Rabu, 21 Maret 2012

Socrates dan Politisasi ala PSSI


Socrates dan Politisasi ala PSSI
Mohammad Afifuddin, PENIKMAT SEPAK BOLA,
STUDI SOSIOLOGI DI PROGRAM PASCASARJANA UGM
SUMBER : JAWA POS, 21 Maret 2012



DISTRIK Belem de Para, Brazil, 19 Februari 1954, menjadi saksi lahirnya seorang legenda. Entah apa yang terlintas dalam benak orang tuanya sehingga mereka memberi nama depan bayi laki-lakinya layaknya seorang tokoh Yunani klasik. Mungkin bapak dan ibunya mengidamkan anaknya menjadi filsuf dan pemikir yang kebijaksanaannya bisa memengaruhi dunia. Atau barangkali terlalu berlebihan juga menganggapnya seperti itu. Jangan-jangan angan-angan pasutri itu sekadar anaknya -seperti kebanyakan orang tua lainnya- menjadi insan yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.

Terlepas apa pun motifnya, yang jelas sang jabang bayi itu akhirnya menyandang nama Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Dunia kemudian mengenalnya sebagai Socrates (1954-2011), kapten tim nasional Brazil di Piala Dunia 1982. Seperti halnya kita mengenal Socrates (470-399 SM) sang putra Athena sebagai mahaguru filsafat dan mentornya para filsuf besar semacam Plato dan Aristoteles, dunia pun mengenal Socrates made in Brazil ini sebagai "filsuf" lapangan hijau dan penebar kebajikan di luar lapangan.

Salah satu gelandang tengah genius yang pernah dimiliki Brazil itu sangat dihormati karena kepemimpinannya yang karismatik di lapangan, kapasitas intelektualnya yang tinggi, serta perjuangannya dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, Minggu, 4 Desember 2011, publik Brazil harus merelakan sang genius itu pergi untuk selamanya. Socrates meninggal dunia di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo, akibat keracunan makanan. Apa yang kemudian bisa kita warisi dari Socrates selain aksi-aksi briliannya di lapangan hijau?

Politik Pembebasan

Salah satu keteladanan Socrates adalah pemikiran dan visi sosialnya yang altruistis. Harus diakui, dalam hal ini Socrates modern banyak kemiripan dengan Socrates klasik. Jika Socrates klasik dikenal sebagai figur yang berbudi luhur, cerdas, bijak, dan guru bagi banyak penduduk Athena saat itu, Socrates modern juga demikian. Oleh para koleganya dia dikenang sebagai guru bagi banyak orang dalam berbagai hal.

Sejarah mencatat Socrates klasik adalah martir bagi berkembangnya tradisi berpikir filosofis di era Yunani kuno. Dia berani berseberangan dengan doktrin-doktrin negara demi tegaknya supremasi filsafat. Setali tiga uang, Socrates modern juga sering memosisikan dirinya sebagai martir.

Socrates yang hidup di era Brazil ketika diperintah rezim militer melakukan "perlawanan" yang diawali dengan menumbuhkan demokratisasi di klubnya, Corinthians. Dia bahkan ikut mendirikan gerakan demokrasi Corinthians yang menentang pemerintah militer yang berkuasa. Dia dan kawan-kawannya memprotes perlakuan rezim militer terhadap para pesepak bola, dan dengan terbuka menunjukkan dukungannya kepada gerakan untuk demokrasi di Brazil.

Socrates yang juga dokter lulusan Faculdade de Medicina de Riberiao Preto, Brazil, ini tanpa takut mengenakan kaus bertulisan Democracia pada beberapa pertandingan. Hal itu tidak terlepas dari tokoh-tokoh idolanya semasa kecil, yaitu Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lenon. Terkadang dia juga memakai kaus bertulisan, "Saya ingin memilih". Bahkan, CNN menyebutkan, Socrates dan mantan Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva berteman baik dan sahabat karib dalam gerakan prodemokrasi 1980-an yang dikenal dengan aksi Diretas Ja.

Satu lagi yang menarik, jika Socrates klasik harus mengakhiri hidup setelah menenggak racun, Socrates modern juga mati akibat racun. Hanya, penyebabnya berlawanan. Socrates klasik dipaksa meminum racun oleh otoritas Yunani sebagai konsekuensi keteguhannya mempertahankan pemikiran filsafatnya yang banyak berseberangan dengan negara. Sedangkan Socrates modern tewas keracunan karena banyak organ vitalnya telah gagal berfungsi sebagai dampak hobinya minum minuman keras dalam kadar berlebih. Inilah habit buruk Socrates modern yang amat disayangkan para pengagumnya.

Politisasi PSSI

Dalam sepak bola ala jogo bonito yang berorientasi permainan indah, seorang pemain diberi otonomi untuk tidak terpaku pada pola baku yang dikembangkan timnya. Sering para pemain diberi peluang berimprovisasi menampilkan skill-nya yang menawan. Karena itulah, banyak orang menyebut para pemain Brazil bukan sekadar bermain bola, melainkan sedang menari Samba: serbaindah dan harmonis. Sepak bola tidak hanya persoalan siapa menaklukkan siapa, tapi juga arena menghibur penonton.

Rupanya doktrin sepak bola jogo bonito itu juga meresap dalam visi sosial-politik Socrates modern sehingga dia memilih menjadi aktivis politik prodemokrasi untuk membuka ruang kebebasan politis rakyat dari cengkeraman tirani rezim militer yang totaliter.

Dalam konteks kompatibilitas, hal ini sesuai dengan kredo politik pemikir perempuan Jerman Hannah Arendt (1906-1975). Bagi Arendt (dalam Hardiman, 2005:23) setiap upaya memobilisasi penduduk sebagai massa, yakni memperlakukan manusia lain tidak sebagai sesama, melainkan sebagai eksemplar sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompok lain, adalah apolitis. Penguasaan yang satu terhadap yang banyak bukanlah politik, melainkan antipolitik. Pemikiran Arendt telah mencengangkan siapa saja yang memahami politik sebagai relasi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Sebab, politik tak dapat dipahami dalam kategori Herrschaft (dominasi), melainkan dalam kategori Freiheit (kebebasan): politik adalah terengkuhnya kebebasan.

Nah, dalam konteks ini, bara konflik (politik) yang tak kunjung padam di tubuh PSSI tidak jauh berbeda dengan kegelisahan Arendt soal politik dan yang antipolitik. Sungguh, dipandang dari sisi mana pun, konflik (politik) di internal PSSI tidak layak disebut sebagai perjuangan politik yang secara esensial (diklaim) para pihak yang berseteru sebagai jalan menuju "perubahan" sepak bola kita.

Dalam sejarah sering sepak bola yang mengatasi dan melampaui politik. Ambil contoh bagaimana sportifnya laga Amerika Serikat vs Iran di Piala Dunia 1998 di tengah sorotan publik karena rivalitas kedua negara dalam kancah politik internasional. Atau bagaimana Didier Drogba dan kawan-kawan bisa menyatukan faksi-faksi politik di Pantai Gading lewat sepak bola.

Namun, di Indonesia justru politik yang mengatasi sepak bola. Ini karena -seperti kata Arendt- politik yang dimainkan para "politisi" di PSSI adalah politik penaklukan sehingga dengan sendirinya bercorak antipolitik. Alih-alih berharap ada reformasi sejati di PSSI, sportivitas persaingan pun mereka campakkan jauh-jauh. Karena itu, jika Socrates modern masih hidup dan berada di Indonesia, niscaya dia akan mengutuk para pihak yang berkonflik di PSSI sebagai "penghina peradaban sepak bola". Sebab, sepak bola memang tidak untuk dipolitiking. Sepak bola harus melampaui politisasi itu sendiri: sepak bola adalah upacara kemanusiaan yang terbebaskan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar