Selasa, 20 Maret 2012

Garong di Negeri Wirata


Garong di Negeri Wirata
Y Sudarko Prawiroyudo, PENGAMAT WAYANG,
WAKIL KETUA DEWAN KEBIJAKAN WAYANG INDONESIA
SUMBER : SUARA KARYA, 20 Maret 2012



Maraknya kasus korupsi di Indonesia mengingatkan pada kondisi serupa di Negeri Wirata dalam ephos Mahabharata. Hampir setahun senyum canda ria wajah Prabu Matswapati raib dan aroma kebijakannya seakan luruh. Suasana serba salah pun melingkupi ke seluruh pelosok negeri akibat sepak terjang garong-garong Wirata yang tak tahu diri.

Hal ini terjadi karena kepemimpinan politik tak mampu mewadahi kepercayaam (trust) publik. Akibatnya, garong-garong birokrasi yang dituntun tiga adik ipar Prabu Matswapati, yakni Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala kian merajalela. Pada saat itulah, puting beliung mulai menggayut. Ketiga pangeran berupaya menusuk dari belakang kekuasaan sah. Mereka ingin melakukan kudeta secara halus dengan cara menggelar event adu jago seperti termaktub dalam cerita Rajamala.

Sebagai Kepala Polisi dan Panglima Tentara Nasional Wirata, seharusnya Raden Kencakarupa bersyukur, bahwa sejak hampir setahun Dwijakangka menjadi lurah pasar, pendapatan negerinya menjadi berlipat. Tapi, karena nafsu loba memberangus hati, dia memilih menjadi garong dibandingkan pelindung.

Di zaman reformasi sekarang ini, garong-garong birokrasi juga terus beraksi. Meski terpampang motto 'katakan tidak pada korupsi', kenyataannya garong-garong justru marak dan kian menggurita. Setidaknya hal ini bisa diunduh dari laporan PPATK bahwa terdapat 707 rekening mencurigakan milik PNS, terdiri-dari 233 milik PNS usia di bawah 45 tahun dan 474 milik PNS berusia di atas 45 tahun. Sedangkan rekening mencurigakan milik anggota Polri berjumlah 89 rekening, kalangan jaksa (12), hakim (17), KPK (1), dan kalangan anggota legislatif (65).

Barangkali, seperti Kencakarupa yang mencoba menggarong uang rakyat, Dhana Widyatmika pun disangka melakukan hal yang sama. Pegawai Dinas Pajak DKI Jakarta golongan IIIC ini diketahui memiliki kekayaan tak lumrah, sekitar 60 miliar rupiah. Ia pun telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang setelah PPATK menyerahkan hasil temuannya ke Kejaksaan Agung.

Serumpun dengan Kencakarupa yang sama-sama terjelma dari pecahan perahu milik Dewi Lara Amis, Raden Rupakenca adalah garong yang lobanya minta ampun. Dengan lebel adik Permaisuri Ratu Gung Bhinathara, dia beroleh wewenang mengatur keluar masuknya harta negara. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, dia keruk uang rakyat untuk membiayai junta. Edan tenan.

Di alam nyata sekarang ini, susah menyamakan sosok Rupakenca dengan sosok Gayus HP Tambunan, walau sama garongnya. Serumpun dengan Dhana, yang sama-sama keluaran STAN, dan sama-sama bekerja di Ditjen Pajak, Gayus juga terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Kali ini rakyat boleh manggut-manggut.

Atas vonis tiga perkara, pemalsuan paspor, penggelapan pajak, dan penyuapan, Gayus tidak hanya dihukum penjara, tetapi juga dimiskinkan sekaligus. Seluruh harta yang terkait dengan perkara itu disita oleh negara. Menurut Jaksa Edi Rakamto, total uang yang disita mencapai Rp 74 miliar dan telah dititipkan di Bank Indonesia. Pokoknya semua harta dan aset yang terkait kasus Gayus disita oleh negara. Majelis hakim juga memerintahkan agar mobil Honda Jazz, Ford Everest, rumah di Gading Park View, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan 31 batangan emas disita untuk negara. Baguuus.

Sementara tokoh Sudamala yang memiliki dasar mental garong malah membuat onar dengan menantang Sang Nata untuk adu jago dengan taruhan Negeri Wirata. Saat ini arena 'adu jago' juga digelar Nazaruddin. Tersangka kasus Wisma Atlet ini tampaknya ingin mengobrak-abrik bangunan politik Orde Reformasi. Kelihatannya sih hanya Rp 3,5 miliar, tapi getaran politiknya membuat pemerintah, Partai Demokrat, PDIP, dan PKB meriang berkepanjangan. Di lingkungan Demokrat, nama Pak Beye (Presiden SBY) juga disinggungnya, untuk memberikan alibi bahwa pelariannya ke luar negeri seakan sudah memperoleh restu.

Melalui mantan pengacara Mindo Rosa Manulang, Ahmad Rivai, ada satu atau dua menteri Kabinet Pak Beye diisukan 'memeras' dua proyek yang sedang dikerjakan Mindo. Wah, kalau begini admosfernya, bisa-bisa pemerintahan Pak Beye tertelikung, walau di lingkungan oposisi, PDIP, nama I Wayan Koster juga disebut-sebut Nazar sebagai penerima dana.

Penyakit korup memang sudah ada sejak Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi. Kini, korupsi bahkan telah sedemikian beranak-pinak hingga mudah menular ke generasi muda. Dengan melihat transaksi mencurigakan yang ada saat ini, terindikasi 630 PNS muda usia melakukan korupsi. Memang, ada kesan korupsi tak menumbuhkan rasa bersalah, apalagi malu bagi pelakunya. Itulah barangkali mengapa tak terhitung lagi, berapa orang di struktur kekuasaan, yang cenderung korupsi.

Menghadapi kasus korupsi yang sudah edan-edanan, mobilisasi umum melawan korupsi harus digelar secara gegap gempita. Iklan 'katakan tidak pada korupsi' sudah tak laku, bahkan membuat rakyat menjadi gemes dan muak. Gara-gara iklan itu, pernyataan Presiden SBY mendukung vonis yang memiskinkan pelaku korupsi, diencepi (ditanggapi sinis) masyarakat. Masalahnya, rakyat ingin tindakan nyata, terukur, bahkan yang vivere veri coloso (nyerempet-nyerempet bahaya).

Oleh sebab itu, kalau Presiden SBY benar-benar serius ingin memberantas korupsi, cobalah tantang anggota DPR, kader partai atau siapa saja yang tak setuju pengetatan remisi bagi koruptor. Mereka itu sebenarnya lebih memihak dirinya atau memihak koruptor alias para garong?

Khusus kepada KPK, beri waktu sampai 31 Desember 2012 untuk menuntaskan kasus Wisma Atlet, Hambalang, suap pemilihan Deputi Gubernur BI. Instruksikan kepada pimpinan KPK untuk tidak takut melawan garong-garong busuk karena dirinya selalu berada di belakang lembaga pemberantasan korupsi itu. Presiden SBY perlu menjamin perlindungan lembaga ini dari provokasi para koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar