BLSM,
Obat Mujarab Pengentas Kemiskinan?
Joko Riyanto, KOORDINATOR
RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 Maret 2012
Pemerintah agaknya tidak melihat pilihan
lain. Disadari, opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak populer dan
akan membawa dampak luas secara sosial, politik, dan ekonomi. Kenaikan harga
BBM bersubsidi sudah jelas menyebabkan angka inflasi naik.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6
persen. Sementara itu, menurut analisis BNP Paribas, kenaikan harga BBM akan
menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6,5 persen.
Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli
masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak
450.000, berdasarkan perhitungan Menko Kesra.
Mengantisipasi kekhawatiran tersebut,
pemerintah memang sudah menskenariokan pemberian Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan, dimulai ketika kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan 1 April mendatang.
Nilai BLSM tahun ini direncanakan Rp 25
triliun dan diberikan kepada keluarga sasaran selama sembilan bulan. Kebijakan
BLSM mengingatkan kita pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketika
kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008.
Pada 2005, ketika harga BBM dua kali
dinaikkan, sebesar 29 persen dan 126 persen, BLT disalurkan kepada 19,1 juta
keluarga. Jumlah penerima BLT hanya turun tipis menjadi 19,02 juta keluarga
pada 2008 saat harga BBM dinaikkan 33,3 persen. Tahun ini, penerima BLSM
diperkirakan 18,5 juta keluarga.
Pertanyaannya, apakah BLSM sudah cukup? Tentu
saja belum. Bahkan, BLSM pun diragukan efektivitasnya. Apakah pemberian tunai
ini menjadi obat mujarab untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan? Apakah BLSM
ini akan terdistribusikan secara baik?
Yang jelas, BLSM ini tidak mendewasakan
masyarakat. Masyarakat dididik untuk menerima jatah, dididik menjadi peminta.
BLSM bagaikan balsam yang “hanya” memberi rasa hangat sementara tetapi tidak
mengobati rasa sakit yang diderita. Bahkan, bisa-bisa malah rasa sakit akan
makin parah.
Dari sisi penyaluran, pemerintah mesti
berkaca pada pengalaman sebelumnya, di mana banyak terjadi kericuhan dalam
pembagian. Bahkan, ada yang sampai meninggal karena tergencet orang-orang yang
berebut antrean.
Masalah distribusi yang tidak merata juga
menjadi kendala (dua keluarga bersebelahan, sama miskinnya, satu dapat, satunya
tidak). Bahkan, ada dana yang dimakan aparat.
Data soal keluarga miskin untuk pembagian
BLSM juga sangat riskan. Ini terutama dalam menentukan siapa yang berhak
menerima dana BLSM dengan kategori miskin.
Pengalaman saat pembagian dana BLT
pada 2005 dan 2008, banyak daerah yang menolak BLT.
Bukan saja di tingkat kabupaten atau kota,
lurah-lurah hingga Ketua RT pun menolak BLT. Alasannya, mereka trauma dengan
pembagian BLT yang memunculkan keresahan dan kericuhan. Bahkan, ada rumah
aparat desa yang dihancurkan gara-gara pembagian kartu tidak merata.
Program pemberian uang tunai semacam ini
tampaknya memang bagus, yakni langsung menyentuh kebutuhan hidup masyarakat
miskin sehari-hari. Namun, yang dibutuhkan masyarakat miskin sesungguhnya bukan
pemberian/bantuan kompensasi dalam bentuk uang tunai yang cenderung langsung
habis untuk kegiatan konsumtif.
Mekanisme semacam ini tidak pernah mendidik
orang untuk maju, kreatif, mandiri, dan inovatif. Bentuk bantuan semacam ini
justru membuat orang terlena, terbelenggu, dan terninabobokan dengan situasi
yang karitatif, sehingga bermental “pengemis” dan memunculkan sindrom
ketergantungan akut.
Jangan beri ikan, namun berilah kail (pancing),
adalah petuah kuno yang sangat kuat pesannya, namun relevan untuk diaplikasikan
pada konteks program kompensasi BBM. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya
tidak hanya bertindak bagai sinterklas yang sekadar bagi-bagi hadiah (uang),
yang hanya bersifat sementara (jangka pendek) dan karitatif.
Fakta menarik dari Amerika Serikat. Negara
adidaya itu akhirnya membatalkan subsidi tunai yang akan diberikan. Pasca-topan
Katrina, FEMA (Federal Emergency Management Agency), bekerja sama dengan Palang
Merah AS, membagikan kartu debit sebesar US$ 2.000 kepada korban.
Program ini akhirnya dihentikan pada 11
September yang lalu karena dinilai tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang
terfokus pada pembangunan kembali, ditambah terjadinya penyimpangan dana, korupsi,
abuse dan red tape, juga dipersulitnya koridor birokrasi.
Dengan memberikan dana tunai tanpa program
pemberdayaan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan “candu kemiskinan”
kepada masyarakat miskin dan hampir miskin. BLSM juga bukan obat mujarab
mengentaskan kemiskinan.
Walau penduduk miskin diklaim tinggal 12,49
persen dengan 30,02 juta jiwa pada 2011, faktanya penerima raskin mencapai 70
juta jiwa dan peserta Jamkesmas 76,4 juta jiwa. Secara nyata angka kemiskinan
tetap tinggi.
Angka itu terkesan turun, karena kriteria
pengeluaran rumah tangga miskin hanya Rp 5.000 per hari, bukan Rp 8.500 per
hari, sebagaimana patokan Bank Dunia. Program-program instan kemiskinan hanya
menguntungkan politik pencitraan, bukan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
sesungguhnya.
Pemerintah semestinya harus mulai memikirkan
untuk memberikan bantuan kepada rakyat miskin dalam bentuk program jangka
panjang, yang menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi
masyarakat miskin.
Program ini tentunya tidak sekadar kosmetik
atau pemanis penampilan (pemerintah) semata untuk menutup berbagai kekurangan
di mata rakyatnya, namun sebuah program benar-benar solutif, yang memberikan
jalan keluar dari persoalan yang sekian lama mengimpit masyarakat
miskin-marginal, yang bisa memberdayakan masyarakat untuk keluar dari
kemiskinan akut dan sistemik.
Dalam konteks semacam ini, pemerintah
ditantang mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat juga
perlu diberi kail, berupa proyek-proyek padat karya, pembinaan usaha kecil
menengah, pemberian modal usaha, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah
merestrukturisasi alokasi subsidi dengan melihat solusi permasalahan dari
jangka panjang.
Hanya dengan cara semacam ini, angka
kemiskinan yang demikian tingginya akan dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga
akan ada parade musik yang lagu yang melantunkan bait: sayonara kemiskinan dan
selamat datang masyarakat yang sejahtera. Bukankah itu dambaan dan impian kita
bersama belakangan ini? ●
Joko Riyanto, KOORDINATOR
RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 Maret 2012
Pemerintah agaknya tidak melihat pilihan
lain. Disadari, opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak populer dan
akan membawa dampak luas secara sosial, politik, dan ekonomi. Kenaikan harga
BBM bersubsidi sudah jelas menyebabkan angka inflasi naik.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6
persen. Sementara itu, menurut analisis BNP Paribas, kenaikan harga BBM akan
menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6,5 persen.
Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli
masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak
450.000, berdasarkan perhitungan Menko Kesra.
Mengantisipasi kekhawatiran tersebut,
pemerintah memang sudah menskenariokan pemberian Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan, dimulai ketika kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan 1 April mendatang.
Nilai BLSM tahun ini direncanakan Rp 25
triliun dan diberikan kepada keluarga sasaran selama sembilan bulan. Kebijakan
BLSM mengingatkan kita pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketika
kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008.
Pada 2005, ketika harga BBM dua kali
dinaikkan, sebesar 29 persen dan 126 persen, BLT disalurkan kepada 19,1 juta
keluarga. Jumlah penerima BLT hanya turun tipis menjadi 19,02 juta keluarga
pada 2008 saat harga BBM dinaikkan 33,3 persen. Tahun ini, penerima BLSM
diperkirakan 18,5 juta keluarga.
Pertanyaannya, apakah BLSM sudah cukup? Tentu
saja belum. Bahkan, BLSM pun diragukan efektivitasnya. Apakah pemberian tunai
ini menjadi obat mujarab untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan? Apakah BLSM
ini akan terdistribusikan secara baik?
Yang jelas, BLSM ini tidak mendewasakan
masyarakat. Masyarakat dididik untuk menerima jatah, dididik menjadi peminta.
BLSM bagaikan balsam yang “hanya” memberi rasa hangat sementara tetapi tidak
mengobati rasa sakit yang diderita. Bahkan, bisa-bisa malah rasa sakit akan
makin parah.
Dari sisi penyaluran, pemerintah mesti
berkaca pada pengalaman sebelumnya, di mana banyak terjadi kericuhan dalam
pembagian. Bahkan, ada yang sampai meninggal karena tergencet orang-orang yang
berebut antrean.
Masalah distribusi yang tidak merata juga
menjadi kendala (dua keluarga bersebelahan, sama miskinnya, satu dapat, satunya
tidak). Bahkan, ada dana yang dimakan aparat.
Data soal keluarga miskin untuk pembagian
BLSM juga sangat riskan. Ini terutama dalam menentukan siapa yang berhak
menerima dana BLSM dengan kategori miskin. Pengalaman saat pembagian dana BLT
pada 2005 dan 2008, banyak daerah yang menolak BLT.
Bukan saja di tingkat kabupaten atau kota,
lurah-lurah hingga Ketua RT pun menolak BLT. Alasannya, mereka trauma dengan
pembagian BLT yang memunculkan keresahan dan kericuhan. Bahkan, ada rumah
aparat desa yang dihancurkan gara-gara pembagian kartu tidak merata.
Program pemberian uang tunai semacam ini
tampaknya memang bagus, yakni langsung menyentuh kebutuhan hidup masyarakat
miskin sehari-hari. Namun, yang dibutuhkan masyarakat miskin sesungguhnya bukan
pemberian/bantuan kompensasi dalam bentuk uang tunai yang cenderung langsung
habis untuk kegiatan konsumtif.
Mekanisme semacam ini tidak pernah mendidik
orang untuk maju, kreatif, mandiri, dan inovatif. Bentuk bantuan semacam ini
justru membuat orang terlena, terbelenggu, dan terninabobokan dengan situasi
yang karitatif, sehingga bermental “pengemis” dan memunculkan sindrom
ketergantungan akut.
Jangan beri ikan, namun berilah kail (pancing),
adalah petuah kuno yang sangat kuat pesannya, namun relevan untuk diaplikasikan
pada konteks program kompensasi BBM. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya
tidak hanya bertindak bagai sinterklas yang sekadar bagi-bagi hadiah (uang),
yang hanya bersifat sementara (jangka pendek) dan karitatif.
Fakta menarik dari Amerika Serikat. Negara
adidaya itu akhirnya membatalkan subsidi tunai yang akan diberikan. Pasca-topan
Katrina, FEMA (Federal Emergency Management Agency), bekerja sama dengan Palang
Merah AS, membagikan kartu debit sebesar US$ 2.000 kepada korban.
Program ini akhirnya dihentikan pada 11
September yang lalu karena dinilai tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang
terfokus pada pembangunan kembali, ditambah terjadinya penyimpangan dana, korupsi,
abuse dan red tape, juga dipersulitnya koridor birokrasi.
Dengan memberikan dana tunai tanpa program
pemberdayaan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan “candu kemiskinan”
kepada masyarakat miskin dan hampir miskin. BLSM juga bukan obat mujarab
mengentaskan kemiskinan.
Walau penduduk miskin diklaim tinggal 12,49
persen dengan 30,02 juta jiwa pada 2011, faktanya penerima raskin mencapai 70
juta jiwa dan peserta Jamkesmas 76,4 juta jiwa. Secara nyata angka kemiskinan
tetap tinggi.
Angka itu terkesan turun, karena kriteria
pengeluaran rumah tangga miskin hanya Rp 5.000 per hari, bukan Rp 8.500 per
hari, sebagaimana patokan Bank Dunia. Program-program instan kemiskinan hanya
menguntungkan politik pencitraan, bukan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
sesungguhnya.
Pemerintah semestinya harus mulai memikirkan
untuk memberikan bantuan kepada rakyat miskin dalam bentuk program jangka
panjang, yang menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi
masyarakat miskin.
Program ini tentunya tidak sekadar kosmetik
atau pemanis penampilan (pemerintah) semata untuk menutup berbagai kekurangan
di mata rakyatnya, namun sebuah program benar-benar solutif, yang memberikan
jalan keluar dari persoalan yang sekian lama mengimpit masyarakat
miskin-marginal, yang bisa memberdayakan masyarakat untuk keluar dari
kemiskinan akut dan sistemik.
Dalam konteks semacam ini, pemerintah
ditantang mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat juga
perlu diberi kail, berupa proyek-proyek padat karya, pembinaan usaha kecil
menengah, pemberian modal usaha, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah
merestrukturisasi alokasi subsidi dengan melihat solusi permasalahan dari
jangka panjang.
Hanya dengan cara semacam ini, angka
kemiskinan yang demikian tingginya akan dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga
akan ada parade musik yang lagu yang melantunkan bait: sayonara kemiskinan dan
selamat datang masyarakat yang sejahtera. Bukankah itu dambaan dan impian kita
bersama belakangan ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar