Selasa, 13 Maret 2012

BLSM, Obat Mujarab Pengentas Kemiskinan?


BLSM, Obat Mujarab Pengentas Kemiskinan?
Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 Maret 2012



Pemerintah agaknya tidak melihat pilihan lain. Disadari, opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak populer dan akan membawa dampak luas secara sosial, politik, dan ekonomi. Kenaikan harga BBM bersubsidi sudah jelas menyebabkan angka inflasi naik.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6 persen. Sementara itu, menurut analisis BNP Paribas, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6,5 persen.

Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak 450.000, berdasarkan perhitungan Menko Kesra.

Mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pemerintah memang sudah menskenariokan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan, dimulai ketika kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan 1 April mendatang.

Nilai BLSM tahun ini direncanakan Rp 25 triliun dan diberikan kepada keluarga sasaran selama sembilan bulan. Kebijakan BLSM mengingatkan kita pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketika kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008.

Pada 2005, ketika harga BBM dua kali dinaikkan, sebesar 29 persen dan 126 persen, BLT disalurkan kepada 19,1 juta keluarga. Jumlah penerima BLT hanya turun tipis menjadi 19,02 juta keluarga pada 2008 saat harga BBM dinaikkan 33,3 persen. Tahun ini, penerima BLSM diperkirakan 18,5 juta keluarga.

Pertanyaannya, apakah BLSM sudah cukup? Tentu saja belum. Bahkan, BLSM pun diragukan efektivitasnya. Apakah pemberian tunai ini menjadi obat mujarab untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan? Apakah BLSM ini akan terdistribusikan secara baik?

Yang jelas, BLSM ini tidak mendewasakan masyarakat. Masyarakat dididik untuk menerima jatah, dididik menjadi peminta. BLSM bagaikan balsam yang “hanya” memberi rasa hangat sementara tetapi tidak mengobati rasa sakit yang diderita. Bahkan, bisa-bisa malah rasa sakit akan makin parah.

Dari sisi penyaluran, pemerintah mesti berkaca pada pengalaman sebelumnya, di mana banyak terjadi kericuhan dalam pembagian. Bahkan, ada yang sampai meninggal karena tergencet orang-orang yang berebut antrean.

Masalah distribusi yang tidak merata juga menjadi kendala (dua keluarga bersebelahan, sama miskinnya, satu dapat, satunya tidak). Bahkan, ada dana yang dimakan aparat.
Data soal keluarga miskin untuk pembagian BLSM juga sangat riskan. Ini terutama dalam menentukan siapa yang berhak menerima dana BLSM dengan kategori miskin. 
Pengalaman saat pembagian dana BLT pada 2005 dan 2008, banyak daerah yang menolak BLT.

Bukan saja di tingkat kabupaten atau kota, lurah-lurah hingga Ketua RT pun menolak BLT. Alasannya, mereka trauma dengan pembagian BLT yang memunculkan keresahan dan kericuhan. Bahkan, ada rumah aparat desa yang dihancurkan gara-gara pembagian kartu tidak merata.

Program pemberian uang tunai semacam ini tampaknya memang bagus, yakni langsung menyentuh kebutuhan hidup masyarakat miskin sehari-hari. Namun, yang dibutuhkan masyarakat miskin sesungguhnya bukan pemberian/bantuan kompensasi dalam bentuk uang tunai yang cenderung langsung habis untuk kegiatan konsumtif.

Mekanisme semacam ini tidak pernah mendidik orang untuk maju, kreatif, mandiri, dan inovatif. Bentuk bantuan semacam ini justru membuat orang terlena, terbelenggu, dan terninabobokan dengan situasi yang karitatif, sehingga bermental “pengemis” dan memunculkan sindrom ketergantungan akut.

Jangan beri ikan, namun berilah kail (pancing), adalah petuah kuno yang sangat kuat pesannya, namun relevan untuk diaplikasikan pada konteks program kompensasi BBM. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya tidak hanya bertindak bagai sinterklas yang sekadar bagi-bagi hadiah (uang), yang hanya bersifat sementara (jangka pendek) dan karitatif.

Fakta menarik dari Amerika Serikat. Negara adidaya itu akhirnya membatalkan subsidi tunai yang akan diberikan. Pasca-topan Katrina, FEMA (Federal Emergency Management Agency), bekerja sama dengan Palang Merah AS, membagikan kartu debit sebesar US$ 2.000 kepada korban.

Program ini akhirnya dihentikan pada 11 September yang lalu karena dinilai tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang terfokus pada pembangunan kembali, ditambah terjadinya penyimpangan dana, korupsi, abuse dan red tape, juga dipersulitnya koridor birokrasi.

Dengan memberikan dana tunai tanpa program pemberdayaan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan “candu kemiskinan” kepada masyarakat miskin dan hampir miskin. BLSM juga bukan obat mujarab mengentaskan kemiskinan.

Walau penduduk miskin diklaim tinggal 12,49 persen dengan 30,02 juta jiwa pada 2011, faktanya penerima raskin mencapai 70 juta jiwa dan peserta Jamkesmas 76,4 juta jiwa. Secara nyata angka kemiskinan tetap tinggi.

Angka itu terkesan turun, karena kriteria pengeluaran rumah tangga miskin hanya Rp 5.000 per hari, bukan Rp 8.500 per hari, sebagaimana patokan Bank Dunia. Program-program instan kemiskinan hanya menguntungkan politik pencitraan, bukan untuk meningkatkan taraf  hidup rakyat sesungguhnya.

Pemerintah semestinya harus mulai memikirkan untuk memberikan bantuan kepada rakyat miskin dalam bentuk program jangka panjang, yang menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi masyarakat miskin.

Program ini tentunya tidak sekadar kosmetik atau pemanis penampilan (pemerintah) semata untuk menutup berbagai kekurangan di mata rakyatnya, namun sebuah program benar-benar solutif, yang memberikan jalan keluar dari persoalan yang sekian lama mengimpit masyarakat miskin-marginal, yang bisa memberdayakan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan akut dan sistemik.

Dalam konteks semacam ini, pemerintah ditantang mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat juga perlu diberi kail, berupa proyek-proyek padat karya, pembinaan usaha kecil menengah, pemberian modal usaha, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah merestrukturisasi alokasi subsidi dengan melihat solusi permasalahan dari jangka panjang.

Hanya dengan cara semacam ini, angka kemiskinan yang demikian tingginya akan dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga akan ada parade musik yang lagu yang melantunkan bait: sayonara kemiskinan dan selamat datang masyarakat yang sejahtera. Bukankah itu dambaan dan impian kita bersama belakangan ini? ●
Joko Riyanto, KOORDINATOR RISET PUSAT KAJIAN DAN PENELITIAN KEBANGSAAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 Maret 2012



Pemerintah agaknya tidak melihat pilihan lain. Disadari, opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak populer dan akan membawa dampak luas secara sosial, politik, dan ekonomi. Kenaikan harga BBM bersubsidi sudah jelas menyebabkan angka inflasi naik.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tahun ini di atas 6 persen. Sementara itu, menurut analisis BNP Paribas, kenaikan harga BBM akan menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dari 5 persen menjadi 6,5 persen.
Dengan asumsi inflasi sebesar itu, daya beli masyarakat akan turun dan akan ada penambahan masyarakat miskin sebanyak 450.000, berdasarkan perhitungan Menko Kesra.
Mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pemerintah memang sudah menskenariokan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan, dimulai ketika kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan 1 April mendatang.
Nilai BLSM tahun ini direncanakan Rp 25 triliun dan diberikan kepada keluarga sasaran selama sembilan bulan. Kebijakan BLSM mengingatkan kita pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketika kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2005 dan 2008.
Pada 2005, ketika harga BBM dua kali dinaikkan, sebesar 29 persen dan 126 persen, BLT disalurkan kepada 19,1 juta keluarga. Jumlah penerima BLT hanya turun tipis menjadi 19,02 juta keluarga pada 2008 saat harga BBM dinaikkan 33,3 persen. Tahun ini, penerima BLSM diperkirakan 18,5 juta keluarga.
Pertanyaannya, apakah BLSM sudah cukup? Tentu saja belum. Bahkan, BLSM pun diragukan efektivitasnya. Apakah pemberian tunai ini menjadi obat mujarab untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan? Apakah BLSM ini akan terdistribusikan secara baik?
Yang jelas, BLSM ini tidak mendewasakan masyarakat. Masyarakat dididik untuk menerima jatah, dididik menjadi peminta. BLSM bagaikan balsam yang “hanya” memberi rasa hangat sementara tetapi tidak mengobati rasa sakit yang diderita. Bahkan, bisa-bisa malah rasa sakit akan makin parah.
Dari sisi penyaluran, pemerintah mesti berkaca pada pengalaman sebelumnya, di mana banyak terjadi kericuhan dalam pembagian. Bahkan, ada yang sampai meninggal karena tergencet orang-orang yang berebut antrean.
Masalah distribusi yang tidak merata juga menjadi kendala (dua keluarga bersebelahan, sama miskinnya, satu dapat, satunya tidak). Bahkan, ada dana yang dimakan aparat.
Data soal keluarga miskin untuk pembagian BLSM juga sangat riskan. Ini terutama dalam menentukan siapa yang berhak menerima dana BLSM dengan kategori miskin. Pengalaman saat pembagian dana BLT pada 2005 dan 2008, banyak daerah yang menolak BLT.
Bukan saja di tingkat kabupaten atau kota, lurah-lurah hingga Ketua RT pun menolak BLT. Alasannya, mereka trauma dengan pembagian BLT yang memunculkan keresahan dan kericuhan. Bahkan, ada rumah aparat desa yang dihancurkan gara-gara pembagian kartu tidak merata.
Program pemberian uang tunai semacam ini tampaknya memang bagus, yakni langsung menyentuh kebutuhan hidup masyarakat miskin sehari-hari. Namun, yang dibutuhkan masyarakat miskin sesungguhnya bukan pemberian/bantuan kompensasi dalam bentuk uang tunai yang cenderung langsung habis untuk kegiatan konsumtif.
Mekanisme semacam ini tidak pernah mendidik orang untuk maju, kreatif, mandiri, dan inovatif. Bentuk bantuan semacam ini justru membuat orang terlena, terbelenggu, dan terninabobokan dengan situasi yang karitatif, sehingga bermental “pengemis” dan memunculkan sindrom ketergantungan akut.
Jangan beri ikan, namun berilah kail (pancing), adalah petuah kuno yang sangat kuat pesannya, namun relevan untuk diaplikasikan pada konteks program kompensasi BBM. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya tidak hanya bertindak bagai sinterklas yang sekadar bagi-bagi hadiah (uang), yang hanya bersifat sementara (jangka pendek) dan karitatif.
Fakta menarik dari Amerika Serikat. Negara adidaya itu akhirnya membatalkan subsidi tunai yang akan diberikan. Pasca-topan Katrina, FEMA (Federal Emergency Management Agency), bekerja sama dengan Palang Merah AS, membagikan kartu debit sebesar US$ 2.000 kepada korban.
Program ini akhirnya dihentikan pada 11 September yang lalu karena dinilai tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang terfokus pada pembangunan kembali, ditambah terjadinya penyimpangan dana, korupsi, abuse dan red tape, juga dipersulitnya koridor birokrasi.
Dengan memberikan dana tunai tanpa program pemberdayaan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan “candu kemiskinan” kepada masyarakat miskin dan hampir miskin. BLSM juga bukan obat mujarab mengentaskan kemiskinan.
Walau penduduk miskin diklaim tinggal 12,49 persen dengan 30,02 juta jiwa pada 2011, faktanya penerima raskin mencapai 70 juta jiwa dan peserta Jamkesmas 76,4 juta jiwa. Secara nyata angka kemiskinan tetap tinggi.
Angka itu terkesan turun, karena kriteria pengeluaran rumah tangga miskin hanya Rp 5.000 per hari, bukan Rp 8.500 per hari, sebagaimana patokan Bank Dunia. Program-program instan kemiskinan hanya menguntungkan politik pencitraan, bukan untuk meningkatkan taraf  hidup rakyat sesungguhnya.
Pemerintah semestinya harus mulai memikirkan untuk memberikan bantuan kepada rakyat miskin dalam bentuk program jangka panjang, yang menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi masyarakat miskin.
Program ini tentunya tidak sekadar kosmetik atau pemanis penampilan (pemerintah) semata untuk menutup berbagai kekurangan di mata rakyatnya, namun sebuah program benar-benar solutif, yang memberikan jalan keluar dari persoalan yang sekian lama mengimpit masyarakat miskin-marginal, yang bisa memberdayakan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan akut dan sistemik.
Dalam konteks semacam ini, pemerintah ditantang mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat juga perlu diberi kail, berupa proyek-proyek padat karya, pembinaan usaha kecil menengah, pemberian modal usaha, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah merestrukturisasi alokasi subsidi dengan melihat solusi permasalahan dari jangka panjang.
Hanya dengan cara semacam ini, angka kemiskinan yang demikian tingginya akan dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga akan ada parade musik yang lagu yang melantunkan bait: sayonara kemiskinan dan selamat datang masyarakat yang sejahtera. Bukankah itu dambaan dan impian kita bersama belakangan ini? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar