Lorong
Gelap Berantas Korupsi
L Murbandono Hs, PEMINAT DAN PENGAMAT PERADABAN,
TINGGAL DI AMBARAWA KABUPATEN
SEMARANG
Sumber
: SUARA MERDEKA, 2 Maret 2012
SKANDAL menyangkut Nazar,
Angie, beberapa petinggi Demokrat, dan seluruh ikutannya hanyalah bagian kecil
pengadilan korupsi uang yang nilainya besar yang memproduksi kejahatan lingkar
atas. Pesan terpenting skandal itu adalah bagaimana kasus banditisme (kejahatan
berdampak luas bagi masyarakat, bangsa, dan negara) bisa menjadi ajang memutar
pilihan pasal-pasal hukum dan kilah-kilah politik yang berujung mengaburkan
intinya, yakni kejahatan para pelaku kriminal. Skandal itu menjadi lorong gelap
bagi peradaban Indonesia.
Apalagi, publik sejatinya sudah memahami bahwa letak kerumitan soal korupsi di negara kita sebenarnya bukan lagi pada hukum dan politik, sebab mekanismenya selalu bisa dimanipulasi. Kerumitan utama terletak pada moral buruk. Moral buruk itu bukan hanya pada koruptor tapi juga membelit dua kelompok penjahat. Pertama; penjahat yang kebetulan jadi penegak hukum, baik perseorangan maupun kelembagaan.yang mestinya menindak koruptor. Kedua; banditisme para saksi dan advokat serta ikutannya yang mestinya mendudukkan perkara secara jujur di tempatnya yang benar dan adil.
Apalagi, manipulasi hukum dan politik itu berlangsung sistemik. Itulah sumber merajalelanya banditisme dalam pemberantasan korupsi. Tiap kasus korupsi menyangkut uang amat banyak selalu ditangkap oknum penegak hukum yang rakus dan oknum politikus yang tamak sebagai proyek bagi-bagi rejeki.
Akibat logis situasi tersebut: keadilan hukum material formal di ruang pengadilan dan keadilan politik (dalam mekanismenya) di gedung-gedung resmi serasa sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai perkakas memberantas korupsi. Andalan terakhir bagi pemberantasan korupsi hanya tinggal pada keadilan moral aktor-aktor penegak hukum, termasuk dari KPK.
Dari titik itu pemberantasan korupsi masuk lorong gelap. Sebab, keadilan moral terletak dalam nurani individu. Ia entitas abstrak yang nyaris mustahil dilembagakan. Nyatanya di negara kita terdapat banyak pelembagaannya yang dianggap sebagai acuan moral: agama-agama, kementerian agama, kode-kode etik, adat, tradisi, kesepakatan sosial di dusun, kampung dan di kantor-kantor, serta seribu satu bentuk lainnya.
Apalagi, publik sejatinya sudah memahami bahwa letak kerumitan soal korupsi di negara kita sebenarnya bukan lagi pada hukum dan politik, sebab mekanismenya selalu bisa dimanipulasi. Kerumitan utama terletak pada moral buruk. Moral buruk itu bukan hanya pada koruptor tapi juga membelit dua kelompok penjahat. Pertama; penjahat yang kebetulan jadi penegak hukum, baik perseorangan maupun kelembagaan.yang mestinya menindak koruptor. Kedua; banditisme para saksi dan advokat serta ikutannya yang mestinya mendudukkan perkara secara jujur di tempatnya yang benar dan adil.
Apalagi, manipulasi hukum dan politik itu berlangsung sistemik. Itulah sumber merajalelanya banditisme dalam pemberantasan korupsi. Tiap kasus korupsi menyangkut uang amat banyak selalu ditangkap oknum penegak hukum yang rakus dan oknum politikus yang tamak sebagai proyek bagi-bagi rejeki.
Akibat logis situasi tersebut: keadilan hukum material formal di ruang pengadilan dan keadilan politik (dalam mekanismenya) di gedung-gedung resmi serasa sudah tak bisa diandalkan lagi sebagai perkakas memberantas korupsi. Andalan terakhir bagi pemberantasan korupsi hanya tinggal pada keadilan moral aktor-aktor penegak hukum, termasuk dari KPK.
Dari titik itu pemberantasan korupsi masuk lorong gelap. Sebab, keadilan moral terletak dalam nurani individu. Ia entitas abstrak yang nyaris mustahil dilembagakan. Nyatanya di negara kita terdapat banyak pelembagaannya yang dianggap sebagai acuan moral: agama-agama, kementerian agama, kode-kode etik, adat, tradisi, kesepakatan sosial di dusun, kampung dan di kantor-kantor, serta seribu satu bentuk lainnya.
Seberapa jauh hasil dan
kinerja pelembagaan itu bagi produktivitas-kreativitas-kemuliaan moral
individu? Tentu saja tidak mudah dijawab. Sebab jawabannya yang objektif
terletak dalam seluruh sejarah negara kita.
Jalan Buntu
Dan, sebagai bagian sejarah negara kita, banyak fakta keadilan sosial sejak era Orba sampai hari ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja di lembaga-lembaga hukum dan politik hampir selalu direcoki manipulasi sehingga menjadi pelindung semua jenis penjahat tingkat atas: koruptor, penjahat perang, pelanggar berat HAM, dan sebagainya. Terhadap para penjahat, para manipulator telah memproduksi begitu banyak impunitas dan lautan vonis amat ringan yang mengacau dan melecehkan nalar sehat. Artinya, di negara kita, masalah moral individu belum selesai, ibarat pungguk merindukan bulan. Itulah situasi menjangkau yang tidak terjangkau.
Situasi menjangkau yang tidak terjangkau itulah yang dulu dan kini masih terjadi manakala kita menghadapi para penjahat kelas atas. Sejarah pemberantasan korupsi lingkar atas di negara kita hanyalah sejarah kegagalan menegakkan keadilan yang beradab. Semua kasus besar menyangkut elite Orba sampai elite masa kini yang jumlahnya banyak sekali, nyaris tidak ada satu pun yang melegakan perasaan keadilan publik.
Jalan Buntu
Dan, sebagai bagian sejarah negara kita, banyak fakta keadilan sosial sejak era Orba sampai hari ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja di lembaga-lembaga hukum dan politik hampir selalu direcoki manipulasi sehingga menjadi pelindung semua jenis penjahat tingkat atas: koruptor, penjahat perang, pelanggar berat HAM, dan sebagainya. Terhadap para penjahat, para manipulator telah memproduksi begitu banyak impunitas dan lautan vonis amat ringan yang mengacau dan melecehkan nalar sehat. Artinya, di negara kita, masalah moral individu belum selesai, ibarat pungguk merindukan bulan. Itulah situasi menjangkau yang tidak terjangkau.
Situasi menjangkau yang tidak terjangkau itulah yang dulu dan kini masih terjadi manakala kita menghadapi para penjahat kelas atas. Sejarah pemberantasan korupsi lingkar atas di negara kita hanyalah sejarah kegagalan menegakkan keadilan yang beradab. Semua kasus besar menyangkut elite Orba sampai elite masa kini yang jumlahnya banyak sekali, nyaris tidak ada satu pun yang melegakan perasaan keadilan publik.
Hukum dan politik yang sejatinya menjadi andalan utama tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak berfungsi atau sengaja tidak difungsikan karena kepentingan oportunistik jangka pendek demi kuasa dan uang oleh oknum-oknum elite tertentu.
Maka logis jika pemberantasan korupsi serasa menumbuk jalan buntu. Yang kita miliki saat ini hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang lelah. Mengapa korupsi terus terjadi, sementara peraturan, kebijakan, tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi terus diupayakan? Apakah karena strategi antikorupsi pemerintah lemah? Apakah tidak ada komitmen politik? Apakah terhambat sistem koruptif di berbagai lembaga negara? Apakah segala strategi antikorupsi yang ada justru dikondisikan sebagai kamuflase membela koruptor?
Sampai kapan situasi menjangkau yang tidak terjangkau itu bakal berakhir? Kita tidak tahu. Apapun, Tuhan memberkati Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar