Kamis, 15 Maret 2012

Antipartai, Antidemokrasi?


Antipartai, Antidemokrasi?
Sunni Tanuwidjaja, PENELITI CSIS
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012



Sentimen negatif dan ketidakpercayaan terhadap partai politik sudah menjadi fenomena umum yang tidak hanya menjadi tema pemberitaan media. Hari ini kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai sudah sangat tinggi.

Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Januari 2012, hanya seperlima masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa kinerja parpol baik. Penilaian terhadap DPR yang anggotanya adalah politisi dari berbagai partai juga sama buruknya.

Sentimen negatif terhadap partai juga terindikasi dari dukungan elektoral parpol, di mana tidak ada satu pun partai yang berhasil mempertahankan besaran dukungan yang sama dengan Pemilu 2009. Lebih jelas lagi, ada hampir setengah dari pemilih yang hari ini bingung menentukan partai mana yang harus mereka pilih, terlepas dari banyaknya pilihan partai yang tersedia. Ini menunjukkan, meski demokrasi membuka ruang bagi munculnya berbagai pilihan politik, pilihan yang tersedia dipersepsikan minim kualitas.

Jika kita melihat hasil dari tiga pemilu pascareformasi, dukungan terhadap partai-partai besar semakin turun dan sebaran dukungan terhadap berbagai partai semakin merata. Misalnya, pada Pemilu 1999 dukungan terhadap sembilan partai terbesar mencapai 91,64 persen, tetapi pada Pemilu 2009 tinggal 81,70 persen. Lebih jelas lagi, total dukungan terhadap partai yang memperoleh suara di atas 5 persen mencapai 86,69 persen pada Pemilu 1999, tetapi turun menjadi 68,53 persen pada Pemilu 2009.

Ini berarti bahwa semakin hari masyarakat yang kecewa terhadap partai semakin terbuka untuk mencoba memilih partai alternatif sekalipun partai-partai tersebut tak berpeluang menang dalam pemilu. Sejalan dengan itu, tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif yang semakin menurun juga menunjukkan semakin melemahnya kepercayaan terhadap partai yang adalah kontestan dari pemilu tersebut.

Sentimen negatif dan ketidakpercayaan terhadap partai politik tentu bukan sesuatu yang muncul sekejap, melainkan merupakan suatu proses akumulasi kekecewaan setelah kita melalui tiga kali pemilu demokratis. Asal muasalnya adalah pada periode awal masa reformasi, di mana partai gagal menjawab euforia demokrasi, harapan, dan tingkat kepercayaan rakyat yang begitu tinggi terhadap partai.

Kegagalan ini berimbas pada munculnya ketidakpercayaan terhadap partai dan membuat masyarakat semakin banyak yang pragmatis. Rakyat yang pragmatis, seperti juga para politisi, tidak lagi berpikir panjang. Mereka tak lagi percaya janji-janji partai.

Situasi ini akhirnya memperkuat pola perilaku partai yang pragmatis karena hanya dengan berlaku semakin pragmatis mereka bisa memenuhi permintaan rakyat yang semakin pragmatis pula. Siklus ini terus berlanjut dan sejalan dengan waktu sentimen negatif terhadap partai yang dipupuk dengan pragmatisme politik semakin menjalar dan mengakar.

Demokrasi pun Diragukan

Paralel dengan sentimen negatif terhadap partai adalah munculnya keraguan terhadap demokrasi. Berbagai hasil studi menunjukkan, dukungan terhadap demokrasi di awal masa reformasi sangat tinggi. Setelah lebih dari 12 tahun reformasi, sepertinya ada penurunan dukungan terhadap demokrasi.

Survei CSIS menunjukkan bahwa hari ini hanya setengah dari masyarakat Indonesia yang setuju demokrasi adalah sistem politik terbaik. Hanya 28,2 persen yang berpendapat bahwa demokrasi itu harus dipertahankan, apa pun alasannya. Ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap demokrasi tidaklah sekuat seperti pada awal masa reformasi.

Apakah kemudian ini berarti sentimen negatif terhadap partai menyebabkan menurunnya dukungan terhadap demokrasi? Untuk menjawab ini perlu dibedakan antara sikap antipartai yang reaktif dan yang ”kultural” (Torcal, Gunther, dan Montero 2002). Sikap reaktif sifatnya sangat cair dan mudah berubah. Penyebabnya terutama pengaruh dari banyaknya perilaku partai yang tidak konsisten dan ketidakmampuan partai dalam menjalankan fungsinya.

Sementara itu, sikap antipartai yang kultural lebih disebabkan proses sosialisasi dan pengalaman historis yang panjang terkait perilaku partai yang buruk. Antipartai kategori ini sifatnya sudah mengakar dan menjadi budaya politik. Berdasarkan studi Torcal, Gunther, dan Montero (2002) tentang negara demokrasi di Eropa Selatan, antipartai reaktif tidaklah berpengaruh pada legitimasi demokrasi, sementara antipartai yang kultural punya imbas yang negatif.

Jika ditelusuri lebih lanjut, temuan survei CSIS menunjukkan bahwa dukungan terhadap demokrasi sama tingginya (atau rendahnya) di kalangan orang yang punya sentimen negatif ataupun positif terhadap partai. Ini mengindikasikan, efek antipartai terhadap dukungan untuk demokrasi tidaklah jelas. Yang justru menjadi sumber utama menurunnya dukungan terhadap demokrasi adalah kondisi kehidupan individual. Dukungan untuk demokrasi jauh lebih tinggi di antara orang-orang yang punya persepsi positif terhadap kondisi kehidupannya dibandingkan dengan yang persepsinya negatif.

Ini artinya, sentimen negatif terhadap partai yang ada sekarang masih belum jadi bagian dari budaya politik. Namun, jika terus berlanjut dan tidak ada perubahan pada perilaku partai, sentimen negatif terhadap partai yang hari ini masih pada taraf reaktif bisa menjadi sesuatu yang mengakar dan menjadi bagian dari budaya politik yang ada. Jika ini terjadi, akan muncul satu sumber baru pelemahan dan delegitimasi demokrasi kita.

Terlepas dari adanya berbagai persoalan, kita bersyukur karena nasib dan masa depan demokrasi di Indonesia masih ada di tangan kita. Selain perlu ada terobosan dari pemerintah yang mendorong agar taraf kehidupan rakyat terus meningkat, keseriusan elite politik untuk memperbaiki kinerja partai juga jadi prasyarat. Hal lain, ada kesadaran dari masyarakat: demokrasi bukan sekadar suatu alat, melainkan merupakan tujuan dan punya nilai intrinsik tersendiri, yaitu kebebasan individu dan kolektif untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Jika itu semua bisa dipenuhi, nasib dan masa depan demokrasi kita pun akan jadi cerah dan bebas dari ancaman berbagai bentuk otoritarianisme dan totalitarianisme. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar