LAPORAN
DISKUSI KOMPAS TEMA “KORUPSI DI DPR”
Korupsi
untuk Biaya Kampanye
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012
Perubahan sistem pemilihan umum sejak pemilu
tahun 2009 telah melipatgandakan biaya kampanye. Setiap kandidat anggota DPR
dalam sistem pemilihan langsung saat ini membuat semua kandidat merasa memiliki
peluang. Namun, ironisnya, peluang itu tidak ditangkap secara cerdas dan
muncullah politik uang.
”Kampanye pun sifatnya hanya pencitraan.
Kampanye di media elektronik dan luar ruang yang sangat jorjoran memerlukan
biaya besar. Seorang calon anggota DPR yang berkampanye bisa menghabiskan
minimum sekitar Rp 800 juta. Itu bagi kita adalah angka yang luar biasa. Jadi
tidak heran, ketika dia menjadi anggota DPR, dia akan berusaha mengembalikan
modal kampanye itu,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Jakarta, Senin (19/3).
Jika selama masa pemilu besarnya dana
kampanye menimbulkan ketidakadilan di kalangan partai politik peserta pemilu
dan calon, pada pascapemilu besarnya dana kampanye menyebabkan korupsi di
lingkungan pejabat politik. Hal itu terjadi karena para kader partai politik
yang menduduki jabatan politik harus mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan
partai politik dan mempersiapkan dana kampanye untuk pemilu berikutnya.
Keharusan mengumpulkan dana itulah yang mendorong mereka menyalahgunakan
kewenangannya sebagai pejabat publik untuk memanfaatkan atau mengambil dana
negara yang dikelolanya.
Terus meningkatnya dana kampanye, di satu
pihak telah menimbulkan ketidakadilan di kalangan peserta pemilu dan calon, di
lain pihak telah mendorong terjadinya korupsi, tentu hal ini tidak bisa
dibiarkan terus berlangsung. Itu karena pada ujungnya hal tersebut akan membuat
rakyat tidak percaya pada pemilu sebagai instrumen demokrasi.
“Karena itu harus ada upaya agar dana
kampanye bisa dikontrol sehingga tercipta keadilan dalam berkampanye serta
mencegah sedini mungkin agar para pejabat politik hasil pemilu tidak terlibat
korupsi. Upaya yang paling mudah dilakukan sekaligus paling efektif hasilnya
adalah melakukan pembatasan dana kampanye,” kata Titi Anggraini.
Pembatasan dana kampanye dari sisi pemasukan
atau penyumbang terbukti gagal membatasi dana kampanye secara keseluruhan
sehingga menimbulkan ketimpangan di kalangan partai politik peserta pemilu dan
calon serta mendorong terjadinya korupsi pascapemilu. Oleh karena itu, menurut
Perludem, pembatasan harus juga dilakukan dari sisi pengeluaran atau belanja.
Sebab, dengan cara ini, parpol peserta pemilu atau calon tidak lagi berusaha
menggalang dana kampanye sebanyak mungkin karena mereka tahu dana tersebut
tidak bisa digunakan jika dikumpulkan melampaui batas yang diperbolehkan.
Sementara itu, dua tahun menjelang Pemilu
2014, pimpinan partai politik akhir-akhir ini mulai intens berkunjung ke daerah
untuk mendulang dukungan suara.
Salah satu pemimpin partai politik yang
intens berkunjung ke daerah adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
”Frekuensi kunjungan jadi bertambah sering. Sekarang ini Ketua Umum (Aburizal)
banyak keliling daerah dan keliling Indonesia. Dua minggu sekali kunjungan ke
daerah,” kata Wakil Ketua Sekretaris Jenderal Partai Golkar Nurul Arifin di
Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin.
Pendekatan serupa dilakukan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum. Akhir pekan lalu, Anas menghadiri panen raya padi di
Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda
AR, menyebutkan, idealnya parpol melakukan konsolidasi ideologi, institusi, dan
konsolidasi internal, serta konsolidasi elektoral dan juga kapital sebagai
persiapan utuh menuju pemilu. Namun, persiapan parpol di Indonesia justru
terbalik: memulainya dari konsolidasi kapital lewat akumulasi dana dan
menjadikan pemantapan ideologi, platform, dan program sebagai hal terakhir.
Hanta menilai ”kampanye” parpol idealnya
dijalankan terus-menerus sepanjang lima tahun. Caranya adalah dengan
menunjukkan diri lewat kinerja para kader di lembaga legislatif maupun
eksekutif. Aspirasi rakyat diterjemahkan menjadi kebijakan atau program melalui
fungsi legislasi, anggaran, atau pengawasan berbasis aspirasi konstituen.
Ironisnya, lanjut Hanta, hal itu yang justru kerap terputus, padahal semestinya
arena di parlemen menjadi ukuran performa parpol pada arena pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar