Rabu, 21 Maret 2012

Merespon RUU Pangan


Merespon RUU Pangan
Arif Satria, KETUA UMUM PERHIMPUNAN SARJANA PERTANIAN INDONESIA; DEKAN FEMA IPB
SUMBER : KOMPAS, 21 Maret 2012



DPR sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pangan sebagai pengganti UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996. RUU ini sangat strategis mengingat saat ini kita tengah menghadapi krisis pangan.

Data Bank Dunia menunjukkan, tahun 2025 akan terjadi defisit neraca pangan sebesar 127 juta ton di wilayah Asia Timur dan Tenggara.

Begitu pula Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mensinyalir bahwa potensi perikanan dunia sebagai sumber protein hewani hanya tinggal 15 persen yang masih mungkin dimanfaatkan. Situasi pangan nasional juga dalam lampu kuning. Impor beras, sapi, susu, ikan, dan produk pangan lainnya terus meningkat.

Kondisi di atas menggambarkan ketergantungan pangan yang semakin tinggi. Oleh karena itu, RUU Pangan mencoba menawarkan sejumlah pendekatan baru: pangan sebagai hak asasi, prinsip kedaulatan pangan, pola desentralistik, dan masuknya perikanan dalam RUU ini.

Bagaimana kita merespons RUU Pangan tersebut? Bagaimana kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung sejumlah pendekatan baru ini?

Krisis Sumber Daya Manusia

Krisis pangan jarang dilihat sebagai akibat krisis SDM. Padahal, data Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan 77 persen petani maksimum hanya tamatan SD. Selain pendidikan, usia juga variabel yang harus dilihat. Namun, hingga saat ini kita belum memiliki data kondisi usia petani dan nelayan secara nasional.

Hasil kajian Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi) menunjukkan bahwa di beberapa sentra produksi beras terdapat ancaman krisis petani. Di Sukabumi, petani yang berusia kurang dari 30 tahun ada 12,5 persen, usia 30-44 tahun ada 41,7 persen, dan 45-60 tahun ada 43,7 persen.

Sementara itu, di Karawang, masing-masing 14,2 persen, 60 persen, dan 25,3 persen serta di Cianjur berurutan 7 persen, 48,5 persen, dan 42,2 persen. Siapa kelak yang akan menjadi petani di daerah tersebut kalau petani muda kurang dari 30 tahun sudah relatif sedikit?

Data usia nelayan tidak tersedia sehingga tidak bisa dianalisis. Akan tetapi, sebagai pembanding, di Jepang pada tahun 2000-an nelayan yang berusia kurang dari 39 tahun hanya 15 persen, usia 40-59 tahun ada 39 persen, dan di atas 60 tahun 35 persen. Pada tahun 2008, yang berusia di atas 60 tahun mendekati 50 persen.

Krisis nelayan benar-benar telah terjadi di Jepang. Meski pendapatan nelayan di Jepang relatif tinggi, tetap saja kurang menarik bagi kaum muda. Hal ini ternyata juga disebabkan oleh hasil survei yang membuktikan bahwa wanita Jepang kurang tertarik menjadi istri nelayan.

Inilah yang menjadi pemicu kaum muda Jepang meninggalkan perikanan. Bagaimana kita menyikapi krisis SDM pertanian-perikanan tersebut yang tampaknya juga merupakan tren dunia?

Tentu kampus menjadi salah satu alternatif sumber pelaku pertanian masa depan. Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti, 2011) yang bersumber dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menunjukkan bahwa lulusan pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) kita sebanyak 3,32 persen dari total lulusan.

Jumlah ini lebih banyak daripada Brasil (1,78), Amerika Serikat (1,06), Jepang (2,28), Malaysia (0,58), dan Korea Selatan (1,26). Artinya, rendahnya lulusan pertanian memang menjadi tren dunia.

Tahun 2010 jumlah mahasiswa pertanian Indonesia 173.158 orang. Dengan asumsi masa kuliah lima tahun, lulusan setiap tahun sekitar 34.000 orang. Menurut Ditjen Dikti (2010), pada tahun 2025 diperkirakan jumlah mahasiswa pertanian mencapai 5 persen atau sekitar 536.000 orang sehingga lulusan per tahun mencapai 100.000 orang. Tentu ini jumlah yang relatif besar untuk mengisi kebutuhan SDM guna mewujudkan kemandirian pangan.

Karena itulah isu ini semestinya bisa dijawab dalam RUU Pangan. RUU bisa memberikan mandat kepada pemerintah agar serius menyusun perencanaan SDM pangan yang di dalamnya memuat program-program regenerasi petani-nelayan.

Program-program tersebut berisi insentif bagi sarjana yang ingin bergerak dalam bidang produksi pangan. RUU Pangan memiliki kekuatan untuk itu, yakni menciptakan kebijakan makro yang kondusif bagi tumbuhnya pelaku-pelaku baru.

Agenda

Meski demikian, sekali lagi, desain pengembangan SDM pangan akan sangat ditentukan oleh desain pembangunan pangan ke depan. RUU telah memuat desain baru dengan prinsip-prinsip kedaulatan dan kemandirian pangan yang harus diterjemahkan ke dalam kebijakan dan program pembangunan baru.

Arus utamanya mengalir dari globalitas ke lokalitas, keseragaman ke keragaman, pola konvensional ke agroekologi, dan sentralistik ke desentralistik. Tentu salah satu implikasinya adalah minimalisasi ketergantungan pangan dan mengurangi dominasi perusahaan multinasional dalam mengendalikan pangan.

Di sisi lain, kita harus menumbuhkan pelaku baru yang tangguh dan mandiri. Di sinilah pendidikan tinggi pertanian— sumber potensial SDM pangan—harus melakukan reorientasi sesuai prinsip kedaulatan dan kemandirian yang baru ini. Karena itu, pembenahan kurikulum dan orientasi baru riset pangan harus segera dilakukan sehingga output pendidikan tinggi benar-benar kompatibel dengan upaya menjawab tantangan pangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar