Mewaspadai
Demokrasi Threadmill
Umbu T.W. Pariangu, DOSEN FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA (UNDANA), KUPANG
SUMBER : JAWA POS, 22 Maret 2012
KITA
menyesalkan tindakan enam mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jawa Barat yang merusak bingkai foto Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di Gedung Nusantara III DPR/MPR, Jakarta, terkait aksi
penolakan terhadap rencana kenaikan harga BBM 1 April nanti. Gerakan itu
diprotes sejumlah kalangan, terutama politisi DPR yang menginginkan segala
bentuk protes dan ketidakpuasan sejatinya disuarakan dengan tidak menyimpang
dari koridor demokrasi.
Sebelumnya, kita dikejutkan aksi aktivis LSM Deddy Sugarda yang menyerang jaksa Sistoyo dengan senjata tajam seusai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat (28/2/2012). Sugarda menilai otoritas dan wibawa institusi hukum kian meredup karena tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi rakyat.
Dua fenomena di atas dikecam dari segi etika demokrasi, karena kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi modern menuntut pergeseran pembiasaan (habituation) dari "revolusi fisik" kepada "revolusi mental" yang menihilkan justifikasi kekerasan dan anarkisme saat menyampaikan pendapat. Namun, dari aspek kontemplatif hal di atas sesungguhnya perlu dijadikan cermin bahwa rakyat punya "kemewahan cara" tersendiri untuk mengekspresikan berbagai kekecewaannya atas kebijakan dan banalitas korup petinggi bangsa maupun para aparat hukum yang menelikungi nurani rakyat selama ini.
Kebohongan
Jujur, kesabaran publik tinggal secuil karena ulah para pendekar hukum yang sangat "welas asih" terhadap perbuatan laknat korupsi elite-elite kita. Pengadilan terkesan cuma sandiwara akrobatik yang memfasilitasi hadirnya layar raksasa kebohongan yang diperagakan begitu cantik dan rupawan oleh pemuka partai, wakil rakyat, dan oknum menteri. Sandiwara yang memuakkan penuh noktah ini -seperti yang dilakukan Angelina- ditonton berjuta-juta rakyat di tanah air dengan dendam membara.
Jelas, nurani di negeri ini sudah terendam dalam air raksa kekuasaan. Institusi kekuasaan yang antinurani, bahkan segala yang namanya keadilan, kejujuran, akal sehat sudah lama, meminjam Goenawan Mohamad, "ditrivialisasi" (diremehkan) oleh kekuasaan berbasis uang dan popularitas penuh degil. Karena itu, ingar bingar euforia korupsi yang mengeram dalam tubuh partai, legislatif, maupun kementerian hari-hari ini setidaknya membuktikan tesis Huntington (1991) bahwa perjalanan demokrasi di negara ketiga, khususnya di Indonesia, masih diliputi proses minimalis disertai cacat bawaan karakter: institusionalisasi korupsi yang didukung lembaga penjaga moral-peradaban. Percuma kita "diberkahi" prestasi pertumbuhan ekonomi mengagumkan jika roh keadilan melayang jauh meninggalkan "jasmani" negeri ini.
Sejauh ini demokrasi yang kita resapi masih dalam kadar memelototi pencapaian instrumen, pranata tanpa roh kompetensi yang mampu menggerakkan perubahan demokrasi substansial untuk menegasi penyakit kemiskinan, penggangguran, dan berbagai instabilitas sosial akut. Bagaimana demokrasi substantif bisa tegak ketika harga kemanusiaan, solidaritas, dan sepenanggungan melorot dalam neraca pemerintahan? Memang demokrasi bukanlah kata ajaib yang sekali terucap, seribu persoalan teratasi seketika. Demokrasi selalu mengajarkan empati dan kebajikan bagi manusia individu maupun sebagai bangsa agar keadilan dan prinsip humanitas dipertahankan keutuhannya dengan proses yang tekun dan bertanggung jawab (Diamond, 2004).
Kasus Dhana dan Gayus yang mendayus keadilan, atau Nazaruddin dengan sengkarut proyek keserakahannya menunjukkan dengan tegas adanya adegan demokrasi penuh dagelan di "negeri hukum" yang labil ini. Suatu opera sabun penuh kepicikan yang diperagakan birokrat dan politisi makelar yang memelorotkan harkat dan nasionalisme bangsa.
Mochtar Loebis pernah bilang, salah satu budaya kronis manusia Indonesia yakni terlampau suka berwacana daripada menjiwai etos-kerja. Sisi produktivitas diabaikan seraya bertekun pada hal-hal (janji/propaganda) yang serba menggempita di kulit luar. Berantas korupsi, reformasi peradilan, dan birokrasi hanya komoditas kekuasaan, dan selama praktik pencitraan politik tenung ini tak menawarkan aksi konkret yang menawan seperti ditunjukkan Dalia Grybauskaite yang merelakan separo gaji presidennya untuk mengatasi krisis moneter di Lithuania, demokrasi kita cuma basa-basi.
Rivalitas politik, baik antarpartai maupun kandidat, menyongsong Pemilu 2014 boleh dikatakan masih merepetisi dekade pertarungan politik nihil nilai. "Kawan" dan "lawan" tak tersinergikan oleh budaya politik berkualitas berkontribusi besar demi penyelesaian persoalan rakyat. Rivalitas selalu berarti seteru yang mesti dieliminasi. Bukan sebagai penguat adab kompetisi yang mendidik, mencerahkan, dan membangun aliansi konstruktif demi keluhuran bersama.
Kalau dulu Mohammad Hatta dan Soekarno berbeda dalam ideologi kemaslahatan ekonomi dan politik yang berujung pengunduran diri Hatta dengan tegak kepala, kini pengunduran diri dan gejala serupa tidak terlihat di elite-elite kita sebagai wujud eleganitas diri.
Demokrasi Treadmill
Dimitri A. Sotiropoulos (2006), profesor politik dari Universitas Athena, pernah mengingatkan, titisan kegagalan mempraktikkan demokrasi sedikit tidaknya terletak pada ketidakmampuan negara mengatasi persoalan lama, sekaligus memahami tantangan baru. Sebagai bangsa yang melakukan lompatan demokrasi lewat pemilu langsung presiden, mestinya deteriorisasi demokrasi politik seperti: oportunisme, hipokritas, fanatisme buta, tidak berjiwa besar menerima keputusan hukum dan politik, harus diakhiri, terlebih jika tersangkut kejahatan korupsi yang mencederai perasaan publik.
Para pejabat mestinya mundur dari jabatannya karena tuntutan pengadilan etika. Kalaupun ada perbedaan soal cara pandang atau kepentingan pribadi, mestinya sebagai negarawan andal dia harus mampu mengalahkannya dengan akal sehat demokrasi yang berorientasikan nilai politik sejati.
Pengunduran diri memang bukan solusi akhir persoalan kekuasaan. Tetapi, sikap ini mencerminkan bahwa elite politik kita memiliki standar nilai politik untuk bersikap sensitif, bertanggung jawab, dan mengakui setiap kesalahannya seminimal apa pun, yang menimbulkan keresahan dan kerugian bagi kepentingan publik. ●
Sebelumnya, kita dikejutkan aksi aktivis LSM Deddy Sugarda yang menyerang jaksa Sistoyo dengan senjata tajam seusai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat (28/2/2012). Sugarda menilai otoritas dan wibawa institusi hukum kian meredup karena tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi rakyat.
Dua fenomena di atas dikecam dari segi etika demokrasi, karena kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi modern menuntut pergeseran pembiasaan (habituation) dari "revolusi fisik" kepada "revolusi mental" yang menihilkan justifikasi kekerasan dan anarkisme saat menyampaikan pendapat. Namun, dari aspek kontemplatif hal di atas sesungguhnya perlu dijadikan cermin bahwa rakyat punya "kemewahan cara" tersendiri untuk mengekspresikan berbagai kekecewaannya atas kebijakan dan banalitas korup petinggi bangsa maupun para aparat hukum yang menelikungi nurani rakyat selama ini.
Kebohongan
Jujur, kesabaran publik tinggal secuil karena ulah para pendekar hukum yang sangat "welas asih" terhadap perbuatan laknat korupsi elite-elite kita. Pengadilan terkesan cuma sandiwara akrobatik yang memfasilitasi hadirnya layar raksasa kebohongan yang diperagakan begitu cantik dan rupawan oleh pemuka partai, wakil rakyat, dan oknum menteri. Sandiwara yang memuakkan penuh noktah ini -seperti yang dilakukan Angelina- ditonton berjuta-juta rakyat di tanah air dengan dendam membara.
Jelas, nurani di negeri ini sudah terendam dalam air raksa kekuasaan. Institusi kekuasaan yang antinurani, bahkan segala yang namanya keadilan, kejujuran, akal sehat sudah lama, meminjam Goenawan Mohamad, "ditrivialisasi" (diremehkan) oleh kekuasaan berbasis uang dan popularitas penuh degil. Karena itu, ingar bingar euforia korupsi yang mengeram dalam tubuh partai, legislatif, maupun kementerian hari-hari ini setidaknya membuktikan tesis Huntington (1991) bahwa perjalanan demokrasi di negara ketiga, khususnya di Indonesia, masih diliputi proses minimalis disertai cacat bawaan karakter: institusionalisasi korupsi yang didukung lembaga penjaga moral-peradaban. Percuma kita "diberkahi" prestasi pertumbuhan ekonomi mengagumkan jika roh keadilan melayang jauh meninggalkan "jasmani" negeri ini.
Sejauh ini demokrasi yang kita resapi masih dalam kadar memelototi pencapaian instrumen, pranata tanpa roh kompetensi yang mampu menggerakkan perubahan demokrasi substansial untuk menegasi penyakit kemiskinan, penggangguran, dan berbagai instabilitas sosial akut. Bagaimana demokrasi substantif bisa tegak ketika harga kemanusiaan, solidaritas, dan sepenanggungan melorot dalam neraca pemerintahan? Memang demokrasi bukanlah kata ajaib yang sekali terucap, seribu persoalan teratasi seketika. Demokrasi selalu mengajarkan empati dan kebajikan bagi manusia individu maupun sebagai bangsa agar keadilan dan prinsip humanitas dipertahankan keutuhannya dengan proses yang tekun dan bertanggung jawab (Diamond, 2004).
Kasus Dhana dan Gayus yang mendayus keadilan, atau Nazaruddin dengan sengkarut proyek keserakahannya menunjukkan dengan tegas adanya adegan demokrasi penuh dagelan di "negeri hukum" yang labil ini. Suatu opera sabun penuh kepicikan yang diperagakan birokrat dan politisi makelar yang memelorotkan harkat dan nasionalisme bangsa.
Mochtar Loebis pernah bilang, salah satu budaya kronis manusia Indonesia yakni terlampau suka berwacana daripada menjiwai etos-kerja. Sisi produktivitas diabaikan seraya bertekun pada hal-hal (janji/propaganda) yang serba menggempita di kulit luar. Berantas korupsi, reformasi peradilan, dan birokrasi hanya komoditas kekuasaan, dan selama praktik pencitraan politik tenung ini tak menawarkan aksi konkret yang menawan seperti ditunjukkan Dalia Grybauskaite yang merelakan separo gaji presidennya untuk mengatasi krisis moneter di Lithuania, demokrasi kita cuma basa-basi.
Rivalitas politik, baik antarpartai maupun kandidat, menyongsong Pemilu 2014 boleh dikatakan masih merepetisi dekade pertarungan politik nihil nilai. "Kawan" dan "lawan" tak tersinergikan oleh budaya politik berkualitas berkontribusi besar demi penyelesaian persoalan rakyat. Rivalitas selalu berarti seteru yang mesti dieliminasi. Bukan sebagai penguat adab kompetisi yang mendidik, mencerahkan, dan membangun aliansi konstruktif demi keluhuran bersama.
Kalau dulu Mohammad Hatta dan Soekarno berbeda dalam ideologi kemaslahatan ekonomi dan politik yang berujung pengunduran diri Hatta dengan tegak kepala, kini pengunduran diri dan gejala serupa tidak terlihat di elite-elite kita sebagai wujud eleganitas diri.
Demokrasi Treadmill
Dimitri A. Sotiropoulos (2006), profesor politik dari Universitas Athena, pernah mengingatkan, titisan kegagalan mempraktikkan demokrasi sedikit tidaknya terletak pada ketidakmampuan negara mengatasi persoalan lama, sekaligus memahami tantangan baru. Sebagai bangsa yang melakukan lompatan demokrasi lewat pemilu langsung presiden, mestinya deteriorisasi demokrasi politik seperti: oportunisme, hipokritas, fanatisme buta, tidak berjiwa besar menerima keputusan hukum dan politik, harus diakhiri, terlebih jika tersangkut kejahatan korupsi yang mencederai perasaan publik.
Para pejabat mestinya mundur dari jabatannya karena tuntutan pengadilan etika. Kalaupun ada perbedaan soal cara pandang atau kepentingan pribadi, mestinya sebagai negarawan andal dia harus mampu mengalahkannya dengan akal sehat demokrasi yang berorientasikan nilai politik sejati.
Pengunduran diri memang bukan solusi akhir persoalan kekuasaan. Tetapi, sikap ini mencerminkan bahwa elite politik kita memiliki standar nilai politik untuk bersikap sensitif, bertanggung jawab, dan mengakui setiap kesalahannya seminimal apa pun, yang menimbulkan keresahan dan kerugian bagi kepentingan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar