Rabu, 21 Maret 2012

BBM dan Kesejahteraan


BBM dan Kesejahteraan
Ahmad Erani Yustika, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
SUMBER : KOMPAS, 21 Maret 2012



Perdebatan soal subsidi BBM kian memanas seiring rencana pemerintah menaikkan harga premium dan solar pada kisaran Rp 6.000 per liter pada 1 April 2012.
Silang pendapat bermunculan di media dan forum diskusi yang membuat lalu lintas opini begitu bergemuruh. Umumnya, titik tekan dari mereka yang memufakati kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah demi penyelamatan fiskal dan bahwa subsidi itu dinikmati kaum kaya.

Sebaliknya, barisan yang menolak rencana tersebut mengungkit persoalan rapuhnya kesejahteraan masyarakat dan malapraktik pengelolaan sumber daya alam nasional. Kelompok terakhir bersikeras kenaikan harga BBM akan membebani hidup kaum miskin meskipun aneka program kompensasi telah disiapkan pemerintah.

Tulisan ini tidak akan menambahkan perdebatan itu, tapi berupaya menunjukkan bagaimana sebetulnya status kesejahteraan sebagian besar rakyat saat ini.

Informalisasi Ekonomi

Teori ekonomi pembangunan menempatkan kesempatan kerja penuh sebagai kondisi yang harus dicapai agar ekonomi berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam situasi kesempatan kerja penuh, seluruh sumber daya ekonomi telah digunakan sehingga pasar tenaga kerja berada di titik keseimbangan alias tak ada pengangguran.

Bagaimana kondisi di Indonesia? Data menunjukkan, pengangguran terbuka relatif rendah (6,8 persen) meskipun belum mencapai titik terendah seperti 1997 (4,7 persen). Masalahnya, mereka yang betul-betul bisa dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam per minggu) hanya sekitar 60 persen, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65 persen bekerja di sektor informal, hanya 35 persen bekerja di sektor formal. Dengan begitu telah terjadi proses informalisasi ekonomi sehingga guncangan ekonomi yang tidak terlalu berat pun akan melantakkan daya hidup masyarakat.

Berikutnya, seberapa berat dampak turbulensi ekonomi akan melumat masyarakat berdasarkan stratifikasi kelas pengeluaran. Sebagian bisa dilihat dari pertumbuhan pengeluaran masing-masing kelas. Jika pengeluaran masyarakat dibagi dalam 10 kelas (desil), akan dijumpai data sebagai berikut.

Pengeluaran terendah kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp 153.000- Rp 204.000 per kapita per bulan, pada 2010 hanya tumbuh 9,08 persen dan 8,25 persen. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp 1,48 juta-Rp 768.000 per kapita per bulan, pada tahun yang sama tumbuh 15,36 persen dan 18,77 persen (BPS, 2011). Jelasnya, mereka yang pengeluarannya besar bisa dikatakan pertumbuhan pendapatannya dua kali lipat ketimbang kelompok miskin. Ini pula yang jadi sebab ketimpangan pendapatan makin tinggi saat pertumbuhan ekonomi nasional juga melesat, yakni gini rasio pada 2010 mencapai 0,38 (rekor tertinggi selama ini).

Struktur perekonomian seperti itulah yang membuat pemerintah sulit menurunkan angka kemiskinan karena hanya sektor tertentu penyumbang perekonomian/PDB. Tercatat sektor pertanian dan industri tumbuh rendah, misalnya pertanian cuma tumbuh 2,9 persen (2010) dan 3 persen (2011). Hal sama juga di sektor industri sehingga kontribusi sektor ini merosot dari 28 persen terhadap PDB (2005) jadi 24 persen (2011) yang kemudian disebut dengan istilah deindustrialisasi.

Implikasinya, kedua sektor yang menampung tenaga kerja sekitar 55 persen dari total tenaga kerja itu status kesejahteraan pekerjanya sangat rendah. Nilai tukar petani (riil) pada 2005 masih 110,95, pada 2010 tinggal 95,79. Hasilnya, periode 1970-1990 jumlah orang miskin turun dari 59 persen jadi 15,2 persen, tetapi pada 1990-2010 hanya turun dari 15,2 persen jadi 13,3 persen.

Akrobat Hidup

Sebagian soal di muka disebabkan oleh praktik penyimpangan pranata ekonomi. Sektor keuangan, misalnya, diciptakan dan didukung dengan harapan dapat mendorong sektor riil, khususnya sektor pertanian dan industri. Celakanya, sektor keuangan (khususnya perbankan) makin jauh dari fitrahnya di mana dukungan terhadap sektor riil makin menyusut.

Pada 2000, kredit yang diperoleh kedua sektor itu mencapai 46,11 persen dari total kredit perbankan. Namun, 10 tahun kemudian (2010), total kredit yang diperoleh tinggal 20,75 persen. Lebih miris lagi, pada 2010 dana bank yang ditaruh di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 319,3 triliun (11,54 persen dari penyaluran dana bank umum).

Problem kian rumit ketika kredit yang telah disetujui tapi tidak diserap terus meningkat, yang pada 2011 mencapai Rp 670 triliun (2005 hanya Rp 152 triliun). Hal ini bisa terjadi karena tingkat bunga kredit yang tinggi dan pemerintah yang tak sigap memfasilitasi kegiatan investasi.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah liberalisasi tidak terukur (kebablasan) yang malah dianggap sebagai berkah perekonomian. Semua sektor/komoditas ekonomi terpenting telah dibuka, bahkan dalam banyak hal lebih telanjang dibandingkan negara lain. Dalam kasus ACFTA neraca perdagangan makin menyusut, khususnya dengan China.

Secara keseluruhan ada fakta kasatmata: nilai ekspor nasional sejak 2006 naik cukup besar, tapi surplus perdagangan statis. Hal ini disebabkan pada periode 2006-2011 ekspor tumbuh 98 persen, tetapi impor pada kurun yang sama tumbuh 128 persen (BPS, 2012). Penyakit ini disebabkan dua sumber penting: liberalisasi perdagangan dan besarnya kandungan bahan baku impor untuk sektor industri.

Teramat banyak aspek lain yang dapat diungkap untuk menunjukkan rapuhnya fondasi ekonomi nasional (di luar praktik korupsi yang dahsyat, perampokan SDA, dan borosnya anggaran birokrasi), yang berujung pada deskripsi ringkihnya kehidupan rakyat. Pengetahuan pengambil kebijakan tentang akrobat hidup sehari- hari yang dialami kelompok masyarakat amat terbatas karena seluruhnya didasari oleh generalisasi yang terlalu berlebihan.

Celakanya, instrumen subsidi yang dianggarkan dalam APBN pun makin menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004 masih 23,21 persen kini jadi 17,47 persen, sedangkan subsidi non-energi (pangan, pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57 persen turun menjadi 4,18 persen terhadap total belanja pemerintah pusat. Jadi, sikap penolakan terhadap kenaikan harga minyak sebagian berakar dari pikiran ini: tidak diwujudkannya amanah ”penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” oleh pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar