BBM
dan Kesejahteraan
Ahmad
Erani Yustika, GURU
BESAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF
SUMBER : KOMPAS, 21 Maret 2012
Perdebatan soal subsidi BBM kian memanas
seiring rencana pemerintah menaikkan harga premium dan solar pada kisaran Rp
6.000 per liter pada 1 April 2012.
Silang pendapat bermunculan di media dan
forum diskusi yang membuat lalu lintas opini begitu bergemuruh. Umumnya, titik
tekan dari mereka yang memufakati kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah
demi penyelamatan fiskal dan bahwa subsidi itu dinikmati kaum kaya.
Sebaliknya, barisan yang menolak rencana
tersebut mengungkit persoalan rapuhnya kesejahteraan masyarakat dan malapraktik
pengelolaan sumber daya alam nasional. Kelompok terakhir bersikeras kenaikan
harga BBM akan membebani hidup kaum miskin meskipun aneka program kompensasi
telah disiapkan pemerintah.
Tulisan ini tidak akan menambahkan perdebatan
itu, tapi berupaya menunjukkan bagaimana sebetulnya status kesejahteraan
sebagian besar rakyat saat ini.
Informalisasi Ekonomi
Teori ekonomi pembangunan menempatkan
kesempatan kerja penuh sebagai kondisi yang harus dicapai agar ekonomi berjalan
optimal dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam situasi kesempatan kerja
penuh, seluruh sumber daya ekonomi telah digunakan sehingga pasar tenaga kerja
berada di titik keseimbangan alias tak ada pengangguran.
Bagaimana kondisi di Indonesia? Data
menunjukkan, pengangguran terbuka relatif rendah (6,8 persen) meskipun belum
mencapai titik terendah seperti 1997 (4,7 persen). Masalahnya, mereka yang
betul-betul bisa dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam per minggu) hanya
sekitar 60 persen, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur. Lebih dramatis
lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65 persen bekerja di sektor
informal, hanya 35 persen bekerja di sektor formal. Dengan begitu telah terjadi
proses informalisasi ekonomi sehingga guncangan ekonomi yang tidak terlalu
berat pun akan melantakkan daya hidup masyarakat.
Berikutnya, seberapa berat dampak turbulensi
ekonomi akan melumat masyarakat berdasarkan stratifikasi kelas pengeluaran.
Sebagian bisa dilihat dari pertumbuhan pengeluaran masing-masing kelas. Jika
pengeluaran masyarakat dibagi dalam 10 kelas (desil), akan dijumpai data sebagai
berikut.
Pengeluaran terendah kelompok pertama dan
kedua, yakni sekitar Rp 153.000- Rp 204.000 per kapita per bulan, pada 2010
hanya tumbuh 9,08 persen dan 8,25 persen. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi
kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp 1,48 juta-Rp 768.000 per kapita
per bulan, pada tahun yang sama tumbuh 15,36 persen dan 18,77 persen (BPS,
2011). Jelasnya, mereka yang pengeluarannya besar bisa dikatakan pertumbuhan
pendapatannya dua kali lipat ketimbang kelompok miskin. Ini pula yang jadi sebab
ketimpangan pendapatan makin tinggi saat pertumbuhan ekonomi nasional juga
melesat, yakni gini rasio pada 2010 mencapai 0,38 (rekor tertinggi selama ini).
Struktur perekonomian seperti itulah yang
membuat pemerintah sulit menurunkan angka kemiskinan karena hanya sektor
tertentu penyumbang perekonomian/PDB. Tercatat sektor pertanian dan industri
tumbuh rendah, misalnya pertanian cuma tumbuh 2,9 persen (2010) dan 3 persen
(2011). Hal sama juga di sektor industri sehingga kontribusi sektor ini merosot
dari 28 persen terhadap PDB (2005) jadi 24 persen (2011) yang kemudian disebut
dengan istilah deindustrialisasi.
Implikasinya, kedua sektor yang menampung
tenaga kerja sekitar 55 persen dari total tenaga kerja itu status kesejahteraan
pekerjanya sangat rendah. Nilai tukar petani (riil) pada 2005 masih 110,95,
pada 2010 tinggal 95,79. Hasilnya, periode 1970-1990 jumlah orang miskin turun
dari 59 persen jadi 15,2 persen, tetapi pada 1990-2010 hanya turun dari 15,2
persen jadi 13,3 persen.
Akrobat Hidup
Sebagian soal di muka disebabkan oleh praktik
penyimpangan pranata ekonomi. Sektor keuangan, misalnya, diciptakan dan
didukung dengan harapan dapat mendorong sektor riil, khususnya sektor pertanian
dan industri. Celakanya, sektor keuangan (khususnya perbankan) makin jauh dari
fitrahnya di mana dukungan terhadap sektor riil makin menyusut.
Pada 2000, kredit yang diperoleh kedua sektor
itu mencapai 46,11 persen dari total kredit perbankan. Namun, 10 tahun kemudian
(2010), total kredit yang diperoleh tinggal 20,75 persen. Lebih miris lagi,
pada 2010 dana bank yang ditaruh di Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 319,3
triliun (11,54 persen dari penyaluran dana bank umum).
Problem kian rumit ketika kredit yang telah
disetujui tapi tidak diserap terus meningkat, yang pada 2011 mencapai Rp 670
triliun (2005 hanya Rp 152 triliun). Hal ini bisa terjadi karena tingkat bunga
kredit yang tinggi dan pemerintah yang tak sigap memfasilitasi kegiatan
investasi.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah
liberalisasi tidak terukur (kebablasan) yang malah dianggap sebagai berkah
perekonomian. Semua sektor/komoditas ekonomi terpenting telah dibuka, bahkan
dalam banyak hal lebih telanjang dibandingkan negara lain. Dalam kasus ACFTA
neraca perdagangan makin menyusut, khususnya dengan China.
Secara keseluruhan ada fakta kasatmata: nilai
ekspor nasional sejak 2006 naik cukup besar, tapi surplus perdagangan statis.
Hal ini disebabkan pada periode 2006-2011 ekspor tumbuh 98 persen, tetapi impor
pada kurun yang sama tumbuh 128 persen (BPS, 2012). Penyakit ini disebabkan dua
sumber penting: liberalisasi perdagangan dan besarnya kandungan bahan baku
impor untuk sektor industri.
Teramat banyak aspek lain yang dapat diungkap
untuk menunjukkan rapuhnya fondasi ekonomi nasional (di luar praktik korupsi
yang dahsyat, perampokan SDA, dan borosnya anggaran birokrasi), yang berujung
pada deskripsi ringkihnya kehidupan rakyat. Pengetahuan pengambil kebijakan
tentang akrobat hidup sehari- hari yang dialami kelompok masyarakat amat
terbatas karena seluruhnya didasari oleh generalisasi yang terlalu berlebihan.
Celakanya, instrumen subsidi yang dianggarkan
dalam APBN pun makin menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004
masih 23,21 persen kini jadi 17,47 persen, sedangkan subsidi non-energi (pangan,
pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57 persen turun menjadi 4,18
persen terhadap total belanja pemerintah pusat. Jadi, sikap penolakan terhadap
kenaikan harga minyak sebagian berakar dari pikiran ini: tidak diwujudkannya
amanah ”penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” oleh pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar