Caleg
Mantan Napi Korupsi
Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45,
MAKASSAR
Sumber
: SINDO, 2 Maret 2012
Saat
ini Rancangan Undang - Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sedang dibahas di
tingkat Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Itu artinya,
meskipun pemilu legislatif masih dua tahun lagi, perangkat regulasi harus
secepatnya dirampungkan, minimal dua tahun sebelum pelaksanaan pemilu.
Hal
ini untuk memberi kesempatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang saat ini
sedang diseleksi bersama Badan Pengawas Pemilu untuk merancang dan
menindaklanjuti perintah UU dalam bentuk keputusan KPU. Substansi yang paling
menarik bagi publik adalah keberadaan mantan napi,khususnya mantan napi korupsi
(koruptor), yang diperbolehkan mencalonkan diri.
Dalam RUU Pemilu, DPR tetap membuka peluang bagi mantan napi yang ingin mencalonkan diri, termasuk mantan napi korupsi meski harus mengacu pada syarat yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14-17/PUU-V/2007 dan No 4/PUU/7/2009.
Putusan MK menetapkan enam syarat bagi mantan napi: (1) untuk jabatan publik tidak berlaku, (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya lima tahun sejak selesai menjalani hukuman, (3) terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana, (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang (residivis),(5) kealpaan ringan, dan (6) tindak pidana karena alasan politik tertentu.
Ternyata syarat ini tidak begitu berat, apalagi di era politik transaksional seperti saat ini. Tapi putusan MK ini juga merupakan pengejawantahan dari hak asasi manusia (HAM) di bidang hak-hak politik.
Penolakan Publik
Dikaji secara teoretis, putusan MK atas pengujian Pasal 12 huruf-g dan Pasal 50 ayat (1) huruf-g UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat bagi caleg tergolong putusan conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) yang menggariskan eks napi boleh maju jadi caleg sepanjang memenuhi syarat.
Tapi ini menimbulkan polemik di ruang publik terhadap mantan napi korupsi lantaran ulah mereka selama ini menyakiti hati rakyat dengan mencoleng uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Salah satu pertimbangan Putusan MK karena mantan napi tetap memiliki hak politik yang sama setelah menjalani pidananya.
Mereka dianggap sudah bersih, bahkan mencederai hak-hak politik jika tetap dilarang padahal UUD 1945 menjamin perlindungan hak-hak tersebut. Hanya saja, apakah klausul pemenuhan HAM patut dilaksanakan saat rakyat merasa hak-hak ekonomi dan sosialnya dirampas oleh koruptor? Apalagi kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif berada pada titik nadir dengan banyaknya anggota legislatif pusat dan daerah dijadikan tersangka atau mendekam dalam penjara akibat terlibat korupsi.
Untuk membangun lembaga legislatif yang kredibel dan bisa dipercaya rakyat, seharusnya para anggotanya memiliki integritas yang mumpuni (bermoral), cerdas (kompetensi), dan bersikap negarawan (mendahulukan kepentingan rakyat). Apalagi anggota legislatif merupakan representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Popularitas seorang caleg tidaklah cukup, sebab hal itu bisa diperoleh dengan cara rekayasa,malah pada akhirnya hanya akan berpikiran pragmatis untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri. Kita berharap agar komitmen DPR untuk terus memperbaiki citranya tidak harus terbelenggu oleh putusan MK, khususnya pada mantan napi korupsi.
Kekuatan mengikat putusan MK setingkat dengan UU meskipun putusan itu berdasar pada konstitusi sehingga UU Pemilu boleh disebut “ketentuan khusus”yang tidak membolehkan mantan napi korupsi mendaftar jadi caleg.
Apalagi selalu berkumandang, kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga mencegah koruptor masuk untuk melaksanakan fungsi DPR merupakan langkah bijak agar mencegah mereka mengulangi perbuatannya (residivis) yang bisa dijatuhi pidana mati menurut Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2011 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Syarat Internal Parpol
Secara konstitusi, putusan MK tidak salah yang nantinya akan dikonkretkan dalam UU Pemilu Legislatif untuk tahun 2014.Tapi kekhawatiran rakyat terhadap mantan napi korupsi patut diapresiasi, sebab jika terpilih tentu memiliki kewenangan yang besar.Saat kekuasaan di tangan dalam fungsinya sebagai legislator, yaitu wewenang penganggaran dan pengawasan, sangat mungkin mereka mengulangi perbuatannya.
Kiranya perlu menyimak pandangan bahwa salah satu sifat buruk kekuasaan adalah cenderung untuk korup. Putusan MK yang “inkonstitusional bersyarat” soal keberadaan mantan napi memang merupakan “jalan tengah”, tetapi syaratnya terlalu mudah dipenuhi.Konsekuensinya, partai politik sebagai pintu bagi caleg harus lebih selektif menjaring caleg yang sesuai dengan harapan rakyat.
Jangan memaksa rakyat memilih caleg mantan napi korupsi hanya dengan alasan hakhak politik.Paling ideal kalau parpol mengapresiasi putusan MK dengan syarat-syarat yang lebih ketat di partainya, sebab perdebatan menolak atau menerima bekas koruptor tidak lagi pada posisi melanggar atau tidak melanggar HAM. Semuanya bergantung pada parpol bagaimana membuat filter agar calegnya bisa dipilih rakyat.
Tanggung jawab untuk memfilter bakal caleg ada di tangan partai sebagai manifestasi dari sebuah tanggung jawab besar. Rakyat berharap agar RUU Pemilu Legislatif bisa mengakomodasi aspirasinya, agar ke depan (tidak seperti sekarang) terpilih wakil rakyat yang bisa menjadi sosok anutan dan tuntunan.
Kita tidak ingin wakil rakyat justru menjadi tontonan memilukan lantaran ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, butuh pemimpin yang mampu memahami kehendak rakyatnya. ●
Dalam RUU Pemilu, DPR tetap membuka peluang bagi mantan napi yang ingin mencalonkan diri, termasuk mantan napi korupsi meski harus mengacu pada syarat yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14-17/PUU-V/2007 dan No 4/PUU/7/2009.
Putusan MK menetapkan enam syarat bagi mantan napi: (1) untuk jabatan publik tidak berlaku, (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya lima tahun sejak selesai menjalani hukuman, (3) terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana, (4) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang (residivis),(5) kealpaan ringan, dan (6) tindak pidana karena alasan politik tertentu.
Ternyata syarat ini tidak begitu berat, apalagi di era politik transaksional seperti saat ini. Tapi putusan MK ini juga merupakan pengejawantahan dari hak asasi manusia (HAM) di bidang hak-hak politik.
Penolakan Publik
Dikaji secara teoretis, putusan MK atas pengujian Pasal 12 huruf-g dan Pasal 50 ayat (1) huruf-g UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat bagi caleg tergolong putusan conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) yang menggariskan eks napi boleh maju jadi caleg sepanjang memenuhi syarat.
Tapi ini menimbulkan polemik di ruang publik terhadap mantan napi korupsi lantaran ulah mereka selama ini menyakiti hati rakyat dengan mencoleng uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Salah satu pertimbangan Putusan MK karena mantan napi tetap memiliki hak politik yang sama setelah menjalani pidananya.
Mereka dianggap sudah bersih, bahkan mencederai hak-hak politik jika tetap dilarang padahal UUD 1945 menjamin perlindungan hak-hak tersebut. Hanya saja, apakah klausul pemenuhan HAM patut dilaksanakan saat rakyat merasa hak-hak ekonomi dan sosialnya dirampas oleh koruptor? Apalagi kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif berada pada titik nadir dengan banyaknya anggota legislatif pusat dan daerah dijadikan tersangka atau mendekam dalam penjara akibat terlibat korupsi.
Untuk membangun lembaga legislatif yang kredibel dan bisa dipercaya rakyat, seharusnya para anggotanya memiliki integritas yang mumpuni (bermoral), cerdas (kompetensi), dan bersikap negarawan (mendahulukan kepentingan rakyat). Apalagi anggota legislatif merupakan representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Popularitas seorang caleg tidaklah cukup, sebab hal itu bisa diperoleh dengan cara rekayasa,malah pada akhirnya hanya akan berpikiran pragmatis untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri. Kita berharap agar komitmen DPR untuk terus memperbaiki citranya tidak harus terbelenggu oleh putusan MK, khususnya pada mantan napi korupsi.
Kekuatan mengikat putusan MK setingkat dengan UU meskipun putusan itu berdasar pada konstitusi sehingga UU Pemilu boleh disebut “ketentuan khusus”yang tidak membolehkan mantan napi korupsi mendaftar jadi caleg.
Apalagi selalu berkumandang, kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga mencegah koruptor masuk untuk melaksanakan fungsi DPR merupakan langkah bijak agar mencegah mereka mengulangi perbuatannya (residivis) yang bisa dijatuhi pidana mati menurut Pasal 2 ayat (2) UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2011 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Syarat Internal Parpol
Secara konstitusi, putusan MK tidak salah yang nantinya akan dikonkretkan dalam UU Pemilu Legislatif untuk tahun 2014.Tapi kekhawatiran rakyat terhadap mantan napi korupsi patut diapresiasi, sebab jika terpilih tentu memiliki kewenangan yang besar.Saat kekuasaan di tangan dalam fungsinya sebagai legislator, yaitu wewenang penganggaran dan pengawasan, sangat mungkin mereka mengulangi perbuatannya.
Kiranya perlu menyimak pandangan bahwa salah satu sifat buruk kekuasaan adalah cenderung untuk korup. Putusan MK yang “inkonstitusional bersyarat” soal keberadaan mantan napi memang merupakan “jalan tengah”, tetapi syaratnya terlalu mudah dipenuhi.Konsekuensinya, partai politik sebagai pintu bagi caleg harus lebih selektif menjaring caleg yang sesuai dengan harapan rakyat.
Jangan memaksa rakyat memilih caleg mantan napi korupsi hanya dengan alasan hakhak politik.Paling ideal kalau parpol mengapresiasi putusan MK dengan syarat-syarat yang lebih ketat di partainya, sebab perdebatan menolak atau menerima bekas koruptor tidak lagi pada posisi melanggar atau tidak melanggar HAM. Semuanya bergantung pada parpol bagaimana membuat filter agar calegnya bisa dipilih rakyat.
Tanggung jawab untuk memfilter bakal caleg ada di tangan partai sebagai manifestasi dari sebuah tanggung jawab besar. Rakyat berharap agar RUU Pemilu Legislatif bisa mengakomodasi aspirasinya, agar ke depan (tidak seperti sekarang) terpilih wakil rakyat yang bisa menjadi sosok anutan dan tuntunan.
Kita tidak ingin wakil rakyat justru menjadi tontonan memilukan lantaran ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, butuh pemimpin yang mampu memahami kehendak rakyatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar