Jumat, 02 Maret 2012

Menyorot Pengunduran Diri Wakil Kepala Daerah


Menyorot Pengunduran Diri
Wakil Kepala Daerah
Dodi Riyadmadji, DIREKTUR FASILITASI KEPALA DAERAH, DPRD,
DAN HUBUNGAN ANTARLEMBAGA KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Sumber : SINDO, 2 Maret 2012




Pengunduran diri Dicky Candra dari jabatan wakil bupati Garut belum lama ini disikapi riuh,sekarang pengunduran diri Prijanto dari posisi sebagai wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta juga tidak kalah riuh.

Apakah ini memang betul-betul keriuhan yang wajar? Dengan sistem pemilihan kepala daerah yang sudah menggunakan pemilihan langsung, ada beberapa problematika yang berasal dari disharmoni regulasi dan kurang lengkapnya pengaturan. Undang- Undang (UU) No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara langsung mengatur pemilihan kepala daerah dalam Pasal 56 sampai 119.

Sekian aturan itu ternyata belum cukup komprehensif sehingga ada beberapa kali perubahan dan penjabaran terhadap UU tersebut lewat peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu) dan peraturan pemerintah (PP). Walaupun sudah melewati beberapa kali penyempurnaan, masih ada satu hal yang luput dari pengaturan secara komplit yaitu tentang ”pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah”.

Dalam Pasal 29 UU No 32 Tahun 2004 diatur bahwa “kepala daerah dan atau wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.”Istilah untuk meninggal dunia dan atas permintaan sendiri adalah ”berhenti”, bukan diberhentikan.

Sedangkan diberhentikan mempunyai pengertian bahwa orang yang sedang duduk dalam jabatan/menjabat (kepala daerah dan atau wakil kepala daerah) itu memiliki masalah terkait administrasi, hukum, ataupun politik sehingga ”diberhentikan”. Sayang sekali,PP No 6 Tahun 2005 yang merupakan penjabaran UU No 32 Tahun 2004 dalam Pasal 123 tidak mampu mengelaborasi secara rinci apa yang diatur dalam Pasal 29 UU No 32 Tahun 2004 itu.

Karena itulah,pada waktu terjadi kasus pengunduran diri Dicky Candra (wakil bupati Garut) dan Prijanto (wakil gubernur DKI Jakarta) terkesan muncul ”nuansa politicking”.Padahal bila semua bersikap arif dan mengembangkan sikap ”saling menghormati” dalam menafsir beberapa peraturan perundangundangan, tidak harus menimbulkan kegaduhan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Mekanisme Pengunduran Diri

Bila kembali kepada hakikatnya, pengunduran diri Dicky Candra maupun Prijanto (atas permintaan sendiri) dari jabatan wakil kepala bermakna berhenti atas permintaan sendiri. Namun, karena norma dalam Pasal 29 ayat (3) berbunyi: pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dan ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD, maknanya menjadi rancu.

Karena itu,mekanisme pemberhentian karena meninggal dunia,mundur atas permintaan sendiri,ataupun diberhentikan karena terkait masalah administrasi, hukum, maupun politik tentulah tidak sama. Bukan hanya mekanisme yang berbeda, melainkan pengaturan kuorum rapat paripurnanya pun mestinya juga dibedakan.

Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang meninggal dunia,mekanisme pemberhentiannya cukup dengan pemberitahuan dari pimpinan DPRD dalam forum rapat paripurna dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.Lalu hasil itu diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada presiden melalui menteri dalam negeri dan atau kepada menteri dalam negeri melalui gubernur.

Tidak perlu ada pandangan fraksifraksi. Pun demikian terhadap kepala daerah dan atau wakil yang mundur atas permintaan sendiri, mekanisme pemberhentiannya lebih rinci dan berbeda dari kasus meninggal dunia. Selain kepala daerah dan atau wakil kepala daerah menyusun alasan pengunduran diri, yang bersangkutan sedapat mungkin harus menyampaikan pidato alasan pengunduran diri di forum rapat paripurna.

Ini penting karena semua anggota DPRD yang memiliki suara dalam pengambilan keputusan rapat paripurna harus mendengar secara langsung.Walaupun dalam rapat paripurna ada pandangan fraksi-fraksi, pengambilan keputusan (setuju atau menolak) atas pengunduran diri kepala daerah/wakil kepala daerah haknya tetap berada pada masing-masing anggota DPRD (one man one vote).

Sedangkan untuk pemberhentian karena “diberhentikan” yangdisebabkan persoalan administrasi, hukum, ataupun politik, mekanismenya juga berbeda antara satu dan lainnya. Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya misalnya tanpa diusulkan DPRD pun tetap akan diproses SK pemberhentiannya yang waktunya bersamaan dengan proses pengesahan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Sementara untuk yang diberhentikan karena melanggar sumpah janji jabatan ataupun karena melanggar larangan, mekanisme pemberhentiannya tentu memiliki perbedaan. Misalnya yang dilanggar adalah larangan untuk melakukan korupsi, sejak berstatus terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang bersangkutan akan dikenakan pemberhentian sementara.

Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,yang bersangkutan bahkan diberhentikan tanpa ada usulan dari DPRD.Bayangkan bila kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang sudah divonis di tingkat kasasi harus bergantung menunggu paripurna DPRD,di mana anggota DPRDnya ikut korupsi berjamaah pasti akan terjadi penyanderaan politik.

Kuorum Rapat Paripurna

Kuorum rapat paripurna DPRD untuk memproses pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah semestinya dipilah secara tegas antara pemberhentian karena ”berhenti dan diberhentikan”.

Namun, alas hukum yang ada pada Pasal 78 PP No 16 Tahun 2010 diberlakukan sama sehingga kepala daerah/ wakil kepala daerah yang berhenti atas permintaan sendiri dapat terhambat karena anggota DPRD berselisih mempersoalkan kuorum rapat paripurna sampai tidak mengusulkan pemberhentian kepada menteri dalam negeri atau presiden sesuai jenjangnya.

Bukan saatnya lagi kita memperdebatkan hal-hal yang sama sekali tidak berkorelasi dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat atas nama demokrasi yang tidak substantif. Hal yang seperti ini seyogianya tidak perlu terjadi lagi di era tata kelola pemerintahan sudah baik kelak. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar