Lingkaran
Kekerasan Israel-Palestina
Ibnu
Burdah, PEMERHATI MASALAH TIMUR TENGAH DAN DUNIA
ISLAM,
DOSEN FAKULTAS ADAB UIN SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
SUMBER : SUARA MERDEKA, 16 Maret 2012
"Harapan
segera lahir peristiwa historis hubungan Israel-Palestina makin tipis untuk
menjadi kenyataan"
KEKERASAN saling balas antara Israel dan aktivis Palestina di Gaza terus saja terjadi. Kendati dikabarkan gencatan senjata telah tercapai beberapa bulan lalu, puluhan jiwa dan sejumlah orang terluka kembali menjadi korban. Mereka menambah deretan korban kekerasan yang terus saja berjatuhan sejak 1948. Dengan dalih adanya serangan terhadap militer Israel yang dilakukan militan yang berbasis di Gaza, Israel melancarkan beberapa ofensif mematikan ke Gaza.
Serangan Israel itu seolah-olah menjadi momentum unjuk gigi kelompok-kelompok garis keras baru. Mereka justru mengambil untung dari situasi kacau ini untuk mengerek popularitasnya. Hamas dan Jihad Islamiy, faksi yang secara de facto menguasai Gaza, menyatakan tidak terlibat. Hamas saat ini terlibat dalam proses pembentukan pemerintah persatuan bersama Fatah setelah tercapainya upaya rekonsiliasi. Penghentian kekerasan merupakan prasyarat bagi pemerintahan baru itu jika kelak akan berjuang melalui jalur perundingan dengan Israel. Kendati demikian, sayap militer Hamas mungkin juga tidak tahan untuk berdiam diri menyaksikan situasi seperti sekarang.
Kedua pihak, baik Israel maupun jihad Islami, Hamas dan kelompok-kelompok kecil Palestina, sama-sama berargumen berada di pihak yang benar. Israel melakukan penyerangan yang seringkali tidak proporsional dan keji dengan dalih melindungi warga dan kepentingan keamanan. Bagi negara yang dikepung musuh-musuhnya itu, menjaga postur garang dan kredibel di mata musuh-musuhnya sangatlah penting.
Karena itu, Israel sangat sensitif terhadap ancaman sekecil apa pun dan mereaksinya dengan cara sangat keras dan seringkali berlebihan. Negara itu hampir tidak peduli dengan jatuhnya korban sipil Palestina akibat sikap tersebut. Dengan banyaknya korban sipil dari Palestina, Israel tetap memandang dirinya sebagai korban dan apa yang selama ini mereka lakukan adalah membela diri semata.
Nasib Perdamaian
Faksi garis keras Palestina selama ini juga berpandangan demikian. Penyerangan terhadap warga sipil Israel dan perusakan diyakini sebagai prestasi tersendiri dalam perjuangan mereka. Pilihan mereka memang amat terbatas dalam melakukan perlawanan terhadap Israel. Karena itu, mereka berpandangan bahwa itulah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk memperjuangkan hak-hak Palestina dan menegakkan keadilan.
Jadi, serangan terhadap warga sipil itu bukan hanya dipandang tidak keliru melainkan sebaliknya sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak jelas sejak kapan cara pandang itu mulai terbangun di benak kedua pihak. Tapi yang jelas, hal itu telah membawa hubungan Israel-Palestina ke dalam lingkaran kekerasan yang tiada ujung dalam waktu panjang.
Satu-satunya jalan untuk perbaikan adalah memutus mata rantai kekerasan timbal balik itu yang disertai perjuangan menciptakan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Celakanya, kekerasan timbal balik itu sekaligus memupus harapan akan segera digelarnya kembali proses perundingan setelah kegagalan Palestina berjuang di PBB. Masa depan tercapainya keadilan dan perdamaian Israel-Palestina semakin tidak menentu. Harapan segera lahir peristiwa historis hubungan Israel-Palestina makin tipis untuk menjadi kenyataan.
Hal ini masih diperparah hal-hal lain. Faktor di dalam negeri Israel dan Palestina serta kawasan, terutama di Mesir dan Suriah, turut menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi keduanya untuk melangkah dalam perundingan secara sungguh-sungguh.
Kekerasan telah menjauhkan rakyat kedua pihak dalam mewujudkan cita-citanya masing-masing. Harapan rakyat Israel untuk hidup damai dan normal dan impian penduduk Palestina untuk memperoleh keadilan makin jauh dari kenyataan. ●
KEKERASAN saling balas antara Israel dan aktivis Palestina di Gaza terus saja terjadi. Kendati dikabarkan gencatan senjata telah tercapai beberapa bulan lalu, puluhan jiwa dan sejumlah orang terluka kembali menjadi korban. Mereka menambah deretan korban kekerasan yang terus saja berjatuhan sejak 1948. Dengan dalih adanya serangan terhadap militer Israel yang dilakukan militan yang berbasis di Gaza, Israel melancarkan beberapa ofensif mematikan ke Gaza.
Serangan Israel itu seolah-olah menjadi momentum unjuk gigi kelompok-kelompok garis keras baru. Mereka justru mengambil untung dari situasi kacau ini untuk mengerek popularitasnya. Hamas dan Jihad Islamiy, faksi yang secara de facto menguasai Gaza, menyatakan tidak terlibat. Hamas saat ini terlibat dalam proses pembentukan pemerintah persatuan bersama Fatah setelah tercapainya upaya rekonsiliasi. Penghentian kekerasan merupakan prasyarat bagi pemerintahan baru itu jika kelak akan berjuang melalui jalur perundingan dengan Israel. Kendati demikian, sayap militer Hamas mungkin juga tidak tahan untuk berdiam diri menyaksikan situasi seperti sekarang.
Kedua pihak, baik Israel maupun jihad Islami, Hamas dan kelompok-kelompok kecil Palestina, sama-sama berargumen berada di pihak yang benar. Israel melakukan penyerangan yang seringkali tidak proporsional dan keji dengan dalih melindungi warga dan kepentingan keamanan. Bagi negara yang dikepung musuh-musuhnya itu, menjaga postur garang dan kredibel di mata musuh-musuhnya sangatlah penting.
Karena itu, Israel sangat sensitif terhadap ancaman sekecil apa pun dan mereaksinya dengan cara sangat keras dan seringkali berlebihan. Negara itu hampir tidak peduli dengan jatuhnya korban sipil Palestina akibat sikap tersebut. Dengan banyaknya korban sipil dari Palestina, Israel tetap memandang dirinya sebagai korban dan apa yang selama ini mereka lakukan adalah membela diri semata.
Nasib Perdamaian
Faksi garis keras Palestina selama ini juga berpandangan demikian. Penyerangan terhadap warga sipil Israel dan perusakan diyakini sebagai prestasi tersendiri dalam perjuangan mereka. Pilihan mereka memang amat terbatas dalam melakukan perlawanan terhadap Israel. Karena itu, mereka berpandangan bahwa itulah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk memperjuangkan hak-hak Palestina dan menegakkan keadilan.
Jadi, serangan terhadap warga sipil itu bukan hanya dipandang tidak keliru melainkan sebaliknya sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak jelas sejak kapan cara pandang itu mulai terbangun di benak kedua pihak. Tapi yang jelas, hal itu telah membawa hubungan Israel-Palestina ke dalam lingkaran kekerasan yang tiada ujung dalam waktu panjang.
Satu-satunya jalan untuk perbaikan adalah memutus mata rantai kekerasan timbal balik itu yang disertai perjuangan menciptakan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Celakanya, kekerasan timbal balik itu sekaligus memupus harapan akan segera digelarnya kembali proses perundingan setelah kegagalan Palestina berjuang di PBB. Masa depan tercapainya keadilan dan perdamaian Israel-Palestina semakin tidak menentu. Harapan segera lahir peristiwa historis hubungan Israel-Palestina makin tipis untuk menjadi kenyataan.
Hal ini masih diperparah hal-hal lain. Faktor di dalam negeri Israel dan Palestina serta kawasan, terutama di Mesir dan Suriah, turut menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi keduanya untuk melangkah dalam perundingan secara sungguh-sungguh.
Kekerasan telah menjauhkan rakyat kedua pihak dalam mewujudkan cita-citanya masing-masing. Harapan rakyat Israel untuk hidup damai dan normal dan impian penduduk Palestina untuk memperoleh keadilan makin jauh dari kenyataan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar