Selasa, 13 Maret 2012

Merumuskan Kembali Road Map Sektor Energi


Merumuskan Kembali Road Map Sektor Energi
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN
SUMBER : KORAN TEMPO, 12 Maret 2012



Minyak bumi sudah tidak bisa lagi dijadikan primadona bagi perekonomian. Hal ini terjadi bukan hanya karena kini Indonesia telah menjadi pengimpor neto minyak, tapi yang lebih mencengangkan, cadangan minyak sudah dalam kondisi kritis. Cadangan minyak kita pun kian menipis. Apabila tidak ditemukan sumur minyak baru, cadangan minyak Indonesia diperkirakan akan habis dalam 12 tahun. Ini artinya krisis energi tinggal menunggu waktu.

Salah satu penyebab habisnya cadangan minyak Indonesia adalah tingkat pengurasan cadangan minyak yang mencapai delapan kali lebih tinggi daripada laju pengurasan di negara penghasil minyak dunia, seperti Arab Saudi dan Libya. Dengan cadangan minyak berkisar 4 miliar barel, Indonesia memproduksi minyak rata-rata 1 juta barel per hari (bph). Dengan demikian, reserves-to-production ratio (RPR) Indonesia di angka 4. 
Sementara itu, cadangan minyak Arab Saudi 265 miliar barel, hanya memproduksi minyak 8 juta bph atau tingkat RPR-nya 35. Libya dengan cadangan minyak 46 miliar barel produksi minyaknya hanya mencapai 1,5 juta bph, atau tingkat RPR sebesar 30.

Saat ini harga minyak mentah Brent di London sudah mencapai US$ 122,9 per barel, sedangkan harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai US$ 115 per barel, jauh di atas asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, yang ditetapkan US$ 90 per barel. Seiring dengan naiknya harga minyak di pasar dunia, pemerintah memang menikmati rezeki dalam bentuk peningkatan penerimaan negara dari minyak. Namun, di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia juga menimbulkan masalah karena meningkatnya subsidi energi.

Posisi perminyakan Indonesia yang sudah menjadi pengimpor neto menyebabkan kenaikan harga minyak dunia lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Artinya, tambahan penerimaan negara akan tergerus habis untuk menambah alokasi subsidi energi. Itu sebabnya, kini pemerintah tengah pusing menghadapi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Di satu sisi, kalau harga BBM tidak dinaikkan, keuangan negara akan jebol. Namun, di sisi lain, rencana penaikan harga BBM dan TDL akan menyengsarakan rakyat, terutama lapisan bawah.

Road Map

Indonesia tak mungkin lagi mengandalkan minyak, tapi faktanya ketergantungan pada BBM semakin besar. Akibatnya, pada saat harga minyak cenderung meningkat, subsidi membengkak. Kondisi ini diperparah oleh adanya penggunaan energi yang sangat boros dan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Ujung-ujungnya, hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Apabila kondisi buruk terjadi, akan sulit memperbaikinya.

Indonesia memiliki berbagai jenis sumber energi, tapi potensinya tidak banyak dibanding cadangan dunia. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi, dihitung sejak 2005, cadangan gas akan habis dalam 62 tahun, sedangkan untuk batu bara akan habis dalam 146 tahun. Seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk, penggunaan BBM meningkat pesat, terutama untuk transportasi, maka cadangan tersebut ada kemungkinan akan habis lebih cepat.

Apabila data cadangan minyak dapat dipercaya bahwa dalam 12 tahun akan habis, dari sekarang pemerintah sudah harus menggenjot penggunaan energi alternatif, khususnya energi baru terbarukan. Apabila pemerintah bersikap cuek, tidak mengubah haluan dalam kebijakan energi, dikhawatirkan Indonesia akan menghadapi keterpurukan dalam sektor energi yang akan berdampak besar pada kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan di masa mendatang.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki road map pemanfaatan energi baru terbarukan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam keppres itu disebutkan bahwa pada 2025 ditargetkan konsumsi energi yang digunakan di Indonesia, 30 persen menggunakan gas alam, 33 persen menggunakan batu bara, 20 persen menggunakan minyak bumi, 5 persen menggunakan MU (biodiesel dan bioetanol), 5 persen panas bumi, 5 persen air, dan sisanya sumber energi lainnya. Namun hingga kini realisasinya masih sangat kecil, bahkan 95 persen energi yang digunakan masih berbahan bakar fosil.

Sementara itu, dalam road map konversi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) hingga kini masih terbatas pada action semata. Kebijakan konversi BBM ke BBG belum berjalan dengan mulus, bahkan dapat dikatakan gagal. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya sistem kontrol, sosialisasi, tempat pengaduan, standardisasi kualitas, dan standard operation procedure di stasiun pengisian bahan bakar umum serta jaminan keamanan penggunaan BBG.

Menghadapi kondisi di atas, pemerintah perlu memperbarui road map yang ada, setidaknya sampai lima tahun mendatang. Pemerintah perlu memetakan kembali ketahanan energi yang ada sekarang ini, apa yang akan dicapai dalam jangka menengah, dan tantangan yang dihadapi dalam jangka menengah. Dengan demikian, pemerintah dapat merumuskan kebijakan apa yang harus ditempuh untuk mewujudkan penyediaan energi yang berkelanjutan (energy sustainability).

Problematik utama pengembangan energi baru terbarukan adalah masih mahalnya harga energi ini dibanding energi fosil. Untuk itu, pemerintah perlu pula memetakan kembali kebijakan fiskal apa saja yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyediaan energi yang berkelanjutan. Tujuannya agar adanya selisih harga energi baru terbarukan dan energi fosil dapat terjembatani. Karena itu, pemerintah juga merencanakan penerapan subsidi (green subsidy), fasilitas bantuan pinjaman finansial yang murah melalui bank lokal bagi pelaksanaan efisiensi energi untuk badan usaha dan masyarakat.

Masa ketergantungan pada minyak akan segera habis. Untuk itu, road map ini nantinya harus dijalankan dengan baik, dan diawasi dengan baik. Apabila pemerintah gagal, risiko yang dihadapi Indonesia sangat besar, bukan hanya masalah ekonomi dan lingkungan, tapi juga sosial dan politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar