural punya imbas yang negatif.
Jika ditelusuri lebih lanjut, temuan survei
CSIS menunjukkan bahwa dukungan terhadap demokrasi sama tingginya (atau
rendahnya) di kalangan orang yang punya sentimen negatif ataupun positif
terhadap partai. Ini mengindikasikan, efek antipartai terhadap dukungan untuk
demokrasi tidaklah jelas. Yang justru menjadi sumber utama menurunnya dukungan
terhadap demokrasi adalah kondisi kehidupan individual. Dukungan untuk
demokrasi jauh lebih tinggi di antara orang-orang yang punya persepsi positif
terhadap kondisi kehidupannya dibandingkan dengan yang persepsinya negatif.
Ini artinya, sentimen negatif terhadap partai
yang ada sekarang masih belum jadi bagian dari budaya politik. Namun, jika
terus berlanjut dan tidak ada perubahan pada perilaku partai, sentimen negatif
terhadap partai yang hari ini masih pada taraf reaktif bisa menjadi sesuatu
yang mengakar dan menjadi bagian dari budaya politik yang ada. Jika ini
terjadi, akan muncul satu sumber baru pelemahan dan delegitimasi demokrasi
kita.
Terlepas dari adanya berbagai persoalan, kita
bersyukur karena nasib dan masa depan demokrasi di Indonesia masih ada di
tangan kita. Selain perlu ada terobosan dari pemerintah yang mendorong agar
taraf kehidupan rakyat terus meningkat, keseriusan elite politik untuk
memperbaiki kinerja partai juga jadi prasyarat. Hal lain, ada kesadaran dari
masyarakat: demokrasi bukan sekadar suatu alat, melainkan merupakan tujuan dan
punya nilai intrinsik tersendiri, yaitu kebebasan individu dan kolektif untuk
menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Jika itu semua bisa dipenuhi, nasib
dan masa depan demokrasi kita pun akan jadi cerah dan bebas dari ancaman
berbagai bentuk otoritarianisme dan totalitarianisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar